Tribun Lampung Barat
Kisah Gadis Difabel Asal Lambar Jadi Petani Hidpronik Sukses, Dapat Modal Rp 500 Ribu dari Ayah
Sempat ada keraguan saat hendak memulai pertanian hidroponik karena baru pertama kali ada di desanya.
Penulis: sulis setia markhamah | Editor: Reny Fitriani
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, LAMBAR - Memiliki keterbatasan sebagai penyandang disabilitas tak lantas memupuskan angan Maya Juniarti, perempuan asal Desa Purajaya RT 01 RW 04, Kabupaten Lampung Barat untuk bisa menggapai mimpinya menjadi pengusaha sayuran hidroponik sukses.
Anak petani kopi di Kecamatan Kebun Tebu ini saat diwawancarai Tribunlampung.co.id, Kamis (28/5/2020), tengah menyemai tanaman hidroponik di pekarangan rumah milik orangtuanya yang memiliki luas sekitar 9x6 meter persegi.
Dimana 6x6 meter persegi dipergunakannya untuk lahan hidroponik dan sisanya untuk parkir saat pembeli datang.
Diakui anak bungsu dari empat bersaudara ini, sempat ada keraguan saat hendak memulai pertanian hidroponik karena baru pertama kali ada di desanya.
Namun menyadari kekurangannya dimana tidak bisa bekerja terlalu ditarget seperti saat menjadi karyawan konveksi selama dua bulan, akhirnya membuat tekadnya bulat untuk bertani hidroponik sejak Desember 2018.
• Cerita Pedagang Jajakan Kulit Ketupat di Tengah Pandemi, Sepi Pembeli hingga Sulit Dapat Bahan Baku
• Kisah Mbah Tuni dan Ibunya yang Mengais Sisa-sisa Gabah dan Kelapa untuk Makan
• Disdikbud Lampung Akan Terapkan Skema New Normal Pendidikan
• Main di Pinggir Kali Belakang Rumah, Bocah di Jati Agung Hilang Diduga Terseret Arus Sungai
Dukungan orangtua juga semakin menguatkan mentalnya, bahkan orangtua membantunya memberi modal awal Rp 500 ribu.
"Orangtua justru mendorong kalau saya pasti mampu," ujarnya buah hati pasangan Saparudin dan Yusmawati ini.
Dia membeberkan, awal memulai usaha membuat satu instalasi dengan 100 lubang tanam.
"Pemasaran saat panen saya tawarkan ke guru-guru di sekolah melalui teman yang kerja di sana," cerita Maya.
Saat itu Maya menjual sangat murah jauh dari harga pasaran yakni hanya Rp 500 per batang untuk promosi dan dirinya hanya mendapatkan Rp 50 ribu dari penjualan perdana.
Namun dirinya masih memiliki banyak sisa bibit untuk ditanam kembali dan produktif.
Hingga akhirnya semakin banyak orang yang mengenal dan membeli tanamannya.
"Saya tambah lagi jadi 200 lubang, sampai akhirnya saat ini sudah 1.000 lubang," paparnya.
Kini tanamannya semakin bervariasi.
Ada kangkung, bayam, strowbery, daun seledri, pakcoy merah, pakcoy hijau, selada, hingga pagoda.
Kegiatan rutin saat ini Maya melakukan penyemaian bibit tiap seminggu sekali, membuang hama secara manual karena tidak memakai pestisida sama sekali, dan juga panen.
Menurutnya menjadi petani hidroponik adalah cita-citanya sedari menempuh pendidikan di Polinela.
Terlebih menyadari keterbatasan fisik sebagai penyandang tunadaksa bungkuk tulang belakang yang tidak memungkinkan untuk bertani secara manual.
Namun begitu saat di bangku kuliah dia justru tidak mempelajari cara tanam hidroponik.
Maya mempelajarinya dari pengalaman kakak tingkat yang sudah sukses bertani hidroponik di Bandar Lampung.
"Akhirnya bisa saya wujudkan untuk bertani hidroponik," papar lulusan sarjana Jurusan Budidaya Tanaman Pangan.
Membudidayakan sayuran dengan cara hidroponik diakuinya lebih sederhana dimana bisa menggunakan media baskom atau nampan jika belum memiliki dana memadai untuk membeli pipa-pipa.
"Kalau di media tanah kan ditanganinya secara konvensional dan ditanam di lahan yang luas. Kalau hidroponik kita bisa tanam di pekarangan rumah," ujar perempuan kelahiran Purajaya 23 Juni 1994 itu.
Pemasarannya kini tak hanya konsumen datang ke lokasi, namun juga ada dari kafe atau kedai yang ada di Lambar.
Itupun pasokan terkadang tidak mencukupi kebutuhan yang ada.
"Sekarang bisa jual 1 kilogram Rp 20 ribu seperti harga di kota. Omset perbulan rata-rata Rp 2 juta," jelasnya.
Maya bahkan sudah memiliki dua orang pegawai yang membantunya mengurusi tanaman hidroponik.
Dirinya juga kerap menerima pesanan pembuatan instalasi hidroponik seperti dari TP PKK Lambar maupun dinas ketahanan pangan dan dalam hal ini Maya dibantu sang ayah untuk membuatnya.
Maya juga terlibat dalam Liwa Fair di stand dinas sosial untuk mempromosikan tanaman hidroponiknya.
Bahkan tak sedikit orang yang datang ke kebunnya dan diajarinya berkebun hidroponik dari nol.
Dia memotivasi para penyandang disabilitas atau lulusan sarjana pertanian lainnya bahwa untuk menjadi petani hidroponik harus memiliki keberanian untuk memulai.
"Karena kalau sudah berani memulai dengan sendirinya hal lain akan mengikuti. Meskipun pakai kursi roda tetap bisa bertani hidroponik," papar gadis berhijab ini.
Walaupun difabel menurutnya tidak menjadi penghalang untuk berdaya dan produktif di tengah masyarakat.
"Untuk teman-teman difabel tetap semangat, tetap berkarya. Apapun yang kamu impikan kalau yakin pasti ada jalannya. Kuncinya semangat dan berani memulai. Jangan pernah minder untuk itu," tandasnya.(Tribunlampung.co.id/ Sulis Setia Markhamah)