Menelisik Praktik "Bacha Posh" di Afghanistan: Anak Perempuan Dibesarkan sebagai Anak Laki-laki
Praktik "bacha posh" mendorong para orangtua mendandani anak perempuan sebagai anak laki-laki untuk masa depan yang lebih baik.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Di beberapa sudut Negara Afghanistan, ada sejumlah anak perempuan yang menikmati kebebasan yang sama seperti anak laki-laki.
Sepanjang sejarah, mereka "menyamar" sebagai laki-laki untuk menavigasi peran sosial yang mengakar.
Mereka berpakaian seperti laki-laki untuk berperang, bergabung dengan ordo religius, hingga menjadi makmur secara profesional.
Di Afghanistan, beberapa keluarga membesarkan anak perempuan mereka sebagai anak laki-laki. Tujuannya: memberi mereka kehidupan yang lebih baik.
"Apabila satu gender sangat penting dan (gender) yang lainnya tidak diinginkan, selalu ada orang yang mencoba melintas ke sisi lain," kata Najia Nasim, direktur Negara Afghanistan untuk Women for Afghan Women yang berbasis di Amerika Serikat.

Di tengah kentalnya patriarki di Afghanistan, ketergantungan ekonomi terhadap laki-laki dan stigma sosial membuat orangtua berada dalam posisi sulit.
Anak perempuan sering dianggap sebagai beban. Sementara anak laki-laki dianggap akan menghasilkan uang, meneruskan warisan keluarga, dan tinggal di rumah untuk merawat orangtua mereka yang sudah lanjut usia.
Untuk mengatasi hal ini, beberapa keluarga mengubah "konsep anak perempuan" mereka saat lahir dalam sebuah praktik yang dikenal sebagai "bacha posh."
Bahkan, ada rumor bahwa anak perempuan "bacha posh" akan melahirkan anak laki-laki pada kehamilannya.
"Cara ini memungkinkan keluarga menghindari stigma sosial yang terkait dengan 'tidak memiliki anak laki-laki'," kata Nasim.
"Anak perempuan 'bacha posh' memungkinkan pergi berbelanja sendiri, membawa saudara perempuan mereka dari sekolah, mendapatkan pekerjaan, bermain olahraga, dan memainkan peran lain pada anak laki-laki di tengah masyarakat," sambung Nasim.

Kisah Setar dan Ali
Asal-usul praktik "bacha posh" masih belum diketahui. Akan tetapi, budaya ini menjadi semakin terkenal.
Pada musim panas tahun 2017, fotografer asal Swedia, Loulou d'Aki, pergi ke Afghanistan untuk mendokumentasikan "bacha posh".
Ia telah membaca The Underground Girls of Kabul, sebuah buku dari jurnalis Jenny Nordberg tentang praktik rahasia berpakaian gadis-gadis sebagai anak laki-laki.
Nordberg adalah orang pertama yang mendokumentasikannya. Dan, d'Aki terpesona oleh identitas ganda gadis-gadis ini.
Melalui penerjemah lokal, d'Aki bertemu sebuah keluarga yang dua dari enam anak perempuannya dibesarkan sebagai anak laki-laki.
Suatu hari, setelah Setareh lahir-anak perempuan ketiga-orangtuanya memutuskan untuk membesarkannya sebagai Setar, anak laki-laki.
Dua tahun kemudian, Ali lahir, dan dia juga dibesarkan sebagai anak laki-laki.
Saat saudara laki-laki mereka yang pertama dan satu-satunya lahir dari kehamilan sang ibu berikutnya, Setar dan Ali tetap melanjutkan hidup sebagai anak laki-laki.
Kini, Setar berusia 16 tahun. Ia kerap bermain sepakbola dan memiliki pacar yang tidak peduli dengan gendernya.
Saudaranya, Ali, 14 tahun, memiliki sekotak surat cinta yang ditulis oleh para pengagum wanitanya.
"Anak laki-laki memiliki status lebih tinggi. Semua orang menginginkan anak laki-laki," ujar d'Aki.
Terutama, di tengah keluarga berpenghasilan rendah, d'Aki menambahkan, "Jika Anda memiliki banyak anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki, itu ('bacha posh') hal yang biasa dilakukan."
Namun, seiring bertambahnya usia hingga pubertas mengungkap jenis kelamin mereka, hidup justru menjadi lebih sulit dan berbahaya.
Keluarga tersebut telah berkali-kali pindah untuk menghindari gangguan dan intimidasi.
Di jalanan, orang-orang berteriak dan menyebut mereka transeksual.
Ayah mereka mengantar Ali ke sekolah, sehingga Ali sampai dengan selamat.
Kedua orangtua Setar dan Ali sekarang ingin mereka mulai berpakaian dan berperilaku seperti anak perempuan. Namun, Ali maupun Setar tak menginginkannya.
"Sangat sulit menjadi perempuan di Afghanistan, dan Anda tidak memiliki banyak pilihan. Bahkan dalam kasus ini, ketika Anda belum memutuskan sesuatu untuk diri sendiri, orang lain telah memutuskannya untuk Anda," ungkap d'Aki.
"Gadis-gadis ini memiliki sedikit kebebasan, dan kemudian tiba-tiba mereka harus kembali menjadi perempuan di negara yang mana perempuan tidak memiliki kemungkinan dalam hal apapun," sambungnya.

Zara, Diangkat Pamannya Jadi "Bacha Posh"
D'Aki bertemu orang lain yang menghabiskan hidupnya sebagai anak laki-laki: Zara.
Ia yatim piatu. Pamannya mengangkatnya sebagai "bacha posh".
Zara menjalaninya dengan baik. Delapan pria telah melamarnya.
"Mereka melihatnya sebagai wanita yang sangat kuat," kata d'Aki.
Seorang ibu tunggal lain yang ditemui d'Aki mengangkat kedua putrinya sebagai anak laki-laki untuk melindungi keluarga mereka.
Dua Kasus Setahun
Women for Afghan Women melihat setidaknya ada dua kasus "bacha posh" dalam setahun, di tempat penampungan perempuan yang mereka jalankan di Kabul.
Para pekerja kasus merasa sangat tertantang dengan mereka, demikian menurut Nasim.
Gadis-gadis itu menderita pelecehan, penghinaan, dan pengasingan dari masyarakat.
Namun, seringkali mereka tidak ingin memulai hidup sebagai perempuan.
Pembatasan budaya gender sulit untuk diadopsi di kemudian hari: mereka harus belajar bagaimana hidup di bawah burqa, memasak untuk keluarga mereka, dan menurunkan pandangan mereka di antara orang asing.
"Ketika dia menjadi dewasa dan lebih tua, dia belajar bahwa tidak mungkin dia menjadi anak laki-laki dan tidak ada yang menerima dia sebagai perempuan," jelas Nasim.
"Ini adalah represi: mengabaikan kemampuan, bakat, dan hak perempuan. Menyangkal hak-hak agama dan hak asasi perempuan ternyata merupakan penghinaan terhadap jenis kelamin perempuan," sambungnya.
(Citra Anastasia, Sumber: Nina Strochlic/National Geographic)