Berita Terkini Nasional

NU-Muhammadiyah Tolak Pajak Pendidikan

Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menolak rencana pemerintah menarik pajak pertambahan nilai (PPN) dari jasa pendidikan.

Kompas.com
Ilustrasi. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menolak rencana pemerintah menarik pajak pertambahan nilai dari jasa pendidikan. 

"Dalam menetapkan biaya pendidikan yang harus ditanggung murid, jangankan menghitung komponen margin dan pengembalian modal, dapat menggaji tenaga didik secara layak saja merupakan hal yang berat. Karena, hal itu akan sangat memberatkan orangtua murid," ujarnya.

Harus diakui, sambung Arifin, hal itulah yang kemudian menyebabkan gaji tenaga didik di lingkungan LP Ma'arif NU masih jauh dari layak. Gaji tenaga didik di lingkungan LP Ma'arif NU, kata dia, jauh di bawah upah minimum.

Mematikan Lembaga Pendidikan

Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyatakan penolakan terhadap rencana penerapan PPN kepada jasa pendidikan. "Muhammadiyah dengan tegas menolak dan sangat berkeberatan atas rencana penerapan PPN untuk bidang pendidikan, sebagaimana draf RUU Revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan," kata Haedar, Sabtu.

Menurut Haedar, pemerintah seharusnya bertanggungjawab dan berkewajiban dalam penyelenggaraan pendidikan. Termasuk, penyediaan anggaran 20 persen. Ia menjelaskan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, dan ormas agama lain semestinya mendapatkan penghargaan dalam bidang pendidikan. "Bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan. Kebijakan PPN bidang pendidikan jelas bertentangan dengan konstitusi dan tidak boleh diteruskan," ujarnya.

Haedar menilai rencana penerapan pajak pendidikan sangat bertentangan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 pasal 31 terkait pendidikan dan kebudayaan. Pemerintah, termasuk Kementerian Keuangan dan DPR RI, kata Haedar, semestinya memberi kemudahan bagi ormas yang menyelenggarakan pendidikan secara sukarela.

"Pemerintah dan DPR mestinya tidak memberatkan ormas penggerak pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola masyarakat dengan perpajakan, yang nantinya akan mematikan lembaga-lembaga pendidikan yang selama ini banyak membantu rakyat kecil," jelasnya.

Peran lembaga-lembaga pendidikan tersebut, menurut Haedar, selama ini telah ikut meringankan beban pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang belum sepenuhnya merata. Pihaknya menilai, jika kebijakan pajak itu dipaksakan, maka yang nantinya mampu menyelenggarakan pendidikan hanya para pemilik modal. Selain, negara yang memang memiliki anggaran.

"Sehingga, pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan. Lantas, mau dibawa ke mana pendidikan nasional yang oleh para pendiri bangsa ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," ujarnya.

Saat ini, terang Haedar, beban pendidikan di Indonesia sangatlah tinggi dan berat. Terlebih semasa pandemi Covid-19. Di daerah-daerah 3T, penyelenggaraan pendidikan bahkan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan. Pendidikan Indonesia, lanjut Haedar, juga semakin berat menghadapi persaingan dengan negara-negara lain.

"Di tingkat ASEAN saja masih kalah dan berada di bawah. Sekarang mau ditambah beban dengan PPN yang sangat berat. Di mana letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?" tegasnya.

Pihaknya pun mengajak para anggota DPR dan elite partai politik bersatu menolak wacana pajak pendidikan sebagai wujud komitmen kepada Pancasila, UUD 1945, nilai-nilai luhur bangsa, persatuan, dan masa depan pendidikan Indonesia.

"Lupakan polarisasi politik dan kepentingan politik lainnya demi menyelamatkan pendidikan Indonesia yang saat ini sarat beban. Sekaligus menyelamatkan Indonesia dari ideologi liberalisme dan kapitalisme yang mendistorsi konstitusi, Pancasila, dan nilai luhur keindonesiaan," kata Haedar.

Penjelasan Stafsus Menkeu

Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo menjelaskan penolakan wacana PPN untuk jasa pendidikan, termasuk untuk barang-barang yang masuk kategori sembilan bahan pokok (sembako), terjadi karena belum ada penyampaian informasi secara utuh. "Kami juga memahami ini (penolakan) terjadi akibat informasi yang memang belum utuh disampaikan," ujarnya dalam diskusi daring, Sabtu.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved