Berita Luar Negeri
Facebook dan Google Masih Bisa Lacak Pengguna Pakai Mode Rahasia
Facebook, Googgle, dan Oracle ternyata masih menguntit aktivitas pengguna yang membuka situs asusila, sekalipun mengggunakan browser mode rahasia.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Saat ini ponsel pintar dengan berbagai browser sudah menggunakan mode rahasia. Mode rahasia ini ternyata banyak digunakan pengguna saat mengakses situs asusila.
Tidak sepenuhnya rahasia, ternyata data akses ini masih bisa dideteksi aplikasi pihak ketiga.
Facebook, Googgle, dan Oracle ternyata masih menguntit aktivitas pengguna yang membuka situs asusila, sekalipun mengggunakan browser mode rahasia atau incognito.
Fakta ini diungkap oleh studi baru yang dilakukan oleh periset dari Microsoft, Carneige Mellon University, dan University of Pennsylvania.
Mereka menganalisa 22.484 situs asusila dan menemukan bahwa data pengguna dibagikan dengan setidaknya tujuh domain pihak ketiga, termasuk Facebook dan Google.
Bahkan menggunakan browser dengan mode incognito pun dianggap percuma.
Sebab, meski riwayat pencarian tidak tersimpan di browser, data masih tetap akan mengalir ke pihak ketiga.
Baca juga: Wanita Terapis di Bekasi Ternyata Tewas Dibunuh Rekan Seprofesi
"Hasil riset kami mengindikasikan pelacakan endemik di situs asusilagrafi: 93 persen laman membocorkan data pengnguna ke pihak ketiga," sebut hasil penelitian itu.
Para peneliti menggunakan sebuah software open-source bernama webXray yang mendeteksi dan mencocokan data pihak ketiga.
Sebagaian besar informasi atau sekitar 79 persen dari situs asusila yang mengalirkan data, mentransmisikannya melalui pelacakan cookies dari perusahaan luar.
Google, termasuk platform perikalanan di bawah naungannya seperti DoubleClick, disebut melacak 74 persen situs asusilagrafi.
Sementara perusahaan software Oracle melacak 24 persen situs asusila.
Facebook, yang mana melarang semua bentuk konten pronografi di layanannya, melacak 10 persen situs asusila, berdasarkan hasil studi tersebut.
"(pemilik) Situs asusila seharusnya berpikir ulang tentang data yang mereka pegang karena itu sensitif, sebagaimana informasi kesehatan," ucap Elena Maris, periset dari Microsoft.
Dari penelitian itu juga diungkap bahwa hanya 17 persen dari 22.484 situs asusila yang telah menggunakan enkripsi.
Itu artinya, masih banyak situs asusila yang tak terenkripsi, sehingga data pengguna yang disimpan rentan diretas.
Seakan hal yang wajar Ilustrasi(Thinkstockphotos) Pelacakan di situs web seakan sudah menjadi hal wajar.
Data yang dikumpulkan digunakan sebagai modal untuk profiling pengguna yang nantinya akan digunakan untuk menargetkan iklan.
Misalnya saja Google Analytics, mereka akan memasukkan lagi lalu lintas data ke situs mereka agar bisa memantau aktivitas browsing pengguna.
Kemudian Facebook, yang sedang disorot soal penggunaan data pribadi pengguna beberapa waktu lalu, disebut menggunakan "like" sebagai pelacak data yang akan dikembalikan lagi ke Facebook untuk membuat personalisasi konten bagi pengguna.
Namun, dilansir KompasTekno dari Business Insider, Jumat (2/8/2019), Facebook dan Google membantah bahwa data pengguna dipakai untuk kebutuhan marketing.
Google mengklaim bahwa tag (tanda) untuk layanan iklan tidak diizinkan untuk mengirim informasi yang bisa diidentifikasi secara pribadi ke Google.
Hal yang kurang lebih sama juga diungkap perwakilan Facebook bahwa penggunaan alat pelacak untuk tujuan bisnis di situs asusila, tidak diizinkan.
Sementara itu, Oracle belum memberikan tanggapannya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com