Berita Viral

Tampang Kakek dan Nenek yang Gugat Cucu Sendiri karena Sengketa Rumah

Tampang kakek dan nenek yang menggugat cucunya, Zaki yang masih berusia 12 tahun karena sengketa rumah. 

Editor: Kiki Novilia
handhika rahman/tribun jabar
KAKEK GUGAT CUCU - Kakek dan Nenek dari Zaki, Kadi dan Narti di Kantor LBH Dharma Bakti Indramayu, Selasa 8 Juli 2025 memperlihatkan surat pernyataan mengosongkan tanah. Tampang kakek dan neneknya disorot. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, Indramayu - Tampang kakek dan nenek yang menggugat cucunya, Zaki yang masih berusia 12 tahun karena sengketa rumah. 

Keduanya menjadi sorotan karena dianggap tega menggugat cucunya sendiri karena masalah rumah. 

Kabar terbaru, Ade Firmansyah Ramadhan kuasa hukum pasangan lansia bernama Kadi dan Narti, memberikan klarifikasi. 

Ade menegaskan bahwa niat awal dari Kadi dan Narti bukanlah untuk membawa cucunya ke jalur hukum.

Mereka disebutnya sempat menahan diri untuk tidak mengambil langkah hukum, mengingat perkara ini menyangkut keluarga dekat.

“Ini berarti kan mereka yang minta digugat, padahal sebenarnya dari pihak kakek dan neneknya sendiri untuk melaporkan ke polisi atau pengadilan tidak mau, karena ini cucunya sendiri,” ujar Ade saat dijumpai di Kantor LBH Dharma Bakti Indramayu, Selasa (8/7/2025).
 
Ia menuturkan bahwa pasangan lansia tersebut kini justru merasa sangat tertekan secara psikis. Tekanan dari pemberitaan dan penilaian publik membuat mereka malu dan merasa telah disalahpahami.

“Mereka merasa malu karena kesalahannya itu seperti apa? Karena yang minta digugat itu cucu pertamanya bukan mereka,” ucapnya.

Ade menjelaskan, peristiwa ini bermula setelah ayah dari Zaki dan Heryatno, yaitu Suparto, meninggal dunia. Setelah itu, mulai timbul kekhawatiran dari pihak kakek dan nenek, bahwa Rastiah sebagai menantu mereka akan menikah lagi dan tetap tinggal di rumah warisan tersebut.

Maka, keduanya memberikan syarat agar Rastiah bersedia meninggalkan rumah jika benar akan menikah kembali.

Namun niat baik ini justru memicu ketegangan di dalam keluarga. Upaya mediasi sebenarnya sudah berkali-kali dilakukan oleh kedua belah pihak.

Bahkan, Heryatno saat itu menyatakan persetujuannya untuk angkat kaki dari rumah tersebut dan menandatangani surat pernyataan pada 18 Maret 2025, yang disaksikan oleh sejumlah pihak.

Tak berhenti di situ, Kadi dan Narti yang merasa tidak enak hati karena harus membuat cucunya keluar dari rumah itu, kemudian mencoba menawarkan bentuk kompensasi.

Mereka menyiapkan dana senilai Rp 100 juta. Sayangnya, menurut pengakuan Ade, nominal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Heryatno.

Alih-alih menerima, cucu pertamanya itu disebut mengajukan tuntutan agar kompensasi dinaikkan menjadi Rp 350 juta.

Permintaan tersebut dianggap memberatkan oleh pihak kakek, hingga akhirnya diminta dilakukan penilaian profesional oleh Appraisal. Setelah dihitung secara objektif, nilai rumah itu ditaksir senilai Rp 108 juta.

“Dari Appraisal membuka harga rumah Rp 108 juta. Namun, tidak disetujui juga oleh cucunya. Naik harganya, tetap tidak disetujui lagi,” jelas Ade.

Saprudin, kuasa hukum lainnya dari pihak Kadi dan Narti, menjelaskan bahwa setelah permintaan demi permintaan yang tidak berujung pada kesepakatan, pihak sang kakek merasa seperti dipermainkan.

