Membanggakan, 3 Novelis Lampung Unjuk Gigi ke Tingkat Nasional

Geliat para novelis Lampung yang sempat mulai redup kini mulai unjuk gigi kembali.

Penulis: Eka Ahmad Sholichin | Editor: Reny Fitriani
Tribunlampung/Eka
3 Novelis Lampung Unjuk Gigi ke Tingkat Nasional 

Laporan Reporter Tribun Lampung Eka Ahmad Solichin

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Geliat para novelis Lampung yang sempat mulai redup kini mulai unjuk gigi kembali. Bahkan karya-karya mereka saat ini tidak hanya sebatas lokal saja akan tetapi sudah mulai merambah ke tingkat nasional.

Itu ditunjukan dengan kemunculan tiga novelis Lampung yang baru-baru ini telah melaunching buku mereka. Ketiganya adalah Devin Nodestyo dengan judul John The Bandit, Yulizar Lubay berjudul Payung Dara, dan Alexander GB dengan karyanya bertajuk Kampung Tomo.

Baca: Seolah Tak Kapok, Elly Sugigi Kembali Jatuh ke Pelukan Berondong, Ini Tampang Pacar Barunya

Karya buku para novelis tersebutpun didanai secara pribadi dan rata-rata diselesaikan kurang lebih dalam kurun waktu yakni selama dua tahun dari proses, pencetakan hingga launching buku.

Baca: Elemen Mahasiswa Lampung Utara Dukung Penolakan Anti Politik Uang

Novel karya Devin Nodestyo dan Yulizar Lubay merupakan karya perdana mereka, sementara novel yang ditulis Alexander GB, merupakan karya keduanya.

Karya novelis Yulizar Lubay berjudul Payung Dara yang ditulis sebanyak 120 hal secara umum berkisah tentang psikologi manusia bagaimana bisa melepas dari jerat masa lalu dan tetap melangkah ke masa depan.

"Konfliknya kebetulan saya pilih cinta. Jadi, ada memasukan agen masa lalu tokoh bernama Willy dan Maruli sebagai tokoh masa depan bagi tokoh utama yakni Patria," tutur Yulizar, Minggu (21/1/2018).

Persoalan psikologi menjadi penekanan, sambung Yuliza, dalam penulisan novel karyanya tersebut yakni bagaimana lebih kepada memunculkan sisi gelap si tokoh utama.

"Ya dalam kisah ini ada pergulatan antara masa lalu dan masa depan. Jadi, sisi gelap menginginkan tetap terngiang-ngiang masa lalu. Ya kalau anak jaman sekarang bilangnya Galon (gagal move on)," timpalnya.

Ispirasi-inspirasi dalam pembuatan novel karyanya tidak jauh-jauh dari kehidupan sehari-sehari, berita telivisi, dan bisa juga peristiwa sehari-hari yang terlihat.

Bebeberapa penulis ternama menjadi panutan bagi Yulizar dalam menginspirasi karyanya di antaranya Ari Pahala Hutabarat (Lampung), Eka Kurniawan, bahkan hingga karya penulis ternama Haruki Murakami.

"Kalau Haruki ini saya kagum karena bagus karya-karyanya dan dibaca banyak orang. Cara penulisannya dengan gaya popular dan punya dua lapisan yakni bisa ditangkap pembaca awam dan pembaca serius dengan landasan filosofis bahkan dia ini hobi lari karena nulis itu butuh energi banyak," paparnya.

Sementara, karya novelis lainnya, Devin Nodestyo, berjudul 'John The Bandit' mengangkat cerita tentang seorang bandit jaman koboi yang setting lokasinya bertempat di Amerika.

Ceritanya tentang pasukan konfederasi perang sipil Amerika yang memutuskan menjadi bandit dan sempat membunuh sherif dalam pelariannya.

"Jadi dalam kisah novel ini banyak kisah yang diulas mulai balas dendam, cinta, dan spiritual. Jadi, si bandit ini mendapatkan sesuatu dalam pelarian dan bertemu beberapa orang yang memiliki kesamaan rasa yakni kesepian," jelasnya.

Kebanyakan jika di film-film koboi menggambarkan sisi maskulin, hero, namun dalam kisah novelnya mengangkat sisi lain si tokoh yang walaupun hero tapi juga memiliki rasa sakit.

"Namun yang paling utama dalam novel ini yakni bagaimana kita menceritakan kisah hidup si tokoh tersebut. Untuk lokasi tempat bisa dimana saja, sebab saat ini sangat mudah mengakses referensinya. Dan literatur bisa dari membaca, lihat film dan lainnya," katanya.

Proses pembuatan novel karyanya yang memiliki sebanyak 145 halaman tersebut, memakan waktu selama kurang lebih dua tahun untuk pengerjaannya.

Cerita sendiri terinspirasi dari novel berjudul 'No Country for Old Men' karya penulis Cormac McCarthy. Kelebihan penulis ini bisa terasa dingin dalam menceritakan-menceritakan kejahatan dan kriminal.

"Ya awalnya agak ragu untuk menulis novel karya perdana saya ini karena sama sekali memang tidak ada dasar buat menulis. Terutama persoalan sintaksis sebab itu hal penting dalam membuat tulisan novel. Tapi, karena dukungan teman-teman di Kober Lampung akhirnya termotivasi buat lanjut nulis," jelasnya.

Penulis yang menjadi inspirasi dan panutan tentunya, Ketua Umum Kober (Komunitas Berkat Yakin)Lampung, Ari Pahala Hutabarat, yang menjadi spirit dalam penulisan karya novel perdananya tersebut.

"Hasil dari John the bandit tidak lain adalah konstribusi besar dari bang Ari yang memiliki kerendahan hati, kesabaran, mengarahkan, dan memiliki pengetahuan yang kredibel sehingga saya dapat menyelesaikan novel tersebut," ungkapnya.

Novel karya Alexander GB bertajuk 'Kampung Tomo' berkisah tentang seorang pemuda kampung yang kebetulan merantau lama di kota namun harus kembali lagi ke kampung halamannya lagi.

"Jadi, di novel ini memang lebih dominan pada eksistensial, kampung halaman, keluarga dan konflik-konflik yang menyertainya. Konfliknya sendiri lebih kepada pergeseran adanya masa transisi dari kota ke kampung halaman," papar Alexander.

"Ini buku kedua saya. Proses pengerjaannya melalui dua tahap yakni soal penulisan sendiri. Ini yang buat lama karena harus belajar menulis kalimat dengan tepat. Lalu, tahap selanjutnya menulisnya sehingga total waktu pengerjaannya 2 1/2 tahun karena ini tidak lepas soal logika bahasa dan peristiwa," terangnya.

Buku karyanya yang terdiri dari 200 halaman tersebut, sebenarnya terinspirasi dari karya cerpennya yang berjudul 'Tomo'. Nama 'Tomo' dipilih karena mudah diingat dan cocok untuk setting peristiwa di kampung.

Alexander GB menerangkan kesulitan dalam penulisan karyanya yakni pada penokohan dan membangun peristiwa yang utuh dan wajar, tentunya dalam isinya ada sejarah si tokoh, sisi baik dan buruknya, kemudia cara bicara dan bertindak.

"Dan juga termasuk memilih peristiwa yang tepat dan enak dibaca serta mengalir pada saat dibaca," jelas pria yang juga menjabat Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Lampung (DKL).

Inspirasi baginya dalam membuat karya novel sendiri bermacam-macam dan bisa didapat dari mana saja mulai dari baca buku-buku penulis lain yang kualitas bacanya bagus seperti Ari Pahala Hutabarat, Gabriel Garcia Marquez, Murakami, Ernest Hemingway, dan lainnya.

"Ya seperti Gabriel, dengan gaya penulisan bagus sebab dia bisa menampilkan teknik modern tapi mengangkat lokalitas. Beliau juga disebut sebagai tokoh realisme magis," tuturnya.

Ketiga buku novel karya para novelis Lampung tersebut dibanderol Rp 50 ribu per buku dan diterbitkan oleh penerbit Lampung Literature. Sementara biaya pencetakannya dilakukan secara mandiri dan penjualannya sudah tersebar ke Jakarta, Batu Raja, Kendari, dan Lampung.

"Ya pencetakan benar-benar usaha sendiri, karena cetak buku untuk di Lampumg susah ketemu bagi yang mau mendanai untuk penerbitan buku sastra. Jadi kami mandiri cari uang terkadang pakai proposal dan lainnya supaya bisa terwujud," ungkapnya. (eka)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved