Optimalisasi Peran Bank BUMN Agar Lebih Berdaya Saing

Sementara bank yang kuat akan menjadi pemenang.

Penulis: Gustina Asmara | Editor: Gustina Asmara
Tribun Lampung/Okta Kusuma Jatha
GEDUNG BARU - Para petinggi OJK bersama Gubernur Lampung M Ridho Ficardo (kanan) melakukan penandatanganan prastasti tanda diresmikannya kantor baru OJK Lampung pada Oktober lalu. 

PERBANKAN nasional akan menghadapi tantangan berat dengan berlakunya era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Era ini akan "menggilas" bank yang lemah. Sementara bank yang kuat akan menjadi pemenang. Era ini juga menjadi ajang pembuktikan bagi bank-bank milik pemerintah yang selama ini mendominasi perbankan di Tanah Air.

Ada empat bank milik pemerintah, yakni Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Tabungan Negara (BTN). Secara kapitalisasi, bank-bank BUMN memang masih menjadi market leader perbankan nasional. Peranan bank-bank BUMN ini mencapai 60 persen. Namun meski begitu, bank-bank BUMN ini masih kalah efisiensi dibanding bank-bank di negara ASEAN.

Pada tahun lalu, rasio beban operasional dibagi pendapatan operasional atau BOPO bank-bank BUMN sekitar 71%. Namun BOPO bank-bank ASEAN lebih baik lagi berkisar 40-60 persen.
Begitu juga dari sisi aset, bank-bank nasional masih kalah dari DBS, OCBC, UOB, tiga bank besar dari Singapura. Bahkan, meski aset bank-bank BUMN (Mandiri, BNI, BRI dan BTN) ini digabung, masih jauh dari aset DBS.

Belum lagi jika kita melihat keagresifan bank asing untuk ekspansi ke Indonesia. Seperti kita ketahui bersama, bank-bank asing dari negara ASEAN sudah cukup lama hadir di Indonesia, bahkan cabang-cabangnya telah menyebar ke seluruh provinsi di Tanah Air. Seperti bank CIMB Niaga dan Maybank dari Malaysia, atau UOB bank dari Singapura.

Sementara Indonesia, baru gencar melakukan ekspansi dalam beberapa tahun terakhir ini. Dan itu pun belum mengakar seperti bank-bank dari negara Malaysia dan Singapura yang telah cukup lama hadir di Indonesia. Ini tentu menjadi tantangan yang berat bagi industri perbankan di Tanah Air, jika tidak segera berbenah.

Pasar Strategis

Indonesia sendiri merupakan pasar yang strategis bagi bank asing. Berdasarkan catatan lembaga international McKinsey Global Institute, Indonesia akan menjadi negara perekonomian ketujuh terbesar di dunia pada 2030. Kelas menengah meningkat drastis dari 45 juta orang menjadi 135 juta orang.

Selain itu terjadi peningkatan kontribusi populasi yang tinggal di perkotaan. Dari 53 persen penduduk perkotaan menyumbang 74% PDB, menjadi 71% penduduk perkotaan menyumbang 86% PDB. Kebutuhan tenaga kerja terampil juga diproyeksi meningkat dari 55 juta orang menjadi 113 juta orang. Indonesia juga tercatat berada di peringkat ke-4 Prospective Destination berdasarkan UNCTAD World Investment Report.

Periset Senior Network Market Investor Fadli Setiawan mengatakan, pasar di Indonesia sangat disukai bank-bank asing karena bunganya besar. Sementara, penetrasi kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) masih sangat kecil.

Karena itu, menurut dia, tak ada pilihan selain bank-bank nasional harus melakukan konsolidasi dari sekarang. Dan itu harus dimulai dari bank-bank besar yang notabene bank-bank pelat merah. Konsolidasi perbankan akan memperkuat struktur permodalan, infrastruktur dan likuiditas bank.

Menurut pengamat ekonomi dari Universitas Brawijaya Chandra Fajri, konsolidasi perbankan diperlukan untuk menghadapi gempuran bank-bank asing yang akan masuk secara bebas ketika liberalisasi perbankan Masyarakat Ekonomi ASEAN diberlakukan pada 2020. Saat ini, lanjut Chandra, dari sisi ukuran aset, perbankan di Malaysia memiliki aset tiga kali lebih besar dibandingkan bank-bank nasional jika digabungkan.

"Ke depan, bank modalnya harus besar. Semakin besar asetnya, semakin efisien. Produknya beragam. Ambil contoh, Bank CIMB Malaysia yang empat kali lebih besar dari Mandiri. Itu kalau kita ambil uang di ATM di berbagai negara, tidak kena biaya," ujarnya.

