Istilah "Pelakor" Cenderung Salahkan Perempuan dalam Perselingkuhan

Belakangan ini, masyarakat Indonesia dibombardir cerita mengenai "pelakor". Kepanjangan dari "perebut (le)laki orang".

Editor: Yoso Muliawan
(Thinkstock, Ilustrasi)
Jika digunakan sendirian, istilah "pelakor" menghapus peran laki-laki dalam aksi kolaboratif perselingkuhan. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Belakangan ini, masyarakat Indonesia dibombardir cerita-cerita mengenai "pelakor". Kepanjangan dari "perebut (le)laki orang".

Istilah pelakor ditujukan bagi perempuan yang dianggap bertanggung jawab merusak hubungan pernikahan sepasang suami istri.

Masyarakat terpapar cerita-cerita ini nyaris setiap hari. Baik di media sosial maupun di saluran media tradisional. Banyak orang lalu mengekspresikan kebencian mereka terhadap pelakor di media sosial.

Meskipun ada pernyataan yang netral dan cukup reflektif, tetapi sikap yang menunjukkan kebencian lebih banyak ditemukan. Misalnya di Instagram, platform media sosial berbasis gambar dan teks yang sering digunakan orang untuk berbagi berita. Kemudian di Facebook.

Ujaran kebencian umumnya ditujukan kepada perempuan tertuduh, dengan digunakannya istilah pelakor.

Sebagai peneliti linguistik, saya ingin mengangkat satu masalah dari penggunaan istilah pelakor dalam percakapan mengenai perselingkuhan. Istilah yang digunakan untuk menyalahkan dan mempermalukan perempuan, dan sama sekali tidak menyalahkan laki-laki yang melakukan perselingkuhan. Dalam konteks ini, istilah pelakor perlu dianalisis secara kritis.

Retorika yang Timpang

Retorika pelakor timpang karena menempatkan perempuan sebagai perebut. Seorang pelaku yang aktif dalam kegiatan perselingkuhan, dan menempatkan sang laki-laki seolah-olah sebagai pelaku yang tidak berdaya (barang yang dicuri, tak berkuasa).

Terlebih, secara sosiolinguistik, istilah ini sangat berpihak kepada laki-laki, karena seringkali muncul dalam wacana keseharian tanpa istilah pendamping untuk laki-laki dalam hubungan tersebut.

Dalam kebanyakan tulisan yang saya telusuri untuk pencarian data mengenai peredaran istilah pelakor, secara umum ia digunakan sendiri, atau sang laki-laki secara terang-terangan absen dalam cerita tersebut.

Secara kebahasaan istilah ini meminggirkan perempuan. Lebih dari itu, istilah ini menunjukkan fenomena sosial-budaya yang lebih besar.

Kerapnya istilah ini digunakan dalam cerita di media sosial dan dalam pemberitaan tanpa didampingi istilah yang sepadan untuk pelaku laki-laki, menunjukkan bahwa istilah ini seksis.

Penggunaan istilah tersebut secara sendirian, tidak dibarengi dengan penggunaan istilah untuk si lelaki tak setia, menunjukkan kecenderungan masyarakat kita yang hanya menyalahkan perempuan dalam sebuah perselingkuhan. Meskipun, jelas dibutuhkan dua orang untuk itu. Kita perlu ingat fakta bahwa (setidaknya) ada dua pihak yang terlibat perselingkuhan.

Kecenderungan masyarakat Indonesia untuk menyalahkan pelakor saja, menunjukkan bias negatif kita terhadap perempuan. Dan pada saat yang sama, mengglorifikasi laki-laki.

Dalam kasus perselingkuhan, tampaknya masyarakat Indonesia masih menerapkan bias gender. Jika perselingkuhan terjadi, kesalahan ditimpakan kepada perempuan, baik dalam peran perempuan sebagai korban (istri yang dikhianati—yang seringkali dianggap "gagal" mengurus suami) atau kepada perempuan lain, yang dianggap merebut.

Dengan kata lain, kecenderungan kita untuk berteriak pelakor tanpa menyebut-nyebut sang lelaki, menggambarkan kekerasan terhadap perempuan dan persepsi yang buruk terhadap perempuan.

Memasukkan Kembali Peran Laki-laki

Jika digunakan sendirian, istilah pelakor menghapus peran laki-laki dalam aksi kolaboratif perselingkuhan. Penggunaan istilah ini dalam isolasi tidak hanya mengerdilkan "daya pikir" sang laki-laki (seakan-akan ia hanya bisa "diculik" oleh perempuan lain tersebut, karena ia tidak bisa menggunakan otaknya untuk mengevaluasi apa yang ia lakukan), tetapi juga menghilangkan agensinya sebagai manusia yang bebas dan berdaya.

Sang laki-laki bukanlah barang yang dicuri. Ia sama-sama bertanggung jawab dalam situasi ini, dan seharusnya secara linguistik dan retorik tidak dihilangkan dalam narasi.

Maka, jika kita masih perlu memberi label pada perempuan yang melakukan perselingkuhan dengan laki-laki yang sudah memiliki pasangan dengan istilah pelakor, marilah kita gunakan bersama-sama dengan "letise" (lelaki tidak setia). Sebab, kedua pihak berkolaborasi dalam perselingkuhan.

Mari gunakan istilah pelakor dan letise bersama-sama, jika di antara kita berkukuh untuk memberi label. Sebenarnya "Wanita Idaman Lain (WIL)" masih jauh lebih netral, yang secara pragmatik menyiratkan "kesertaan" lelaki dalam wacana perselingkuhan.

Pada titik itu, saya mempertanyakan kecenderungan kita untuk menghakimi masalah pribadi orang lain ketika kita hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai kasus tersebut dan orang-orang yang terlibat.

Bisa jadi alasan hadirnya istilah pelakor hanya karena beberapa dari kita merasakan kebutuhan yang kuat untuk menghakimi orang lain, dan secara tidak adil pula.

Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.

(Nelly Martin/The Conversation)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved