Pilgub Lampung

Perlu Hati-hati dalam Ikuti Survei Hitung Cepat Pilgub Lampung

Siapa menang pada akhirnya tetap menunggu pada putusan yang diambil dalam rapat pleno KPU Lampung.

Penulis: Andi Asmadi | Editor: Andi Asmadi
TRIBUN LAMPUNG/TRI YULIANTO
ILUSTRASI - Kotak suara untuk Pilgub Lampung. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Hiruk-pikuk Pemilihan Gubernur Lampung telah mendekati babak akhir. Setelah pencoblosan, momen krusial adalah penghitungan suara. Siapa menang pada akhirnya tetap menunggu pada putusan yang diambil dalam rapat pleno KPU Lampung, yang diperkirakan akan berlangsung pada 15-18 April 2014..

Beredarnya hasil survei ke ranah publik di hari-hari belakangan ini memberi warna tersendiri. Bagaimana tidak, muncul kesan seolah survei antara satu dengan lainnya memberikan hasil yang berbeda. Seolah keluar dua pasangan yang mendapatkan suara terbanyak: Ridho-Bakhtiar dan juga Herman-Zainudin.

Benarkah hasil survei yang menggunakan metoda quick count maupun real count berbeda di antara satu lembaga dengan lembaga lainnya?

Pada titik inilah publik perlu berhati-hati dalam "membaca" hasil survei yang dirilis ke publik. Masyarakat perlu mencermati tiga hal berikut sebelum percaya pada hasil survei: 

Pertama, cermati lembaga survei yang melakukan kegiatan quick count ataupun real count. Apakah lembaga itu profesional dan sudah teruji? Pada beberapa kasus di daerah lain, tak jarang muncul lembaga survei abal-abal yang tiba-tiba muncul dan dibiayai oleh pasangan calon yang sedang bertarung dengan tujuan untuk membentuk opini publik.

Banyak, memang,  lembaga survei bonafid yang juga bertindak sebagai konsultan politik untuk pasangan calon. Tetapi, dalam melakukan quick count atau real count, mereka tidak akan mempertaruhkan kredibilitasnya dengan melansir hasil yang bias dan menyesatkan. Beda dengan lembaga survei abal-abal yang menggunakan prinsip "asal bapak senang". Sejauh ini, untuk Pilgub Lampung, belum terlihat ada lembaga survei abal-abal.

Kedua, cermati metodologi yang digunakan. Apakah sudah memenuhi standar ilmiah untuk sebuah survei? Tak jarang, lembaga survei mengambil sampel tidak secara proporsional. Yang disurvei adalah kantong-kantong suara pendukung pasangan calon tertentu, yang hasilnya pasti akan menguntungkan sang calon.

Misalnya, pemilihan berlangsung di 20 wilayah. Tetapi, yang dihitung hanya di wilayah A dan B yang merupakan basis massa sang calon. Ketika dirilis ke publik, tak secara tegas disebutkan bahwa penghitungan hanya dilakukan di wilayah A dan B. Publik pun bisa terkecoh dengan menganggap hasil survei itu berlaku untuk 20 wilayah.

Ketiga, apakah hasil survei yang dirilis ke publik sudah menggunakan data final seratus persen? Jika data masuk baru sebagian kecil, misalnya baru sekitar 30 persen, namun sudah muncul klaim bahwa pasangan calon tertentu yang menang, maka informasi tersebut sungguh sesat. Sebab, bisa saja, dalam proses selanjutnya peta suara berubah dan yang menang justru pasangan lain.

Sejumlah media, baik koran cetak, online, maupun TV, kerap merilis hasil hitung cepat dari jam ke jam, meski data belum masuk 100 persen.. Pada umumnya, media akan berlaku jujur dengan menyebut pergerakan persentase data, dan tidak akan menyebut pasangan calon tertentu terindikasi menang jika data masuk belum 100 persen.

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved