Media Asing Kritik Pemerintahan Jokowi Doyan Pencitraan untuk Tutupi Kegagalan, Ini Fakta Sebaliknya
Media Asing Kritik Pemerintahan Jokowi Doyan Pencitraan, Fakta di Lapangan Ternyata Sebaliknya.
Penulis: wakos reza gautama | Editor: wakos reza gautama
Presiden Joko Widodo memiliki alasan khusus mengapa pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela diputuskan untuk dibangun di darat (onshore).
"Fokus Presiden terkait Blok Masela, tidak hanya sekedar keuntungan yang dikejar. Tapi berkaitan dengan pengembangan wilayah Indonesia timur," ujar Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi di Istana, Rabu (23/3/2016), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Jokowi ingin pembangunan kilang pengolahan gas Blok Masela di darat itu turut merangsang perkembangan infrastruktur di sekitarnya sehingga berimbas positif bagi ekonomi masyarakat di daerah tersebut.
"Apalagi ini adalah proyek yang tidak berjalan setahun dua tahun. Tapi juga bisa puluhan tahun dan kapital yang diproyekkan ini kan ratusan triliun," lanjut Johan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kala itu masih dijabat Arcandra Tahar menyatakan akan mengikuti keputusan Presiden RI Joko Widodo terkait pengembangan lapangan gas abadi Masela, Laut Arafura, Maluku, yakni pengembangan darat (onshore).
Arcandra memastikan tidak memiliki niat untuk melakukan kajian ulang terhadap pengembangan Blok Masela, meski memiliki kompetensi di bidang perencanaan anjungan minyak dan gas bumi (migas) lepas pantai (offshore).
“Masela sudah diputuskan oleh Pak Presiden untuk menggunakan opsionshore. Saya sebagai pembantu presiden, akan menjalankan amanat ini agar Masela dikembangkan dengan pilihan LNG plant-nya ada di onshore. Itu jawabannya,” kata Arcandra saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Jakarta, Jumat (29/7/2016).
Kelima, sorotan ATimes berikutnya adalah masalah swasembada pangan. Tahun 2015, pemerintah mengumumkan turunnya impor daging sapi dari 31% ke 24%, tanpa ada yang mengemukakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia adalah sangat rendah di wilayah Asia Tenggara (hanya 2,7kr per kapita per tahun).
Angka impor ini naik lagi ke 32% dan tahun lalu (2017) proporsi impor daging sapi mencapai 41% dengan harga daging 10 USD per kilogram.
Baca: Ini yang Dilakukan Iqbaal Saat Disebut Tak Layak Perankan Dilan! Videonya di Youtube Trending Topic!
ATimes menganggap sangat aneh jika pemerintah mengklaim ini sebagai bukti keberhasilan program swasembada pangan.
FAKTANYA:
Mengenai swasembada pangan, khususnya daging sapi, yang disoroti media asing tersebut, pada Agustus 2018 lalu Kementerian Pertanian merilis data menekan angka impor daging.
Hal tersebut terlihat dari data tren penurunan angka impor daging sapinasional, setidaknya sejak 2016. Data tersebut sekaligus membantah isu yang dihembuskan beberapa pihak yang menyatakan impor daging sapi meningkat.
Data yang dirangkum oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian menunjukkan realisasi Impor daging pada tahun 2016 sebanyak 147.851 ton, sementara pada tahun 2017 turun menjadi sebanyak 120.789 ton.
Sedangkan impor daging untuk tahun ini 2018 sampai dengan 30 Juni realisasi baru mencapai 69.168 ton atau baru mencapai 61% dari prognosa impor daging tahun 2018 sebesar 113.510 ton.
"Artinya, dari data tersebut, apabila impor daging tahun 2018 tidak melebihi prognosa, maka impor daging mengalami trend penurunan dari tahun 2016-2018," jelas Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan I Ketut Diarmita saat diwawancarai pada Sabtu (18/8/2018).(*)