Idul Adha 2020
Hukum Jual Kulit Hewan Kurban Idul Adha Menurut MUI
Berikut Tribunlampung.co.id bagikan, hukum jual beli kulit hewan kurban yang hasilnya dishodaqohkan pada Idul Adha 2020.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Kulit hewan kurban menjadi salah satu polemik yang terjadi saat hari raya Idul Adha.
Tak terkecuali pada momen hari raya Idul Adha 2020 atau 1441 Hijriah di tahun ini.
Pasalnya di kalangan masyarakat umumnya, pemanfaatan kulit hewan kurban kerap kali menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung usai.
Hal itu tak lepas lantaran ada yang berpendapat bila kulit hewan boleh kurban diperjualbelikan dan sebagian lain justru berpendapat sebaliknya.
Berikut Tribunlampung.co.id bagikan, hukum jual beli kulit hewan kurban yang hasilnya disedehkahkan pada Idul Adha 2020.
• Hukum Kurban Online Idul Adha Menurut Ustaz Abdul Somad
• Hukum Bagikan Daging Kurban Idul Adha ke Warga Non-Muslim Menurut Ustaz Adi Hidayat
• Hari Ini Jamaah Wukuf di Arafah, Khotbah Diterjemahkan dalam 10 Bahasa
• Tata Cara dan Bacaan Niat Salat Idul Adha 2020 saat Pandemi Covid-19
Seperti diketahui, dalam praktiknya di lapangan ada pula masyarakat yang menjual kulit hewan kurban kemudian hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin.
Persoalan ini juga dibahas oleh Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sumatera Utara dengan keluarnya fatwa pada 2016.
Fatwa tersebut berisikan larangan untuk menjual kulit hewan kurban, termasuk menjadikan upah bagi penyembelihnya.
"Orang yang berkurban atau wakilnya, haram menjual dan menjadikan upah, kulit, daging dan bagian lainnya dari hewan kurban," bunyi fatwa tersebut.
Masalah pemanfaatan kulit hewan kurban ini telah dijelaskan Rasulullah dalam sebuah hadist riwayat Al Hakim.
“Siapa yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tidak ada kurban baginya. (HR. al-Hakim)
Dalam sebuah hadist, Rasulullah memerintahkan Ali ra untuk mengurusi kurban dari Rasulullah dan kulit serta bulu unta itu semuanya dibagikan olehnya.
“Ali ra meriwayatkan, “Rasulullah saw. memerintahkan aku untuk mengurusi untanya (yakni ketika nahar), dan aku mendistribusikan kulit dan bulunya dan tidak memberikan sesuatu apa pun kepada penyembelih hewan kurban itu.” Rasul berkata, “Kami memberikan kepada penyembelih dari sisi kami” (HR. Bukhari dan Muslim).
Beberapa ulama berpendapat bahwa menjual atau menjadikan kulit hewan kurban sebagai upah adalah haram.
Syekh Ali Jum'ah dalam kitabnya al-Kalam at-Thayyib Fatawa Ashriyah halaman 386 menyatakan bahwa tidak boleh memberikan upah dari hewan kurban kepada si penyembelih.
“Adapun memberikannya kepada si penyembelih tidak boleh bahwa itu sebagai upahnya. Maka mestilah hal itu di luar dari upahnya."
Imam al-Kurdi dalam bukunya Tanwir al-Qulub fi Mu'amalah Allam al-Ghuyub halaman 233 juga menyatakan tidak boleh menjual kulit hewan kurban dan memberikannya sebagai upah kepada si penyembelih.
“Tidak boleh menjual kulit hewan kurban dan menjadikannya upah bagi si penyembelih sekalipun pada kurban sunat. Bahkan dia bersedekah dengannya."
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dalam fatwanya menyatakan, para ulama telah bersepakat bahwa menjual daging kurban dilarang.
Terkait dengan pemanfaatan kulitnya, ada beberapa pandangan mengenai boleh atau tidaknya jika dijual.
Jumhur (sebagian besar) ulama berpendapat tidak boleh menjual kulit hewan qurban (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz I, halaman 438).
Menurut Imam Abu Hanifah boleh menjual kulit hewan qurban kemudian hasil penjualannya dishadaqahkan atau dibelikan barang yang bermanfaat untuk keperluan rumah tangga (As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, halaman 278).
Sementara itu ulama dari madzhab Syafi’i berpendapat bahwa boleh saja menjual kulit hewan qurban, asal hasil penjualannya dipergunakan untuk kepentingan qurban (Asy-Syaukaniy, Nailul Authar, Juz V, halaman 206).
"Kami sepakat tidak boleh menjual daging kurban, karena memang tujuan disyari‘atkan penyembelihan hewan qurban antara lain untuk dimakan dagingnya, terutama untuk dishadaqahkan kepada fakir miskin," kata ulama Muhammadiyah dalam fatwa yang dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah.
Ulama Muhammadiyahpun berpandangan bahwa kulit hewan tidak boleh dijual sepanjang dapat dimanfaatkan dengan baik.
"Demikian pula terhadap penjualan kulitnya, pada dasarnya kami sepakat untuk tidak dijual sepanjang dengan membagikan kulit itu dapat mewujudkan kemaslahatan," lanjut fatwa tersebut.
Namun ulama Muhammadiyah menyadari bahwa memang sulit untuk memanfaatkan kulit hewan kurban jika tak dilakukan oleh ahlinya.
Tak jarang masyarakat yang mendapati kulit hewan tersebut malah justru tidak termanfaatkan dan menimbulkan hal yang mubadzir.
Sesuatu yang mubadzir ini sudah barang tentu dilarang oleh agama.
Hal inilah yang terkadang menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Menyikapi hal tersebut, ulama Muhammadiyah mengatakan memang ada kemungkinan jika kulit hewan itu ditukar dengan daging kepada para pedagang daging.
"Jika hal ini mungkin dapat dilakukan adalah merupakan pilihan yang paling baik, kemudian daging tersebut dishadaqahkan," bunyi keterangan fatwa itu.
Bagaimana jika tak menemukan pedagang yang berjualan dan berkenan untuk menukar kulit tersebut?
Ketika Hari Raya Idul Kurban, tak jarang banyak pedagang yang memilih tidak berjualan, karena kecil kemungkinan lakunya.
Masyarakatpun akhirnya kesulitan untuk menemukan pedagang yang mempunyai daging dan berkenan untuk menukarnya dengan kulit.
"Dalam keadaan seperti ini, kami cenderung boleh menjual kulit hewan kurban, kemudian hasil penjualannya itu yang dishadaqahkan," jelas bunyi fatwa itu.
Hal ini berdasar pertimbangan sebuah hadist, diantaranya:
“Agama itu mudah, agama yang paling disukai oleh Allah adalah yang benar dan mudah.” [HR. al-Bukhari]
“Mudahkanlah dan janganlah mempersukar.” [HR. al-Bukhari]
Qa‘idah Fiqh yang artinya: “Jika suatu urusan itu sempit, maka hendaknya dilonggarkan.”
Demikian penjelasan hukum jual beli kulit hewan kurban yang hasilnya dishodaqohkan pada Idul Adha 2020. (tribunlampung.co.id/tama yudha wiguna)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul, Menjual Kulit Hewan Kurban Lalu Hasilnya Dishodaqohkan Kepada Fakir Miskin, Bolehkah?.