Mereka pun kemudian menghentikan pembicaraan soal kompensasi dan mengambil tindakan konkret, salah satunya dengan mengirimkan tanah merah ke rumah yang disengketakan, dengan maksud untuk menanggulangi rob yang sering melanda wilayah tersebut.

“Jadi bukan untuk teror atau menghalang-halangi jalan rumah seperti yang disangka cucunya. Itu untuk pemadatan,” terang Saprudin.

Menurutnya, tindakan itu dilakukan karena Heryatno sebelumnya telah menandatangani pernyataan bersedia meninggalkan rumah.

Jika pun muncul konflik, penyelesaiannya bisa dilakukan secara kekeluargaan.

Namun yang terjadi justru sebaliknya, permintaan tersebut dianggap sebagai tekanan oleh pihak cucu. Akibatnya, hubungan keluarga ini makin merenggang.

Saprudin juga mengungkapkan, tanah yang dipermasalahkan dalam perkara ini memiliki luas 162 meter persegi dan sepenuhnya merupakan hak milik Kadi dan Narti, sesuai dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 402 atas nama mereka.

Tanah itu dibeli secara sah oleh keduanya pada tahun 2008 dengan harga Rp 50 juta dan sertifikatnya rampung dua tahun kemudian.

"Dibeli tahun 2008, sertifikat jadi 2010 pakai nama dia sendiri," tegas Saprudin.

Setelah dibeli, tanah itu digunakan oleh anak mereka, Suparto, untuk membangun rumah dan membuka usaha ikan bakar. Dalam prosesnya, Kadi dan Narti ikut berperan mendukung pembangunan rumah tersebut.

“Dan dalam membangun rumah itu, kakek nenek ini juga ikut andil seperti untuk jendela, dan lain-lain, namanya juga orang tua,” imbuhnya.

Menurut Ade, hubungan antara Kadi dan keluarga Suparto selama ini sebenarnya cukup dekat.

Meski Kadi bukan ayah kandung dari Suparto, ia selalu mendukung anak tirinya tersebut dari segi apapun, termasuk dalam mengembangkan usaha. Bahkan saat Heryatno masih kecil, Kadi dan Narti ikut mengasuhnya.

Lebih lanjut, Ade mengungkapkan bahwa rumah yang saat ini ditempati oleh Kadi dan Narti bukanlah properti pribadi, melainkan berdiri di atas tanah milik Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Artinya, rumah tersebut bisa digusur sewaktu-waktu. Tanah satu-satunya yang mereka miliki secara sah adalah yang kini tengah disengketakan.

“Kalau untuk Heryatno dan Zaki sebenarnya tidak masalah tinggal di sana, itu cucu mereka sendiri,” ucap Ade.

Ia pun menambahkan, jika sejak awal niat Kadi dan Narti adalah menyingkirkan cucu-cucunya, mereka tentu bisa saja langsung menjual atau menggadaikan tanah itu tanpa perlu melalui proses hukum yang panjang dan menyakitkan secara emosional.

“Tapi kan tidak mereka lakukan karena ini cucu mereka sendiri, kakek nenek ini sayang sama cucu mereka,” tandas Ade.

Dari keseluruhan kisah ini, muncul kenyataan bahwa apa yang terlihat di media sosial tidak selalu mencerminkan seluruh aspek dari konflik yang sedang berlangsung.

Gugatan hukum ini tidak dilandasi oleh kebencian, melainkan oleh desakan situasi yang berujung pada jalan buntu.

Kini, keputusan berada di tangan pengadilan, namun setidaknya publik bisa melihat bahwa konflik keluarga kadang tidak hanya sekadar siapa menggugat siapa, tetapi lebih dalam dari itu: soal harapan, kasih sayang, dan keterbatasan dalam menyelesaikan persoalan secara damai.

( TRIBUNLAMPUNG.CO.ID / TRIBUNNEWS.COM )

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved