Berita Nasional

Gantikan BPJS Kesehatan, KRIS Diterapkan Juni 2025

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PENERAPAN KRIS - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Istana Wakil Presiden RI, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (15/8/2024). Budi memastikan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai diterapkan pada Juni 2025.

Tribunlampung.co.id, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan implementasi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) mulai diterapkan pada Juni 2025. 

KRIS merupakan pengganti pelayanan kelas I, II, dan III BPJS Kesehatan.

"Rencananya, Juni ini kita harapkan semua rumah sakit sudah melaksanakan implementasi KRIS," kata Budi dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2025). 

Budi menjabarkan, terdapat 115 dari total 3.228 rumah sakit yang tidak masuk kewajiban KRIS.

Dengan demikian, ada 3.113 rumah sakit yang bakal menerapkan KRIS, terdiri dari rumah sakit swasta dan pemerintah. 

Budi menyatakan, implementasi KRIS bertujuan untuk menerapkan standar minimal layanan bagi masyarakat.

"Jadi tujuan utamanya bukan dari sisi kelas, tapi layanan kesehatannya minimal sama dan standarnya dipenuhi," ucap Budi. 

Terkait implementasi ini, pihaknya sudah meminta dinas kesehatan di semua provinsi untuk memvalidasi kesiapan rumah sakit untuk mengimplementasikan KRIS.

Ia pun mewanti-wanti Diskes yang tidak melakukan pengecekan terhadap rumah sakit di wilayahnya. 

"Hampir semuanya sudah di atas 50 persen melakukan validasi dan saya minta Diskes-Diskes, kalau dia enggak pernah ngecek rumah sakitnya, sudah jalan apa tidak, nanti DAK-nya kita bintangin juga," jelas Budi. 

Sanksi

Budi bakal memberikan sanksi kepada dinas kesehatan provinsi yang tidak melakukan validasi atau mengecek progres implementasi KRIS di rumah sakit wilayahnya masing-masing.

Diketahui, sesuai rencana, ada 3.113 rumah sakit yang terdiri dari rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah yang ditargetkan bisa mengimplementasikan KRIS pada Juni 2025. 

Budi menuturkan, mayoritas rumah sakit sudah divalidasi oleh dinas kesehatan setempat. Totalnya sebanyak 2.766 dari 3.113 rumah sakit dengan rerata tingkat validasi sekitar 88 persen. 

Tercatat, hanya ada empat provinsi dengan validasi rumah sakit oleh Diskes provinsi yang kurang dari 50 persen, yakni Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Papua, dan Papua Pegunungan. 

Ia pun mempertanyakan mengapa Diskes-Diskes di wilayah tersebut lambat melakukan validasi.

"Jadi kalau misalnya Kalimantan Barat kok bisa, masa Kalimantan Tengah enggak bisa. Ada beberapa provinsi sudah 90 persen validasi, Papua Barat Daya (juga sudah validasi). Masa Provinsi Papua sendiri masih rendah. Harusnya kan bisa, ini masalah niat saja," ucap Budi. 

Lebih lanjut, Budi menyatakan, implementasi KRIS bertujuan untuk menerapkan standar minimal layanan bagi masyarakat.

"Jadi tujuan utamanya bukan dari sisi kelas, tapi layanan kesehatannya minimal sama dan standarnya dipenuhi," ucap Budi. 

Setidaknya ada 13 kriteria kamar KRIS yang harus dipenuhi oleh pasien BPJS saat rawat inap di rumah sakit, merujuk pada Pasal 46A Perpres Nomor 59 Tahun 2024.

Ke-13 kriteria tersebut meliputi:

1. Komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi (tidak menyimpan debu dan mikroorganisme).

2. Ventilasi udara (minimal 6 kali pergantian udara per jam)

3. Pencahayaan ruangan (pencahayaan ruangan standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan tidur)

4. Kelengkapan tempat tidur (dilengkapi minimal 2 kotak kontak dan tidak boleh percabangan/sambungan langsung tanpa pengamanan arus)

5. Nakas per tempat tidur

6. Temperatur ruangan (suhu ruangan stabil: 20-26°C)

7. Ruang rawat dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau noninfeksi

8. Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat

9. Tirai/partisi antartempat tidur

10. Kamar mandi dalam ruangan rawat inap

11. Kamar mandi memenuhi standar aksesibilitas

12. Bel perawat yang terhubung pada pos perawat

13. Outlet oksigen

Standar Tarif

Budi berencana mengubah standar tarif pelayanan kesehatan.

Pengelompokan tarif akan diubah menjadi Indonesia Diagnosis Related Group (iDRG) dari semula menggunakan Indonesia Case Based Group (INA-CBG). Pengubahan tarif ini dilakukan untuk menekan inflasi di bidang kesehatan pada 10-15 tahun ke depan. 

"Itu sebabnya kita mau ubah pengelompokan tarif yang selamanya namanya INA-CBG, kita mau ubah menjadi Indonesia DRG (iDRG)," kata Budi. 

Budi menjelaskan, pengelompokan tarif ini diubah mengikuti model yang relevan di Indonesia.

Pasalnya, INA-CBG merupakan model Malaysia yang tidak sepenuhnya cocok dengan kondisi di dalam negeri. "Dan juga paket-paketnya juga nggak cocok," ucap dia. 

Budi lantas menjelaskan sistem yang ada saat ini.

Seringkali, referensi rumah sakit kelas A dilihat berdasarkan jumlah tempat tidur, bukan berdasarkan keunggulan dan tingkat keparahan pasien. 

Sebagai contoh pasien kanker. Pasien kanker harusnya dirujuk ke rumah sakit kelas A yang memiliki kompetensi untuk menangani penyakit kanker, bukan dirujuk ke rumah sakit yang kapasitas tempat tidurnya lebih banyak. 

"Jadi kayak MRCCC, harusnya untuk cancer itu kelas A bukan kelas B, karena semua orang kalau cancer ke sana. JEC (Jakarta Eye Center) itu harusnya untuk mata ya kelas A, karena semua orang kalau cancer ke sana, bukan rujuk ke RSCM yang kamarnya banyak. Nah, itu yang akan kita ubah dan akan berpengaruh ke iDRG," jelas Budi. 

Lebih lanjut ia mengungkapkan, pihaknya sudah melakukan diskusi dengan stakeholder terkait. Berdasarkan rancangan, bakal ada 22.000 kode diagnosis yang disusun. 

“Kode-kode diagnosis akan kita tarif harganya berapa, dikondisikan layanan di rumah sakit-rumah sakitnya. Kita mau ambil tarif nasional berapa,” beber Budi. (Kompas.com)

Berita Terkini