Kolom Jurnalis
Politisi, Saatnya Budayakan Mundur
PUBLIK tentu ingat bahwa baru-baru ini Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi meminta para kepala daerah dan wakil kepala daerah
PUBLIK pasti tidak lupa bahwa baru-baru ini Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi meminta para kepala daerah dan wakil kepala daerah jangan mundur
setelah memenangkan pemilihan umum kepala daerah karena harapan
masyarakat ada di pundak yang terpilih.
Menurut Gamawan, setiap kepala daerah memang memiliki hak untuk mengundurkan diri, tetapi ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan. Salah satunya, persetujuan dari DPRD. Usulan pengunduran diri juga harus disampaikan ke gubernur dan menteri.
Pernyataan Gawan ini boleh dibilang merupakan respon balik terhadap pengajuan mundur Dicky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut 2009-2014. Dia terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Garut 2009 bersama Bupati Aceng Fikri, sama-sama dari jalur independen.
Dicky dalam beberapa kesempatan mengaku minder menjadi Wakil Bupati Garut dalam dua tahun terakhir. Ia merasa tidak memiliki wibawa yang seharusnya melekat pada pejabat daerah.
Langkah Dicky tentu saja membuat publik terkejut. Ada yang yang menilai positif ada pula yang sebaliknya. Ya, mereka punya alasan sendiri-sendiri.
Bagi saya, langkah Dicky ini di luar kebiasaan logika politisi kita. Terlebih lagi ketika rekan-rekan Dicky, sebut saja Rano Karno (Waki Bupati Tanggerang) dan Dede Yusuf( Wakil Gubernur Jawa Barat), kasak-kusuk berusaha melanggengkan napas kekuasaannya.
Rano Karno kini mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Banten berpasangan Ratu Atut Chosiyah, calon incumbent gubernur Banten. Sedangkan Dede Yusuf pindah partai, dari PAN ke Demokrat. Sejumlah analisis politik mengatakan Dede mengincar kursi Gubernur Jawa Barat untuk pemilihan mendatang.
Fenomena Dicky, bagi saya merupakan sebuah pelajaran yang positif, terutama bagi para kepala daerah dan wakilnya yang tidak berkerja untuk kepentingan masyarakat. Tidak lupa juga yang tidak lagi akur.
Sudah saat politisi dan pejabat di negeri ini membudayakan mundur. Paling tidak ini sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat, sekaligus juga memberikan peluang bagi orang lain untuk berbuat lebih baik.
Toh, jauh-jauh hari, Bung Hatta, pendiri bangsa ini, juga mengajarkan itu. Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.
Ah, pagi ini saya membaca sebuah berita mengenai mundurnya Menteri Perdagangan Jepang Yoshio Hachiro karena salah omong. Saya pun cuma membatin: " di Indonesia, jangan kan salah omong, sudah menjadi terdakwa pun belum mau mundur"! . Begitulah kalau etika politik sudah dibuang ke tong sampah!.(*)
Menurut Gamawan, setiap kepala daerah memang memiliki hak untuk mengundurkan diri, tetapi ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan. Salah satunya, persetujuan dari DPRD. Usulan pengunduran diri juga harus disampaikan ke gubernur dan menteri.
Pernyataan Gawan ini boleh dibilang merupakan respon balik terhadap pengajuan mundur Dicky Chandra sebagai Wakil Bupati Garut 2009-2014. Dia terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Garut 2009 bersama Bupati Aceng Fikri, sama-sama dari jalur independen.
Dicky dalam beberapa kesempatan mengaku minder menjadi Wakil Bupati Garut dalam dua tahun terakhir. Ia merasa tidak memiliki wibawa yang seharusnya melekat pada pejabat daerah.
Langkah Dicky tentu saja membuat publik terkejut. Ada yang yang menilai positif ada pula yang sebaliknya. Ya, mereka punya alasan sendiri-sendiri.
Bagi saya, langkah Dicky ini di luar kebiasaan logika politisi kita. Terlebih lagi ketika rekan-rekan Dicky, sebut saja Rano Karno (Waki Bupati Tanggerang) dan Dede Yusuf( Wakil Gubernur Jawa Barat), kasak-kusuk berusaha melanggengkan napas kekuasaannya.
Rano Karno kini mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Banten berpasangan Ratu Atut Chosiyah, calon incumbent gubernur Banten. Sedangkan Dede Yusuf pindah partai, dari PAN ke Demokrat. Sejumlah analisis politik mengatakan Dede mengincar kursi Gubernur Jawa Barat untuk pemilihan mendatang.
Fenomena Dicky, bagi saya merupakan sebuah pelajaran yang positif, terutama bagi para kepala daerah dan wakilnya yang tidak berkerja untuk kepentingan masyarakat. Tidak lupa juga yang tidak lagi akur.
Sudah saat politisi dan pejabat di negeri ini membudayakan mundur. Paling tidak ini sebagai bentuk tanggung jawab kepada masyarakat, sekaligus juga memberikan peluang bagi orang lain untuk berbuat lebih baik.
Toh, jauh-jauh hari, Bung Hatta, pendiri bangsa ini, juga mengajarkan itu. Bung Hatta mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno.
Ah, pagi ini saya membaca sebuah berita mengenai mundurnya Menteri Perdagangan Jepang Yoshio Hachiro karena salah omong. Saya pun cuma membatin: " di Indonesia, jangan kan salah omong, sudah menjadi terdakwa pun belum mau mundur"! . Begitulah kalau etika politik sudah dibuang ke tong sampah!.(*)