Pilkada Bandar Lampung
Biaya Calon di Pilkada Bandar Lampung Tembus Rp 50 Miliar
Kalau maju sebagai Wali Kota Bandar Lampung, kata Lesmono, berarti harus sosialisasi di sekitar 126 kelurahan dengan 20 kecamatan.
Biaya Calon di Pilkada Bandar Lampung Tembus Rp 50 Miliar
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Suhu politik menyambut Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Bandar Lampung 2020, sudah menghangat.
Tokoh-tokoh politik mulai muncul ke permukaan, bahkan telah mendaftar dalam penjaringan di partai politik.
Satu pertanyaan yang kerap menjadi bahan pembicaraan adalah biaya mengikuti kontestasi pilkada.
Ternyata, sampai kemarin, jumlahnya cukup fantastis yakni mencapai Rp 50 miliar, untuk tingkat kabupaten/kota.
Penelusuran Tribunlampung.co.id, biaya maju pilkada secara umum terbagi menjadi beberapa item.
Di antaranya, untuk honor saksi yang bertugas mengawal pemungutan dan penghitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kemudian biaya acara kampanye, seperti kampanye terbuka dan terbatas.
Ada juga biaya survei dan program pemenangan melalui lembaga survei atau konsultan serta yang paling penting, menyewa partai politik sebagai kendaraan atau perahu.
Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) Bandar Lampung Wahyu Lesmono mengakui hal ini.
Menurut dia, untuk maju mengikuti pemilihan kepala daerah, sedikitnya mengeluarkan biaya Rp 5 miliar ke atas.
• Jelang Pilwakot Bandar Lampung 2020, Eva Herman HN dan Yusuf Kohar Sudah Ambil Formulir di PDIP
• Pilkada Bandar Lampung 2020: PKS Jajaki Jalan Bareng Rycko Menoza
Lesmono lantas memberikan sedikit gambaran dana apa saja yang bakal dikeluarkan oleh seorang calon kepala daerah.
Yakni, biaya operasional tim, buat atribut alat peraga kampanye, dana sosialisasi, dan banyak lagi.
Kalau maju sebagai Wali Kota Bandar Lampung, kata Lesmono, berarti harus sosialisasi di sekitar 126 kelurahan dengan 20 kecamatan.
Belum lagi, nanti ada biaya tim yang ikut mengawal suara di TPS.
"Ada 2.272 TPS, nah TPS itu harus dijaga oleh tim yang ditunjuk atau saksi-saksi dari pihak calon kada. Saksi ini diberikan insentif sekitar Rp 200 ribu per orang. Itu saja kalo dikalkulasikan sudah mencapai Rp 454.400.000 sendiri," bebernya.
Hal tak jauh berbeda diungkapkan Wakil Ketua PDI Perjuangan Bandar Lampung Fandi Tjandra, kemarin.
Ia mengatakan, untuk membayar saksi di TPS saja, seorang calon kepala daerah minimal bayar Rp 150 ribu per orang.
"Di Bandar Lampung ada sekitar 2.000-an TPS. Jika dikalkulasikan, berarti untuk membayar saksi ini saja bisa keluar ratusan juta rupiah. Belum biaya sosialisasi, membuat atribut kampanye, biaya operasional, dan lainnya," jelas dia.
Ketua DPD PKS Bandar Lampung Aep Saripudin juga mengungkapkan hal senada.
Menurutnya, biaya untuk maju Pilwakot Bandar Lampung pastilah tinggi.
Ada biaya kampanye, biaya pengadaan alat peraga, operasional di lapangan, konsumsi, transportasi, dan banyak lagi.
"Tidak sedikit biayanya untuk pilkada ini. Untuk bayar saksi saja sekitar Rp 200 ribu perorang dengan 2.700-an TPS dan jika dikalikan mencapai ratusan juta," kata dia.
Lalu, untuk kampanye terbuka biasanya dihadiri sekitar 200 orang dan digelar tiga kali.
Untuk biaya itu saja, terus Aep, seorang kada sudah keluar uang ratusan juta juga.
• Tahapan Pilkada Bandar Lampung Mulai 30 September 2019
Calon Kepala Daerah
Bakal Calon Wali Kota Bandar Lampung Yusuf Kohar yang juga wakil wali kota saat ini mengakui jika biaya maju pilkada memang tidak kecil.
Karena harus membayar saksi, membuat alat peraga kampanye, biaya sosialisasi, dan banyak lagi.
Meski begitu, Yusuf Kohar enggan membeber berapa biaya yang ia siapkan untuk maju Pilwakot Bandar Lampung 2020 ini.
Ia mengatakan, meski biaya yang keluar akan besar namun dirinya akan efisien dan tidak jor-joran.
"Intinya saya siap maju. Saya akan berupaya merebut hati masyarakat. Visi misi yang jelas, tidak main proyek, tidak melibatkan keluarga dalam pemerintahan, tidak korupsi dan lainnya. Saya akan berusaha efisiensikan biaya politiknya,” kata dia.
Bakal Calon Wali Kota Bandar Lampung Rycko Menoza juga mengatakan, siap secara finansial untuk maju Pilkada 2020.
Ia mengaku, telah memiliki gambaran berapa biaya yang harus dikeluarkan berkaca pada pengalamannya sebagai Bupati Lampung Selatan.
"Yang banyak pastinya (keluar biaya). Biaya atribut, gifts, kerja-kerja tim ya. Anggaran itu wajib disiapkan sebagai calon untuk bagaimana bisa bertatap muka dengan warga," katanya, Selasa (10/9/2019).
Bahkan Rycko juga menyiapkan anggaran khusus untuk menjalankan mesin partai.
Menurut Rycko, anggaran untuk mesin partai ini bukanlah biaya mencari perahu atau politik uang.
Sayangnya Rycko enggan menyebut berapa biaya yang dia siapkan untuk semua itu.
Namun saat disinggung apakah mungkin menyentuh Rp 50 miliar, ia tidak menampiknya jika mata pilihnya besar.
"Untuk masyarakat yang mata pilihnya besar mungkin bisa sampai angka tersebut (Rp 50 miliar), juga ditentukan bagaimana karakter pemilihnya. Ini menjadi peran semua pihak, khususnya pemilih juga andil bagaimana memilih berdasarkan pengalaman dan kualitas," jelasnya.
Rycko mengaku mencalonkan diri menjadi kepala daerah bukan dilakukan dengam segala cara.
Pengalamannya maju sebagai petahana saat Pilkada Lamsel membuktikan itu.
"Intinya kalau saya ada budget yang dialokasikan untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat bukan tanpa perhitungan dan tidak teruku," ujar dia.
Puluhan Miliar
Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, lembaga yang fokus isu pemilu dan demokrasi, menyebut bakal calon kepala daerah biasanya menggunakan lembaga survei atau konsultan politik untuk mengukur popularitas (tingkat kepopuleran) dan elektabilitas (tingkat keterpilihan), termasuk merancang program pemenangan.
"Biasanya bakal calon mulai bergerak setahun sebelum hari H pilkada. Survei rata-rata 3-4 kali dalam setahun itu. Kalau minimal 3 kali, dengan biaya sekali survei Rp 200 juta, maka total Rp 600 juta," ungkap peneliti senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Dian Permata, Selasa.
Selain survei, balon kepala daerah menyewa lembaga survei atau konsultan politik untuk merancang program pemenangan.
"Pertama dan kedua masuk pada program dan strategi pemenangan. Biayanya rata-rata Rp 2 miliar. Ketiga, terkait bagaimana merawat konstituen. Ini Rp 1 miliar. Maka totalnya sekitar Rp 5 miliar," beber Dian.
Setelah lembaga survei atau konsultan politik, Dian mengungkap balon kepala daerah kemudian akan memikirkan biaya menyewa perahu parpol.
Ini penting karena melalui parpol lah balon tersebut akan mendaftarkan diri untuk menjadi calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota.
Dian menjelaskan penghitungan biaya menyewa parpol biasanya melalui pengkalian harga dengan jumlah suara untuk memenangkan pilkada.
Sebagai contoh di Bandar Lampung, biaya untuk mendapatkan dukungan satu parpol bisa mencapai Rp 10 miliar.
"Misalnya di Bandar Lampung. Dengan DPT (Daftar Pemilih Tetap) 600-an ribu, maka untuk menang harus dapat suara setidaknya 200 ribu. Dengan harga 1 suara Rp 50 ribu saja, maka 200 ribu suara kali Rp 100 ribu, mencapai Rp 10 miliar. Itu baru 1 partai. Rata-rata harus dapat 2 partai supaya cukup kursi. Maka, total biayanya bisa Rp 20 miliar," terang Dian yang bersama Sindikasi Pemilu dan Demokrasi pernah meneliti seputar pemilu di Lampung.
Berikutnya, masih ada biaya untuk tim sukses. Dian membagi tingkatan tim sukses mulai dari kelurahan/desa, kecamatan, hingga kota/kabupaten.
• Frans Agung Ngaku Siap Dampingi Bunda Eva di Pilwakot Bandar Lampung 2020
Ia mengungkapkan biaya rata-rata untuk tim sukses bisa mencapai Rp 2 miliar.
Setelah resmi menjadi calon kepala daerah, Dian melanjutkan, calon akan mengeluarkan biaya untuk kampanye, honor saksi di TPS, terakhir adalah biaya "serangan fajar".
Dengan tipe pemilih yang masih senang dengan politik uang, Sindikasi mencatat "serangan fajar" berupa bagi-bagi uang menjelang hari H pilkada masih akan marak pada Pilkada 2020.
"Kalikan saja Rp 100 ribu dengan suara aman untuk menang di Bandar Lampung sekitar 200 ribu suara dengan DPT 600 ribuan. Maka jumlahnya bisa Rp 20 miliar," kata Dian. "Hasil penelitian menunjukkan 60 persen pemilih menerima uang dari calon," imbuhnya. (Tribunlampung.co.id/Bayu Saputra/Romi Rinando/Beni Yulianto/Yoso Muliawan)