Berita Nasional
Pasien Rawat Inap Disuruh Bayar Biaya APD di Jakarta, Keluarga Pilih Pulangkan Pasien
Seorang keluarga pasien rawat inap mengaku bahwa satu rumah sakit di Jakarta membebankan biaya APD kepada pasien rawat inap.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Seorang keluarga pasien rawat inap mengaku bahwa satu rumah sakit di Jakarta membebankan biaya alat pelindung diri (APD) kepada pasien rawat inap.
Tak tanggung-tanggung, biaya APD yang harus dibayar pasien sebesar Rp 500 ribu per hari.
Alat pelindung diri (APD) sebagai alat medis untuk menangani pasien Covid-19 di Indonesia masih langka didapatkan.
Kondisi tersebut membuat harga APD di Indonesia melonjak.
Terkait hal itu, salah satu rumah sakit di Jakarta Timur dilaporkan telah mengenakan biaya APD kepada pasien rawat inap, yang tidak terkait kasus Covid-19.
• Mayat di Gunung Rinjani Dievakuasi Petugas Pakai APD, Jenazah Dibungkus Plastik
• Ibu Lempar 5 Anaknya ke Sungai karena Kelaparan Saat Wabah Virus Corona
• Selingkuhi Istri Orang sampai Hamil, Pria Tewas Dibunuh Sang Suami yang Pulang dari Malaysia
• Mahasiswi Dibunuh di Dalam Angkot, Pembunuhan Sadis Terungkap Berkat Rekaman CCTV dan Kode IMEI
Dilansir Kompas.com, pengalaman itu dirasakan Dani (bukan nama sebenarnya), yang merupakan keluarga pasien rawat inap di rumah sakit tersebut.
Pasien itu merupakan ibunda Dani.
Dani bercerita, sang ibunda mengidap penyakit diabetes melitus (sakit gula).
Sang ibu dirawat inap di rumah sakit tersebut selama dua pekan.
"Pas hari Senin (13/4/2020) kemarin, adik sepupu saya dipanggil ke ruang administrasi, dijelaskan bakal ada biaya APD pada tanggal 13 April. Kalau tidak mau bayar, bakal dirujuk ke rumah sakit lain," kata Dani kepada Kompas.com, Selasa (14/4/2020).
Adapun, biaya APD yang dibebankan kepada seluruh pasien rawat inap, yakni Rp 500 ribu per harinya.
"Iya Rp 500 ribu per hari. Itu juga APD-nya dipakai perawatnya bukan buat keluarga pasien," ujar Dani.
Selain itu, biaya APD juga dibebankan kepada pasien hemodialisa (HD) atau cuci darah, yakni Rp 100 ribu per kedatangan.
Dani menilai kebijakan rumah sakit tersebut tidak logis.
Sebab, kebijakan tersebut sangat membebani pasien dari segi finansial.
Selain itu, banyak pasien rawat inap di rumah sakit tersebut yang hanya mengandalkan BPJS Kesehatan.
"Iya tidak masuk akal saja dan itu lebih tidak manusiawi. Soalnya kebanyakan dari pasien itu pada bergantung sama BPJS."
"Bukannya keluarga saya mau jelekin RS tersebut tapi biar pemerintah sadar saja bahwa ada kasus seperti ini loh di RS tersebut," ujar Dani.
"Terus, pemerintah harus cepat ambil tindakan biar kasus kayak begini tidak terjadi lagi, soalnya kebanyakan dari pasien tadi malam memilih untuk pulang lebih awal karena ada biaya tambahan tersebut."
"Padahal pasien rawat inap masih butuh perawatan," lanjut Dani.
Sementara itu, akibat kebijakan rumah sakit tersebut, ibunda Dani pun memilih pulang dari rawat inap rumah sakit dan jalani rawat jalan.
"Sudah pulang ibu saya, semua pasien yang rawat inap sekarang pada minta pulang soalnya pada keberatan sama biaya tersebut. Iya mau tidak mau sekarang rawat jalan," ujar Dani.
Kisah pasien Covid-19 ditolak rumah sakit
Sementara, seorang anak pasien Covid-19 yang meninggal dunia menceritakan detik-detik kematian ayahnya yang sempat ditolak rumah sakit.
Anak dari pasien Covid-19 meninggal dunia, David Mulya mengungkapkan kesaksian saat menemani ayahnya.
Dilansir TribunWow.com (grup Tribunlampung.co.id) dari Channel YouTube Talk Show tv One pada Senin (13/4/2020), David mengatakan bahwa sang ayah mulai sakit pada 21 Maret 2020.
Mulanya, David menuturkan, dirinya hanya merawat ayahnya di rumah.
Hal itu lantaran gejala yang dialami hanya panas dan batuk.
"Jadi, dia itu mulai ada demam itu di tanggal 21 Maret, demamnya masih sekitar 37,5 tapi sudah ada batuk dan dia merasa meriang, panas."
"Nah kita diemin dulu, kita kasih obat biasa nah setelah itu di tanggal 23 panasnya makin naik, 38 nah di situ kita langsung memutuskan ke rumah sakit," kata David Mulya.
Saat dibawa ke rumah sakit dan ditanya dokter, David menjelaskan bahwa ayahnya sempat ke luar negeri dan luar kota.
"Ke rumah sakit, pas di sana melakukan tes biasa belum untuk Covid-19 masih cuma ditanya keluhannya apa dan ditanya jalan ke luar negeri enggak."
"Saya cerita bapak sebelum dua minggu tanggal 21, bapak pergi ke Singapura, setelah dari Singapura dia ke Bandung. Dokternya langsung cek darah sama Xray pas hasilnya keluar langsung dinyatakan PDP Covid-19," ungkap dia.
Kemudian, David menceritakan setelah itu ayahnya ditanya banyak terkait identitas dan dengan siapa saja ia pernah berkontak.
Meski sudah berstatus PDP, dokter menyarankan agar sang ayah melakukan isolasi mandiri hingga mendapat kabar dari pihak terkait.
Setelah dua hari hingga tiga hari, David menjelaskan, tidak ada kabar dari pihak terkait dan justru disuruh menunggu.
Karena ayahnya tak kunjung membaik, David akhirnya memutuskan membawa sang ayah ke rumah sakit.
Saat diperiksa, paru-parunya sudah dipenuhi bercak putih.
"Empat hari Papa panasnya naik turun, naik turun, sampai akhirnya kita bawa ke rumah sakit untuk ngelakuin tes darah ama CT scan."
"Dari hasil paru-parunya, fleknya bercaknya sudah banyak banget," ungkapnya.
Meski demikian, ayahnya justru meminta untuk tetap di rumah.
"Kita tanya Papa mau di rumah apa langsung ke rumah sakit rujukan untuk Covid-19, Papa bilang sudah di rumah dulu kayaknya masih bisa. Jadi, ya udah kita bawa pulang," lanjutnya.
Kemudian, pada tanggal 27 atau 28, David sempat mengecek kondisi ayahnya di kamar.
Lantaran napas ayahnya sudah mulai naik turun dan mengalami diare, dia langsung bergegas membawa sang ayah ke rumah sakit.
Namun, ayahnya justru ditolak lantaran rumah sakit yang dituju sudah penuh.
"Pas sampe di sana, Papa enggak di-admit, ditolak, dibilangnya karena full dan juga enggak ada surat yang diberikan dari rumah sakit terkait untuk bisa admit dan lain-lain," ungkapnya.
Lantas, rumah sakit itu hanya menyarankan untuk mencoba mendatangi rumah sakit rujukan atau rumah-rumah sakit lainnya.
Saat mendapatkan rumah sakit, ayahnya kemudian masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).
"Nah mereka suggestnya mendingan untuk mengelilingi rumah sakit rujukan dan tau di mana yang bisa admit dan saya bilang ya enggak ada waktu karena Papa sudah sesak nafas di mobil kan."
"Terus akhirnya kita pergi ke rumah sakit, akhirnya ada satu yang bisa admit Papa saya, di situ saya nunggu 5 jam akhirnya Papa sudah di IGD terus sekitar jam 7 pagi oke harus diadmit."
"Lalu, rumah sakit mengatakan bahwa kamar untuk Papa baru sekitar pukul tiga sore," cerita David.
Pada malam harinya, ayahnya sempat mengirim pesan via WhatsApp bahwa dirinya sempat kehausan.
"Dan saat itu, saya terakhir kali lihat Papa, terus di hari yang sama jam 11, jam 12, Papa WA haus minta air, akhirnya kita harus kirim sopir untuk kasih air putih," ujar dia.
Selain itu, David juga sempat mendapat WhatsApp ayahnya yang mengatakan bahwa infus ayahnya terlepas.
Namun ketika ditelepon balik, sang ayah tak menjawabnya hingga pihak rumah sakit mengatakan kondisi ayahnya sudah drop.
"Nah di malam itu, Papa ada WA ada jam 9 malam, katanya infus Papa copot, Papa enggak bisa taruh balik, enggak bisa fix, dan situ sudah lemes, panik, telepon juga enggak diangkat jadi akhirnya."
"Kita ada dapat telepon dari rumah sakit, pas di rumah sakit Papa kondisinya drop, tingkat kesadarannya sudah di angka tiga," ucapnya.
Lalu, rumah sakit mengatakan akan menangani ayahnya dengan inkubasi.
"Akhirnya, mereka bilang oke step, yang bisa dilakukan sekarang adalah inkubasi atau fair ventilator," sambungnya seperti akan menangis.
David mengatakan, dirinya sempat panik pasalnya perawatan Covid-19 dengan ventilator kadang berhasil kadang tidak.
Meski demikian, ia hanya bisa pasrah dan menunggu.
Namun pada akhirnya, nyawa sang ayah tak bisa tertolong.
David mengaku sempat marah dengan hal yang terjadi.
"Nah kita tunggu, kita berdoa. Terus sekitar 30 menit dapat telepon dari rumah sakit, mereka bilang ini sudah mencari nadi dan lain-lain tapi sudah enggak bisa."
"Dan mereka mengatakan Papa sudah enggak ada, di situ rasa marah, rasa ingin nyalahin orang lain ada banget," serunya.
Walaupun begitu, David tetap mencoba bijaksana dan meminta agar semua masyarakat tidak meremehkan virus corona.
"Tapi cuma kita berdoa, bersyukur dari sini cuma pelajaran yang saya dapat, bukan hanya untuk kita yang kehilangan Covid-19, semuanya untuk masyarakat," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kala Keluarga Pasien Rawat Inap Curhat soal Dibebani Tagihan Biaya APD.
Keluarga pasien rawat inap mengaku bahwa satu rumah sakit di Jakarta membebankan biaya APD kepada pasien rawat inap. (Kompas.com)