Berita Nasional

Otto Hasibuan Resmi Ditunjuk Sebagai Pengacara Djoko Tjandra, 'Banyak yang Dipertimbangkan'

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Otto Hasibuan Resmi Ditunjuk Sebagai Pengacara Djoko Tjandra, 'Banyak yang Dipertimbangkan'.

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Pihak keluarga Djoko Tjandra akhirnya menunjuk Otto Hasibuan sebagai pengacara.

Setelah berbincang panjang dengan Djoko Tjandra di Rutan Salemba cabang Bareskrim Mabes Polri, Otto Hasibuan akhirnya menerima permintaan tersebut.

Otto Hasibuan mengaku banyak pertimbangan yang diambilnya untuk menerima permintaan menjadi pengacara Djoko Tjandra tersebut.

Pengacara Otto Hasibuan resmi menjadi kuasa hukum Djoko Tjandra.

TONTON JUGA:

Penunjukkan tersebut setelah diminta oleh pihak keluarga dari terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih Bank Bali.

"Saya baru ketemu dengan pak Djoko Tjandra, karena memang dari keluarga sudah mendesak supaya saya segera bertemu dengan beliau, dan akhirnya bisa bertemu, dan saya bicara panjang lebar mengenai kasus ini," kata Otto di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Sabtu (1/8/2020) malam.

Otto mengatakan pihaknya telah bertemu dengan Djoko Tjandra di Rutan Salemba cabang Bareskrim.

• Sepak Terjang Djoko Tjandra, Pedagang Toko Grosir hingga Jadi Bos 41 Perusahaan

• Alasan Brigjen Prasetijo dan Djoko Tjandra Tak Satu Sel

• Curhat Guru kepada Mendikbud Nadiem: HP Sering Hang, Kerja 24 Jam

• Pengacara Aniaya Istri dan Kejar Anaknya hingga Lari Ketakutan, Videonya Viral

Setelah berbincang panjang, pihaknya menerima untuk menjadi pengacara kliennya tersebut.

"Akhirnya setelah kita berbincang bersama beliau, saya memutuskan untuk bisa menerima permintaan untuk jadi pengacara dia."

"Tentunya banyak hal yang akan kita pertimbangkan soal kasus ini."

"Jadi mulai hari ini saya resmi jadi kuasa hukum Djoko Tjandra, termasuk keluarganya."

"Saya bilang keluarga, karena keluarga kan ga ada masalah, resminya hanya untuk Djoko Tjandra," jelasnya.

Lebih lanjut, Otto mengatakan, Djoko Tjandra juga disebut tidak memberikan kuasa hukum kepada pengacaranya yang lama.

Namun, jika masih ada kasus yang berkaitan dengan pengacaranya yang lama, ia meminta untuk diselesaikan terlebih dahulu.

"Saya tanya tadi, bahwa urusan dia di mabes polri ini ternyata tidak memberikan kuasa kepada yang lama, jadi saya tidak ada terkait."

"Menurut pak Joko yang diberikan kuasanya itu untuk PK, untuk PK saya katakan saya tidak kerjakan kecuali sudah ada penyelesaian dengan pengacara yang lama," pungkasnya.

Kronologi Operasi Senyap

Berakhir sudah 11 tahun pelarian Djoko Sugiarto Tjandra.

Aparat Badan Reserse Kriminal Polri berhasil menangkap buronan kasus cessie Bank Bali itu di Malaysia, Kamis (30/7/2020).

Polri ternyata telah merancang operasi penangkapan ini sejak 20 Juli.

Hanya empat orang yang mengetahui rencana operasi.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD adalah satu dari empat orang yang mengetahui rencana operasi penangkapan Djoko Tjandra.

Ia mengetahuinya setelah Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo datang ke kantornya untuk membeberkan skenario penangkapan.

"Saya tidak kaget, karena operasi ini sudah dirancang sejak 20 Juli. Saat itu, saya mau mengadakan rapat lintas kementerian dan aparat penegak hukum untuk buat rencana penangkapan," beber Mahfud kepada wartawan, Jumat (31/7/2020).

