Berita Luar Negeri

Aksi Demo di Afrika Selatan Ricuh, 10 Orang Tewas dan Lebih dari 400 Orang Ditahan

Di Afrika Selatan, aksi protes terkait pemenjaraan Mantan Presiden Jacob Zuma berakhir ricuh dan menewaskan 10 orang juga lebih dari 400 orang ditahan

Penulis: Virginia Swastika | Editor: Heribertus Sulis
AFP/Luca Sola
Ilustrasi aksi protes di Afrika Selatan. Aksi Protes di Afrika Selatan Ricuh, 10 Orang Tewas dan Lebih dari 400 Orang Ditahan 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Belakangan aksi protes berujung ricuh di Afrika Selatan yang mengakibatkan 10 orang tewas dan lebih dari 400 orang ditahan polisi.

Pasalnya, aksi protes yang dipicu atas pemenjaraan eks Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma itu telah berubah menjadi kerusuhan dan penjarahan.

Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa mengatakan bahwa saat ini pasukan militer telah dikerahkan untuk memulihkan kericuhan tersebut.

"Beberapa bagian dari negara ini, siang dan malam sedang dilanda kekerasan publik, perusakan properti negara, juga aksi penjarahan yang jarang terjadi di sejarah demokrasi kita," kata Ramaphosa yang dilansir dari The Washington Post, Senin (12/7/2021).

Kericuhan dan kekerasan publik itu diketahui dimulai dengan pemblokiran jalan yang dilanjutkan dengan pembakaran mobil truk di Provinsi KwaZulu-Natal seusai Jacob Zuma dipenjarakan atas penghinaan pengadilan.

Baca juga: Hampir Tewas, Pria di Riau Lawan Harimau Pakai Ranting Kayu dan Lantunan Adzan

Sayangnya, kericuhan aksi protes tersebut tak hanya terjadi di Provinsi KwaZulu, melainkan di wilayah lainnya, seperti Johannesburg, kota terbesar sekaligus pusat industri di Afrika Selatan.

Bahkan di Johannesburg, pusat perbelanjaan dijarah dan dibakar oleh para pengunjuk rasa, sementara jalanan juga ditutup.

"Pada saat awal kerusuhan, mungkin ada beberapa orang yang berusaha menghasut untuk memunculkan kekerasan dan kekacauan yang dikaitkan dengan suku bangsa," lanjutnya.

Ramaphosa melanjutkan bahwa aksi protes yang dilakukan oleh para pendukung Jacob Zuma itu telah berubah menjadi tindakan kriminal.

"Namun apa yang kita saksikan sekarang ini adalah tindakan kriminalitas oportunitistik dengan sekelompok orang yang menghasut kekacauan untuk bisa melakukan penjarahan dan pencurian," kata Ramaphosa.

Aksi penjarahan itu juga meluas ke wilayah kota Duban dan Pietermaritzburg.

Bahkan terekam dalam tayangan media massa, para penjarah itu kabur dengan televisi dan peralatan lainnya.

Sama seperti di kota Johannesburg, pertokoan di sekitar jalanan pun dibakar dan jalanan ditutup para pengunjuk rasa.

Mengingat putusan pengadilan terkait kasus Zuma, pihak negara pun mengaku tengah bersiap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya kericuhan lebih banyak dan besar lagi.

Pasalnya, pengadilan tinggi negara tersebut telah memutuskan untuk memberikan mantan presiden Afrika Selatan itu hukuman penjara selama 15 bulan.

Buntut dari aksi protes berujung ricuh di Afrika Selatan itu setidaknya menyebabkan lebih dari 400 orang ditahan polisi dan 10 orang tewas.

Sebelumnya Ramaphosa juga telah menyerukan ketenangan pada Sabtu (10/7/2021) lalu.

Tetapi pada Minggu (11/7/2021) pengunjuk rasa dengan tongkat kayu, stik golf, dan cabang pohon terlihat berbaris melalui distrik pusat bisnis Johannesburg.

Hal tersebut pun akhirnya membuatnya mengambil keputusan untuk mengirimkan bala militer ke lokasi kericuhan.

Sebagai informasi, aksi protes itu pecah di Provinsi KwaZulu-Natal setelah Jacob Zuma menyerahkan diri kepada otoritas penjara pada Kamis (8/7/2021) lalu untuk menjalani masa tahanan.

Hal itu karena di dalam sejarah Afrika Selatan, belum pernah terjadi aksi pemenjaraan seorang mantan presiden.

Presiden Afrika Selatan yang berkuasa selama sembilan tahun itu dijatuhi hukuman karena melecehkan penyidik anti-korupsi dan menolak menanggapi penyelidikan korupsi di pemerintahannya.

Zuma menyangkal tuduhan korupsi dan tidak bekerja sama dalam proses hukum.

Padahal selama ini diketahui masa jabatannya tersebut diwarnai dengan skandal korupsi dan tuduhan nepotisme.

Bahkan karena kepiawainya dalam mengelak pengusutan tuduhan korupsi dan nepotisme di masa pemerintahannya itu, para pengkritik menjulukinya "Presiden Teflon".

Namun nasibnya kemudian berubah akhir Juni lalu, ketika pengadilan mengeluarkan keputusan yang memberatkannya atas dakwaan penghinaan pengadilan.

Menanggapi hal tersebut, Jacob Zuma pun mengajukan pembelaan hukum terakhir dan menolak untuk menyerahkan diri ke pihak berwajib.

Dirinya meminta agar pengadilan melakukan penangguhan hukuman dan perintah penangkapannya sampai semua proses hukum diselesaikan.

Kasus ini kemudian kembali ke Mahkamah Konstitusi pada Senin (12/7/2021).

Tim Zuma saat itu hanya berharap hukumannya dibatalkan atau dikurangi. ( Tribunlampung.co.id / Virginia Swastika )

Baca berita luar negeri lainnya

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved