Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Wilayah Lampung memiliki luas sekitar 33.575 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 9,3 juta jiwa.
Provinsi ini juga dikenal sebagai lumbung padi nasional, dengan luas lahan mencapai 530.110 hektare pada tahun 2024.
Data tersebut naik sekitar 2,3 persen dari tahun sebelumnya, dengan produksi gabah kering giling (GKG) mencapai 2,76 juta ton.
Namun, tren konversi lahan tetap menjadi perhatian.
Luas lahan pertanian di Lampung tercatat sekitar 361.700 ha pada 2019, dan mengalami alih fungsi hingga 1.000 ha per tahun.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah peningkatan produksi padi bisa dipertahankan di tengah kehilangan lahan?
Ditambah lagi, Gubernur Lampung kini membidik kenaikan produksi padi menjadi 3,5 juta ton, naik dari sekitar 2,9 juta ton sebelumnya.
Lantas bagaimana cara merealisasikan target itu?
Simak wawancara eksklusif Tribun Lampung bersama Rektor Itera Prof Dr I Nyoman Pugeg Aryantha, Kamis (19/6/2025) lalu.
Bagaimana strategi untuk mewujudkan target pemprov soal gabah 3,5 juta ton per tahun?
Menurut saya, secara semangat dari kami di kampus dalam mendukung program pemerintah, baik pusat maupun daerah—termasuk bagaimana Itera juga ikut berkontribusi terhadap target itu.
Saya menilai target tersebut sangat-sangat realistis. Bahkan, menurut hemat saya, target itu bisa saja lebih dari itu, apalagi kalau pemprov menerima masukan dari kami.
Kenapa bisa dianggap realistis? Bagaimana caranya?
Karena saat ini, jika kita berbasis pada luas sawah—sekitar 370 ribu hektare, baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi—produksi saat ini tergolong rendah secara rata-rata per hektare.
Salah satu faktornya menurut saya adalah siklus tanam yang sepertinya tidak lebih dari dua kali setahun. Mestinya bisa lebih. Kalau bisa ditingkatkan menjadi tiga kali, tentu hasil panen akan meningkat.
Kedua, dari segi peningkatan produksi, selama ini kita mengandalkan pupuk kimiawi. Padahal pendekatan ini dari tahun ke tahun justru merusak dan mendegradasi kesuburan tanah.
Kita harus paham bahwa tanah itu sangat kompleks—ada daya dukung kehidupan, interaksi antara tanaman dan tanah.
Selain itu, teknologi pengairan belum memadai. Padahal banyak cara untuk memanfaatkan air tadah hujan, misalnya dengan menyiapkan tampungan dan wadah lain.
Dengan sistem presisi dalam pengairan, kita bisa menyiram sesuai kebutuhan.
Faktor lain adalah pengendalian gulma. Pengolahan tanah juga belum maksimal. Bila proses pembusukan jerami bisa dipercepat, maka masa tanam juga bisa lebih cepat.
Jika ini dijadikan konsep, saya yakin produksi padi bisa lebih dari dua kali setahun.
Apakah cara ini sudah pernah dicoba dilakukan oleh Itera?
Kebetulan saya terlibat langsung dalam kegiatan pertanian padi dari sisi pengolahan tanahnya. Dari supporting agent mikrobial untuk pertumbuhan tanaman, ini sudah kami lakukan di Itera.
Kami punya teknologi untuk mempercepat pembusukan jerami. Jadi sangat mungkin tanam bisa dilakukan tiga kali setahun. Artinya, tidak perlu menunggu pengolahan tanah terlalu lama atau diistirahatkan dulu. Selesai tanam, langsung dilakukan pengolahan tanah, pembusukan jerami, lalu tanam lagi.
Terkait kerja sama Pemprov Lampung dan China soal pemanfaatan satelit, bagaimana manfaatnya untuk petani?
Itu suatu sistem pemantauan yang lebih akurat. Petani bisa memantau perkiraan cuaca melalui satelit, jadi mereka bisa mempersiapkan lahan, perencanaan tanam, rotasi, dan sebagainya. Prediksi-prediksi itu bisa dilakukan lebih baik dengan adanya pemantauan satelit.
Bagaimana soal teknologi di tingkat petani?
Satelit berfungsi untuk mitigasi dan antisipasi agar tidak terjadi gagal panen. Misalnya saat hasil tanam terendam air, kerugian bisa besar. Tapi kalau targetnya produksi, ya tetap harus didukung oleh teknologi.
Di Lampung, itu belum diterapkan secara maksimal. Jika kita bisa mulai sekarang intervensi pada sumber air agar tersedia sepanjang tahun, produksi padi bisa bertambah dan siklus tanam meningkat.
Kalau kita bicara produksi padi 3,5 juta ton, setelah itu apa yang terjadi?
Tahapan pascapanen juga harus diperhatikan. Misalnya soal pengeringan, penggilingan, hingga penjualan. Saya bersama Pak Gubernur sekarang diberi "pekerjaan rumah" untuk merancang alat-alat pengering padi yang nantinya bisa didistribusikan ke desa-desa.
Setelah kering, tentu perlu tempat penampungan. Kami rancang silo modern berbasis teknologi yang bisa mengatur kelembapan, kadar air, suhu, dan sebagainya agar kualitas padi tetap terjaga untuk distribusi, penjualan, atau pengolahan lanjutan menjadi produk turunan yang berkualitas.
Kami juga sedang membahas inovasi agar padi bisa dipanen dalam kondisi hijau, dengan kualitas karbon tinggi, untuk diolah menjadi makanan dan minuman sehat—khususnya untuk balita dan lansia.
Nilai jualnya lebih tinggi, dan ini juga mempercepat perputaran tanam. Jadi ada peluang industri baru berbasis pangan fungsional di Lampung.
Untuk mewujudkan itu semua, butuh berapa lama?
Kalau produksi yang dicanangkan Pak Gubernur itu, hemat saya, bisa dijalankan dalam 2–3 tahun. Tahun pertama untuk perencanaan, tahun kedua mulai realisasi, tahun ketiga sudah jalan.
Produksi padi bisa menopang kebutuhan masyarakat, dan inovasi padi hijau bisa jadi diversifikasi pangan yang membantu menanggulangi stunting. Karena stunting itu krusial, dan butuh asupan nutrisi yang maksimal.
Di sinilah pangan fungsional yang mengandung prebiotik bisa jadi kunci. Tinggal bagaimana kita mengelola dari hulu ke hilir.
Terkait ketahanan pangan, bagaimana posisi Lampung terhadap potensi pangan lain?
Kalau bicara ketahanan pangan, menurut riset dari universitas di Jerman, ada tujuh kategori utama: susu, ikan, buah, sayur, bahan bertepung, kacang-kacangan, dan protein. Di Indonesia, sektor pertanian, perikanan, dan peternakan masih terbagi.
Lampung punya potensi besar, bukan hanya di padi. Kita punya ternak seperti sapi, kambing, ayam petelur, meski belum maksimal.
Tapi ada satu potensi yang belum banyak dilirik: jamur. Jamur tiram, jamur merang—ini sehat, tinggi protein, tanpa kolesterol, dan cocok jadi pangan alternatif. Lampung punya banyak bahan baku dari limbah pertanian seperti tebu, jagung, dan sawit.
Budi daya jamur bisa jadi sumber protein sehat, apalagi sekarang banyak penyakit yang dipicu konsumsi daging merah berlebihan. Jamur ini jawabannya.
Kami juga sedang mengembangkan budi daya rumput laut, serta teknologi untuk memperbesar hasil pertanian demi mendukung pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)