Jika konsolidasi perbankan tidak berjalan dan tidak ada perubahan, bank-bank nasional akan tersingkir dan menjadi pemain lokal. Hal itu sudah terlihat saat ini Bank of Tokyo Mitsubishi, sudah masuk ke Indonesia. Karena bank tersebut mengincar pengusaha-pengusaha Jepang yang berinvestasi di Indonesia.

Sementara menurut pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Lana Soelistyaningsih, penyaluran kredit Singapura saat ini sudah mencapai 120 persen terhadap PDB. "Industri perbankan mereka sudah mengalami titik jenuh. Saya khawatir Indonesia dapat dijadikan pasar bagi bank asing yang struktur permodalanya jauh lebih kuat dari besar dari perbankan di Indonesia," ujar dia.

Efisiensi dan Konsolidasi Strategis

Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) pernah mengatakan, efisiensi merupakan harga mati. Sebab, berdasarkan audit BPK, bank-bank BUMN belum efisien. Inefisiensi ini terlihat dari belanja modal bank. Kondisi ini menurut BPK tidak bisa dibiarkan. Mengingat kontribusi bank BUMN sangat signifikan bagi keuangan negara.

Pada tahun 2012 saja, bank-bank BUMN telah memberikan kontribusi deviden sebesar Rp 7,5 triliun. Indonesia sendiri memiliki empat bank BUMN. Yakni, Mandiri, BRI, BNI dan BTN. Karena itu, pembenahan di segala bidang oleh perbankan nasional harus dilakukan.

Menurut Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Haddad, terdapat dua jenis konsolidasi yang dapat dilakukan bank-bank BUMN. Yakni, konsolidasi secara institusi seperti merger atau akuisisi dan konsolidasi strategis.

Konsolidasi institusi atau merger menurutnya, cukup sulit dilakukan. Sebab, memerlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan hal dan masing-masing bank BUMN telah berstatus perusahaan publik.

Karena itu, pilihan terdekat dan tercepat adalah konsolidasi strategis. Konsolidasi strategis ini berbentuk penyamaan persepsi dan kebijakan perusahaan, terkait wilayah dan jenis produk. Sehingga, ada pembagian tugas yang jelas diantara bank-bank BUMN. Dan untuk kegiatan yang tumpang tindih dapat dihindari, sehingga lebih efisien.

Selama ini, OJK melihat perbankan pelat merah berjalan sendiri-sendiri, terutama di daerah. Selain itu, perlu pengaturan secara terintgrasi, mengingat saat ini bank tidak hanya mengelola anak usaha lembaga keuangan perbankan, tapi juga anak usaha lembaga keuangan non bank seperti asuransi.

"Intinya konsolidasi perbankan itu penting. ini untuk mewujudkan industri keuangan yang lebih kompetitif, lebih berdaya tahan dan berdaya saing menghadapi MEA," ujar Muliaman.

Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin menilai, saat ini bukan waktu yang tepat untuk bicara konsolidasi institusi. Menurutnya, lebih baik perbankan pelat merah memperbaiki kinerja terlebih dahulu. "Kalau masa susah seperti ini, menurut saya beres-beres dulu masing-masing bank," ujarnya.

Hal senada diungkapkan pihak BNI. "Konsolidasi saya pro, tetapi bentuknya tidak harus merger ya," ujar Direktur Utama BNI Achmad Baiquni. Menurutnya, konsolidasi perbankan dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama bisnis dalam hal pemasaran, infrastruktur maupun pelatihan.

"Misalnya, pembiayaan-pembiayaan sindikasi, sharing infrastruktur seperti ATM (anjungan tunai mandiri). Tidak masing-masing bank memiliki ATM dengan branding sendiri-sendiri. Ini juga untuk efisiensi," ujarnya.

Menurutmua, kerjasama semacam ini lebih cepat dan efektif dalam menghadapi kompetisi ketat perbankan di era MEA. Sementara proses merger, menurutnya, sulit dan memakan waktu yang panjang karena harus melalui proses hukum dan perlu menyamakan karakter bank yang berbeda.

Diteruskan Baiquni, hal utama yang perlu diperhatikan pemerintah untuk menghadapi MEA adalah prinsip kesetaraan perbankan atau asas resiprokal di setiap negara ASEAN. Selama kesetaraan tersebut tidak tercapai, maka besarnya aset dan modal tidak akan memberikan pengaruh signifikan dalam kesuksesan menghadapi MEA.