"Sebelum rapat dimulai, rapat itu saya rencanakan jam 17.30, tapi siangnya sekitar jam 11.30 Kabareskrim datang ke kantor saya. Melapor, polisi siap melakukan langkah-langkah dan sudah punya skenario yang harus dirahasiakan," sambungnya.

Selain dirinya, ungkap Mahfud, tiga orang lainnya yang mengetahui rencana operasi penangkapan ialah Presiden Joko Widodo, Kapolri Jenderal Idham Azis, serta Kabareskrim Listyo.

"Yang tahu pada waktu itu, menurut Kabareskrim, hanya Kapolri, Presiden, dan Menko Polhukam. Malam itu juga Kabareskrim berangkat ke Malaysia, tanggal 20 itu," kata Mahfud.

Mahfud tidak merinci skenario yang disepakatinya bersama Kabareskrim Listyo.

Namun, ia meyakini operasi penangkapan akan berjalan sukses karena keseriusan Kabareskrim Listyo.

Buronan Djoko Tjandra saat tiba di Bandara Halim Perdanakusuma. (Tribunnews.com/Igman Ibrahim)

"Saya dikasih tahu skenarionya, dan saya yakin akan berhasil. Mengenai skenario itu, saya sepakat dengan Bareskrim untuk tidak kasih tahu ke masyarakat. Waktu itu, pokoknya operasi tahunya jalan dan berhasil. Jadi, saya tahu detailnya, mau ketemu siapa, gimana nangkapnya, sehingga sejak siang tanggal 20 saya anggap tugas saya 90 persen selesai," tutur Mahfud.

Di Apartemen

Penangkapan terhadap Djoko Tjandra berlangsung setelah Polri berkomunikasi dengan Polis Diraja Malaysia (PDRM).

Aparat Bareskrim Polri mencokok Djoko Tjandra di sebuah apartemen miliknya di Malaysia, yang menjadi lokasi persembunyiannya.

"Sedang di apartemen yang bersangkutan," kata Kabareskrim Listyo di Gedung Bareskrim, Kamis malam, seusai memimpin langsung penjemputan Djoko Tjandra ke Malaysia.

Setelah ditangkap, Djoko Tjandra langsung dibawa pulang ke Indonesia. Ia diterbangkan dengan pesawat jenis Embraer Legacy 600 dengan nomor registrasi PK-RJP.

Djoko Tjandra serta rombongan polisi yang menjemputnya di Malaysia tiba di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis malam sekitar pukul 22.48 WIB.

Diapit penyidik, Djoko Tjandra turun dari pesawat dengan mengenakan baju warna oranye dan masker yang menutupi mulutnya.

Dari Bandara Halim, ia dibawa ke Bareskrim Polri untuk menjalani pemeriksaan.

Listyo menyatakan operasi penangkapan Djoko Tjandra berawal dari perintah Presiden Jokowi.

Setelah pemberitaan tentang Djoko Tjandra ramai di Indonesia, apalagi sampai menyeret sejumlah pejabat di Polri, jelas Listyo, Presiden Jokowi langsung memerintahkan Kapolri Idham Azis untuk menangkap Djoko Tjandra.

Sejak perintah itu turun, Bareskrim Polri langsung menggelar operasi senyap selama dua pekan di Kuala Lumpur, Malaysia, lokasi Djoko Tjandra bersembunyi.

"Atas perintah (Presiden) tersebut, Kapolri kemudian membentuk tim untuk menindaklanjuti perintah," kata Listyo.

Tim yang diketuai Listyo lalu mulai mencari informasi tentang keberadaan Djoko Tjandra.

"Dan kita dapat informasi yang bersangkutan berada di Kuala Lumpur," ujar Listyo.

"Ditindaklanjuti dengan kegiatan police to police. Kami mengirimkan surat kepada Kepolisian Diraja Malaysia untuk upaya pencarian," sambungnya.

Kerja sama itu berbuah hasil. Keberadaan Djoko Tjandra terdeteksi secara spesifik pada Kamis siang.

"Sorenya, kami dari Bareskrim, Kadiv Propam, berangkat untuk pengambilan," kata Listyo.

