Pengamat Unila: PNS Harusnya Dibolehkan Jalankan Usaha Sampingan
Larangan berbisnis bagi kalangan pegawai negeri sipil (PNS) hanya cocok diperuntukkan bagi jenis usaha sampingan yang potensial mengganggu
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Wahyu Sasongko, PNS seharusnya tetap dibolehkan menjalankan usaha sampingan, asal tidak berkaitan dengan jabatan dan pekerjaan utamanya sebagai PNS.
"Larangan tetap harus ada. Tapi dengan berbagai catatan. Selama bisnisnya tidak mengganggu pekerjaannya sebagai PNS, tidak perlu dilarang-larang," kata Wahyu, Sabtu (10/3/2012).
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sempat menyatakan adanya larangan berbisnis bagi PNS, mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Usaha Swasta. Tapi, PP tersebut mengalami perubahan pada 1980 dan direvisi kembali pada 2010.
Dalam PP Nomor 6 Tahun 1974 sebagaimana diperbarui melalui PP Nomor 30 tahun 1980 yang dikeluarkan Presiden Soeharto memang disebutkan, PNS dilarang memiliki seluruh atau sebagian perusahaan swasta, memimpin duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu perusahaan swasta dan melakukan kegiatan usaha dagang, baik secara resmi maupun sambilan.
Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono, PP Nomor 30 tahun 1980 diganti menjadi PP Nomor 53 tahun 2010. Dalam PP tersebut, pasal larangan berbisnis dihapuskan.
Dalam pasal 3 PP Nomor 30 tahun 1980, terdapat 18 larangan terkait usaha sampingan PNS seperti bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, lembaga swadaya masyarakat asing, melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta.
Sesuai dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, kata Wahyu, maka peraturan yang berlaku saat ini adalah peraturan terbaru, yakni PP Nomor 53/ 2010.
Meski demikian, Wahyu menyatakan, pemerintah seharusnya tetap mencantumkan larangan usaha sampingan bagi PNS. Tapi dengan menyesuaikan jenis usaha sampingan dengan jabatan agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
"Larangan berbisnis tetap penting. Tapi harus hati-hati karena tidak bisa digeneralisasi untuk semua jenis usaha sampingan. Pemerintah harus lebih memfokuskan pelarangan hanya pada konteks jenis pekerjaan yang rawan penyimpangan jabatan," ungkapnya.
Ia mencontohkan, jenis pekerjaan yang tetap bisa dilakukan PNS adalah rumah makan, toko, dan usaha jenis rumah tangga lainnya. Sedangkan jenis pekerjaan yang potensial mengganggu pekerjaan atau jabatan PNS seperti kontraktor atau pemborong.
"Kalau kontraktor kan bisa berkaitan dengan tender proyek yang menggunakan dana negara. Pekerjaan seperti itu lah yang harus dilarang," ungkap Wahyu.
Hal senada diungkapkan Dosen Fakultas Ekonomi Unila Nairobi Saibi. Selama bisnis sampingan tidak berkaitan dengan penyimpangan jabatan, pemerintah tidak perlu membuat peraturan yang melarang PNS untuk bisnis.
"Kalau pun tetap diberlakukan larangan, saya yakin tidak mungkin bisa efektif. Bagaimana pemerintah bisa mengontrol seluruh usaha sampingan PNS di Indonesia? Itu kan kaitannya dengan kesejahteraan," ungkapnya.(heri/tribunlampung cetak)