Dukung Pembangunan Infrastruktur

Persoalan konsolidasi bank-bank BUMN sejatinya tidak sekedar untuk menghadapi MEA. Namun agar bank-bank BUMN bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Sebab, hampir 60 persen dari belanja APBN habis untuk membayar gaji dan sisanya untuk membayar subsidi dan utang. Tanpa perubahan drastis manajemen fiskal, APBN tidak bisa diandalkan. Yang bisa membiayai hal tersebut taklain bank dan karena itu bank-bank harus memiliki permodalan yang kuat.

Senior VP Corporate Secretary Group PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Rohan Hafas pernah mengatakan, bank-bank milik pemerintah memang harus segera meningkatkan kemampuannya terutama dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur.

Jika peluang ini diambil bank-bank asing, efek turunannya ke perekonomian akan jauh berkurang. Saat ini, kemampuan Bank Mandiri membiayai satu proyek infrastruktur hanya sekitar Rp 20 triliun sesuai aturan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Jika seluruh bank BUMN ikut membiayai, nilai kreditnya bisa mencapai Rp 50-60 triliun. "Dengan pembiayaan bersama saja belum bisa memberikan kredit hingga Rp 100 triliun kepada Pertamina, Jasa Marga, dan PLN. Itulah pentingnya bank BUMN dikonsolidasikan," katanya.

Jika pembiayaan proyek infrastruktur lebih banyak berasal dari bank asing, pemerintah sulit untuk menolak syarat lain yang diajukan seperti asuransi kredit dari perusahaan asuransi asing dari negara yang bersangkutan. Demikian juga untuk kontraktornya harus dari negara mereka, beli teknologi, tenaga konsultan juga harus dari negara yang sama.

Jika semua diambil asing, trickle down effect dan sebagian PDB akan ditarik ke negara mereka. Inilah salah satu pentingnya konsolidasi bank BUMN sebagai agen pembangunan.

Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI), kinerja bank BUMN semester I-2015, cukup baik meski kondisi ekonomi Indonesia sedang melambat. Laba bersih BTN naik 54,25% menjadi Rp 831,16 miliar. Kenaikan ini ditopang dari pendapatan bunga yang naik menjadi Rp 7,35 triliun. Penyaluran kredit tumbuh 18,55% menjadi Rp 115,95 triliun.

Bank Mandiri mencatatkan pertumbuhan laba bersih 3,5% menjadi Rp 9,92 triliun. Pendapatan bunga naik 13,825 menjadi Rp 21,9 triliun. Sementara laba bersih BRI naik tipis 2,18% menjadi Rp 11,94 triliun. Hanya BNI saja yang labanya turun 50,77% menjadi Rp 2,43 triliun.

Namun menurut Direktur Utama BNI Achmad Baiquni, penurunan laba itu karena meningkatnya beban pencadangan perseroan sebesar 172,25% dari Rp 2,2 triliun di semester I-2014 menjadi Rp 6 triliun di semester I-2015.

Konsolidasi ATM dan EDC

Meski bank-bank BUMN tidak merger, berbagai upaya untuk memperkuat posisi perbankan di Tanah Air memang tengah dilakukan. Salah satunya konsolidasi ATM bank BUMN.

Bisa dibilang ini adalah salah satu konsolidasi strategis yang smart. Bagaimana tidak, selama ini bank-bank BUMN mengeluarkan biaya yang besar untuk infrastruktur ATM. Dengan adanya konsolidasi, biaya infrastruktur ATM akan digotong bersama. Hal ini jelas memberikan efisiensi yang besar kepada setiap bank.

Dan konsolidasi ini tidak saja menguntungkan perbankan, tapi juga masyarakat selaku nasabah keempat bank BUMN. Nasabah menjadi tidak repot lagi harus mencari ATM yang sesuai dengan rekening banknya. Nasabah juga membayar tarif yang lebih murah dalam bertransaksi.

Menariknya lagi, konsolidasi mesin ATM ini juga memungkinkan untuk dimanfaatkan nasabah anak perusahaan keempat bank tersebut. Misalnya, bank syariah. Sehingga, biaya investasi infrastruktur bank-bank BUMN dan anak perusahaannya menjadi lebih efisien.

Konsolidasi ATM BUMN ini direncanakan terealisasi pada Desember 2015. Tahap awal, ada 50 ATM yang akan digabungkan. Jika berjalan mulus, maka empat bank akan menambah masing-masing 200 ATM. Sehingga, total konsolidasi ATM ini mencapai 800 ATM di kuartal I-2016.

