Kasus Corona di Lampung
Kisah Sopir Mobil Jenazah Corona di Lampung, Dijauhi Keluarga hingga Dipaksa Isolasi Mandiri
Di balik itu semua, Veri mengaku harus menjalankan tugas yang dianggapnya sebagai kemuliaan dalam membantu sesama manusia.
Penulis: joeviter muhammad | Editor: Daniel Tri Hardanto
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Perjuangan tenaga medis sebagai garda terdepan penanganan virus corona (Covid-19) tak perlu dipertanyakan lagi.
Namun, ada profesi lain yang tak kalah besar jasanya.
Mereka adalah para sopir mobil ambulans jenazah.
Mereka bertugas mengantar pasien dan jenazah corona.
• Ibu dan 2 Anak Tertular Virus Corona dari Baju Sang Ayah, Ibu Peluk Erat Anak saat Dievakuasi
• 4 Pasien Positif Covid-19 di Lampung Tak Bergejala, 2 di Lampura Tak Mau Dikarantina
• Lampung Dikunci, Ratusan Kendaraan Nekat Lewat Jalur Tikus Disuruh Putar Balik
• Polisi Takkan Segan Tembak Eks Napi Asimilasi dan Penjahat Kambuhan
Banyak kisah yang terjadi selama masa pandemi Covid-19 ini.
Mulai dari dijauhi sementara oleh keluarga hingga ditolak pulang ke kampung halaman.
Veri Holmes salah satunya.
Mantan staf Humas Pemkot Bandar Lampung ini baru 7 bulan menjalani tugas sebagai sopir ambulans gratis pemkot setempat.
Di awal tugas anyarnya ini, ia langsung mendapat tugas yang terbilang cukup berat, yakni mengantar jenazah pasien positif corona.
Sebagai abdi negara, tugas tersebut wajib dijalankan meski kerap dihantui rasa takut tertular virus corona.
"Bukan sok berani atau sok jadi pahlawan. Tapi karena ini tugas saya, ya harus dijalankan," ujar Veri, Minggu (26/4/2020).
Veri menceritakan, sebagai komandan regu dinas Satpol PP Kota Bandar Lampung, ia bersama ketiga anggotanya pernah mengantar jenazah positif corona.
Awalnya, kata Veri, mereka hanya mendapat perintah untuk mengawal pemakaman pasien positif Covid-19.
Ternyata merekalah yang akhirnya terjun langsung dibantu personel TNI untuk memakamkan jenazah tersebut.
"Sebelum berangkat kami berempat berdoa. Bismillah aja, semoga tujuan dan niat baik kami dilancarkan," katanya.
Proses pemakaman yang cukup memakan waktu akhirnya membuat Veri dan ketiga rekannya kelelahan.
Di balik itu semua, Veri mengaku harus menjalankan tugas yang dianggapnya sebagai kemuliaan dalam membantu sesama manusia.
Sepulang memakamkan jenazah, istri Veri menunggu di depan rumah.
Sambutan tak seperti biasanya terpaksa ia terima.
Pasalnya sang istri melarang Veri masuk ke rumah.
Padahal sepulang kerja, begitu pulang ke rumah Veri langsung memeluk anaknya yang baru berusia 4 tahun.
"Jangan masuk dulu. Lepas dulu baju dan jaketnya," ungkap Veri, menirukan ucapan sang istri.
Kendati demikian, Veri menilai wajar jika sang istri melarangnya untuk masuk.
Secara pribadi,Veri juga takut ada virus yang masih tertinggal sehingga bisa menular ke anak dan istrinya.
Tidak hanya keluarga, lanjut Veri, rasa dikucilkan juga dialami saat bersama sama petugas pengangkut jenazah.
Seusai memakamkan jenazah, ia terpaksa duduk sendirian di bagian belakang ambulans.
"Tiga orang teman saya duduk di depan, saya sendirian di belakang. Karena perginya beda ambulans, jadi mereka tau cuma saya sendiri sama jenazah waktu pergi ke pemakaman," katanya.
Pengalaman lebih tak mengenakkan dialami Wili Sandi Wijaya.
Rekan Veri ini diketahui mendapat penolakan dari warga sekitar tempat ia tinggal.
Pasalnya, kepala kampung tempat ia bermukim di Natar, Lampung Selatan mengetahui Wili baru saja mengantar jenazah positif Covid-19.
Wili akhirnya memilih isolasi mandiri selama 14 hari sebelum akhirnya dapat berkumpul lagi bersama keluarga.
"Itu karena mereka tidak tahu seperti apa tugas kami. Kami hanya mengantar dan tidak tertular virus," ujar Wili.
Ia pun menyayangkan tanggapan warga sekitar atas apa yang telah ia lakukan, dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai bagian dari garda terdepan melawan Covid-19.
Selama pandemi ini, banyak pengalaman baru yang ia dapat.
Selain itu, selama pandemi corona menjadi momen saling menjaga kekompakan antar sesama tim.
Pria yang juga dari Satpol PP Bandar Lampung ini mengingat betapa berat tugas mereka.
Satu hal yang tak bisa dilupakan begitu saja, saat ia bersama relawan lainnya menggendong peti sejauh 200 meter menuju liang lahat.
Ditambah lagi derita saat mengenakan APD lengkap, yang membuat si pemakai gerah dan kesulitan mengatur napas.
Selama hampir 8 jam Wili menahan rasa tersiksa kala mengenakan APD.
"Jadi saat itu kami berpikir bagaimana caranya jenazah ini sampai. Karena kalau bukan kami, siapa lagi yang akan melakukannya," terang Wili.
Ia berharap wabah Covid-19 segera mereda.
Wili bahkan tak dapat membayangkan pada bulan puasa seperti sekarang ini harus mengantar jenazah dengan APD lengkap.
"Mudah-mudahan tidak ada lagi korban, karena berat sekali rasanya menjalani bulan puasa harus pake APD," tutupnya. (Tribunlampung.co.id/Muhammad Joviter)