Selanjutnya, Djoko Tjandra akan menjalani proses hukum di kejaksaan. Djoko Tjandra seharusnya dieksekusi untuk menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Licik

Sementara Kapolri Jenderal Pol Idham Azis menyatakan penangkapan Djoko Tjandra merupakan bentuk komitmen Polri untuk menangkap koruptor yang buron.

Ia menegaskan Polri tak akan pandang bulu dan akan menyeret siapa saja ke penjara bagi yang membantu pelarian Djoko Tjandra.

"Sekali lagi, ini bentuk komitmen kami. Kami akan transparan, objektif, untuk usut tuntas apa yang terjadi," ucap Idham dalam keterangan tertulisnya, Jumat.

Mantan Kapolda Metro Jaya ini mengapresiasi kinerja anak buahnya dalam proses penangkapan Djoko Tjandra.

Menurut Idham, tim yang dipimpin Kabareskrim Listyo sudah bekerja sangat baik.

"Djoko Tjandra ini memang licik dan sangat pandai. Dia kerap berpindah-pindah tempat. Tapi, Alhamdulillah berkat kesabaran dan kerja keras tim, Djoko Tjandra berhasil diamankan," katanya.

Idham menyatakan akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam proses hukum Djoko Tjandra.

"Proses untuk Djoko Tjandra sendiri, tentunya ada proses di kejaksaan yang akan ditindaklanjuti. Kami juga akan berkoordinasi dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)," jelasnya.

Adapun Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan proses hukum Djoko Tjandra akan diserahkan ke Mahkamah Agung.

"Ini sudah ranah MA. Pengawasan masyarakat, pelototan masyarakat, sekarang sangat efektif untuk awasi dunia peradilan," ujarnya.

Jalannya Kasus

Dilansir dari Harian Kompas, 13 Juli 2020, kasus Djoko Tjandra bermula sekitar Agustus 1998 ketika pemilik PT Era Giat Prima dan Bank Bali mengadakan kontak bisnis.

PT Era Giat Prima dimiliki Joko S Tjandra selaku direktur. Sementara Bank Bali dimiliki keluarga Rudy Ramli.

Mereka bernegosiasi soal pengalihan tagihan Bank Bali terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Rupanya, BDNI tak mampu memenuhi kewajibannya ke Bank Bali. Malah BDNI ikut dilikuidasi.

Pada Januari 1998, pemerintah menyatakan dana nasabah dan pinjaman antarbank masuk dalam skema penjaminan pemerintah. Hal itu berarti, Bank Bali tidak perlu khawatir piutangnya di BDNI lenyap, karena berada dalam perjaminan pemerintah.

Namun, rupanya Bank Indonesia (BI) tidak segera membayarkan piutang Bank Bali tersebut.

Sebab, berdasarkan hasil verifikasi BI, tak ada satu pun dari 10 transaksi antara Bank Bali dan BDNI yang memenuhi syarat untuk dibayar.

Alasannya, transaksi antara BDNI dan Bank Bali terlambat didaftarkan dan terlambat diajukan.

Piutang Bank Bali awalnya adalah transaksi forward yang tidak termasuk jenis kewajiban yang dijamin.

Namun, entah apa yang terjadi kemudian, transaksi itu berubah statusnya menjadi pinjaman antarbank.

Untuk menagih pinjaman antarbank itulah, Bank Bali dengan PT Era Giat Prima menandatangani cessie pada 11 Januari 1999.

Bank Bali memberikan hak penagihan piutang kepada PT Era Giat Prima, hitam di atas putih, berupa cessie atau pengalihan hak penagihan kepada pihak ketiga.

Direktur Utama Bank Bali Rudy Ramli beralasan, pencairan dana penjaminan dari BI atas piutang Bank Bali terhadap BDNI sulit dilakukan.

Oleh karena itu, cessie pun ditempuh dengan menggandeng PT Era Giat Prima.

"Kalau setiap hari dirongrong oleh ketidakpercayaan nasabah, siapa yang tahan," kata Rudy Ramli seperti dikutip Harian Kompas, 6 Agustus 1999.

Dalam prosesnya, menurut Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), beberapa dokumen terkait cessie tidak terungkap dalam laporan auditor Bank Bali.

Meskipun demikian, justru Standard Chartered Bank (SCB) yang mengungkapkan hal itu dalam laporan due diligence-nya pada 20 Juli 1999.

SCB adalah investor asing yang saat itu sepakat membeli 20 persen saham Bank Bali.

Dalam laporannya, SCB menemukan antara lain terjadinya tambahan kerugian akibat pembayaran keluar dari bank Rp 546 miliar sehubungan klaim antarbank Rp 904 miliar.

SCB juga menemukan adanya usaha penjualan aset-aset bank oleh manajemen Bank Bali.

Sementara Setya Novanto selaku direktur utama PT Era Giat Prima saat itu menyatakan proses transaksi jual beli penagihan Bank Bali merupakan proses investasi berisiko tinggi dan bisa dipertanggungjawabkan secara legal dan komersial.

Ia pun menampik tudingan adanya kaitan perjanjian itu dengan Golkar.

Setnov menyebut tagihan pokok dan bunga dana Bank Bali kepada BDNI sebesar Rp 1,277 triliun.

"Setelah diverifikasi BPPN dan Bank Indonesia, jumlah yang bisa ditagih Rp 904.642.428.369. Karena dari 10 transaksi, terdapat dua hingga tiga yang tidak memenuhi syarat sehingga yang dibayar hanya itu," ujar Setnov.

Gubernur BI Syahril Sabirin mengaku tidak mengetahui adanya perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima.

Bagi BI, jelas dia, pengurusan penjaminan pinjaman antarbank tidak memerlukan perantara.

Posisi PT Era Giat Prima pun dipertanyakan. Sebab, secara prosedural, formal, dan legal, pencairan tagihan perbankan memang tidak memerlukan peran pihak lain.

Sementara BI, Departemen Keuangan, ataupun Kementerian Keuangan dan BPPN merupakan lembaga pemerintah yang memiliki sistem tersendiri dalam pencairan dana.

Setnov pun membantah perjanjian mereka itu sebagai perjanjian bernuansa debt collector, melainkan cessie.

Namun, jika sesuai cessie yang lazim, hak tagihan dan transfernya sebenarnya langsung ke PT Era Giat Prima, bukan ke Bank Bali.

Apa Itu Cessie?

Apa itu cessie dalam dunia perbankan?

Cessie artinya pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud (intangible goods) yang biasanya berupa piutang atas nama kepada pihak ketiga, di mana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain.

Secara khusus dalam istilah perbankan, cessie adalah pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian kreditur karena alasan tertentu.

Dilansir dari Kontan, Sabtu (18/7), cessie Bank Bali bermula saat Direktur Utama Bank Bali kala itu, Rudy Ramli, kesulitan menagih piutangnya yang tertanam di brankas Bank Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Umum Nasional (BUM), dan Bank Tiara pada 1997.

Total piutang Bank Bali di tiga bank itu sekitar Rp 3 triliun.

Hingga ketiga bank itu masuk perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tagihan tersebut tak kunjung cair.

Di tengah keputusasaannya, Rudy Ramli menjalin kerja sama dengan PT Era Giat Prima, di mana Djoko Tjandra duduk selaku direktur dan Setya Novanto menjabat direktur utama.

Pada Januari 1999, antara Rudy Ramli dan PT Era Giat Prima menandatangani perjanjian pengalihan hak tagih.

Disebutkan, PT Era Giat Prima akan menerima fee yang besarnya setengah dari duit yang dapat ditagih.

BI dan BPPN akhirnya setuju mengucurkan duit Bank Bali itu.

Jumlahnya Rp 905 miliar. Namun Bank Bali hanya mendapat Rp 359 miliar.

Sisanya, sekitar 60 persen atau Rp 546 miliar, masuk rekening PT Era Giat Prima. (tribun network/igm/yud/dod/kompas.com)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Otto Hasibuan Resmi Jadi Pengacara Djoko Tjandra

Pihak keluarga Djoko Tjandra akhirnya menunjuk Otto Hasibuan sebagai pengacara. Setelah berbincang panjang dengan Djoko Tjandra di Rutan Salemba cabang Bareskrim Mabes Polri, Otto Hasibuan akhirnya menerima permintaan tersebut.

Berita Terkini