Sinergi perbankan badan usaha milik negara (BUMN) tidak hanya berhenti pada ATM. Bank-bank BUMN juga berencana mensinergikan penggunaan mesin electronic data captured (EDC).

Direktur Teknologi dan Operasional Bank Mandiri, Ogi Prastomiyono menuturkan, untuk sinergi EDC, bank dengan kode emiten BMRI ini telah mendapatkan izin untuk mendirikan perusahaan modal ventura dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Nantinya, perusahaan modal ventura ini akan mencari partner strategis untuk membentuk perusahaan dengan skema joint venture (JV). Perusahaan JV ini akan bertindak sebagai agregator equiring EDC. Dengan demikian, mesin EDC tersebut dapat digunakan oleh bank bank lainnya.

"Izin modal ventura sudah terbit, sekarang dalam tahap mencari partner strategis untuk membentuk perusahaan JV. Kami sangat terbuka dengan partner strategis manapun terlebih bank lain terutama BUMN untuk bergabung karena semangatnya adalah sinergi," ujar Ogi.

Pada praktiknya nanti, konsolidasi EDC ini akan sama dengan konsolidasi ATM. Sehingga masing-masing bank milik pemerintah tidak perlu menginvestasikan satu mesin EDC di setiap merchant. Dengan konsolidasi EDC ini, maka satu mesin EDC dapat digunakan oleh banyak bank sekaligus. Ini tentu mendorong efisiensi kalau dilakukan secara bersama sama.

Selain itu, bank BUMN pun dapat menghemat investasi mesin EDC. Sebab mesin tidak harus beli, melainkan bisa dengan sistem sewa. Sementara, banyaknya mesin EDC yang ada di satu merchant selanjutnya dapat direlokasi ke merchant lain yang belum tercover EDC.

Nah, dalam pembentukan perusahaan JV ini, bank berlogo pita emas akan bertindak sebagai pemegang saham mayoritas. Tahun depan rencananya perusahaan yang bertindak sebagai agregator equiring EDC ini sudah dapat mulai beroperasi.

Langkah konsolidasi strategis yang juga telah dilakukan yakni, pemerintah sudah mulai menempatkan mantan direksi bank BUMN menjadi direksi di bank pelat merah lainnya. Tujuannya, untuk mempermudah sinergi antarbank milik pemerintah. Jika pemerintah ingin memperbesar bank BUMN, tidak ada jalan lain selain terus memperkuat modalnya.

Peran OJK

Dengan semua tantangan dan peluang di atas, OJK sebagai wasit industri perbankan tentu saja memiliki peranan yang besar. Terutama untuk memuat cetak biru perbankan nasional. Penyusunan cetak biru tersebut harus melibatkan para pemangku kepentingan, seperti otoritas perbankan, pemerintah, DPR, sehingga tercipta produk akhir yang sesuai harapan.

OJK memang berencana membuat masterplan sektor jasa keuangan 2015-2019. Masterplan ini akan menjadi dasar bagi OJK melakukan tugas pengawasan terhadap sektor lembaga keuangan di Indonesia. Targetnya, masterplan sudah bisa diumumkan dan akan menjadi dokumen publik.

Dijelaskan Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Haddad, masterplan ini akan secara detail membuat pengawasan terhadap sektor-sektor jasa keuangan seperti pasar modal, perbankan, asuransi dan lainnya.

Masterplan ini akan memuat tiga pilar yaitu menyangkut kontribusi, stabilitas dan inklusi keuangan. Kontribusi mengarahkan optimalisasi peran OJK dalam mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan.

Stabilitas mengarah kepada upaya menciptakan sistem keuangan sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan. Sementara inklusi keuangan diarahkan untuk mewujudkan kemandirian finansial masyarakat serta mendukung upaya peningkatan pemerataan pembangunan.

Meski begitu, bukan hanya bank-bank konvensional milik pemerintah yang harus berbenah. Melainkan bank-bank swasta dan bank syariah. Untuk bank swasta sejak tahun lalu, banyak yang sudah melakukan merger.

Sementara untuk bank syariah, OJK telah pula membuat roadmap bagi perbankan syariah. Dalam roadmap ini, OJK antara lain mendorong penguatan modal perbankan syariah dengan memperbaiki ketentuan permodalan perbankan syariah dan mendorong pembentukan BUMN/BUMD Syariah. OJK juga menginisiasi dan mengembangkan sharia investment bank terutama dalam rangka pembiayaan proyek-proyek infrastruktur.(gustina asmara/dari berbagai sumber)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved