Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung - Polemik tataniaga singkong yang tak berkesudahan membuat kondisi petani singkong di Provinsi Lampung semakin memprihatinkan.
Meskipun harga singkong di tingkat perusahaan ditetapkan Rp 1.350 per kilogram, para petani justru menderita kerugian besar akibat potongan harga yang tak wajar.
Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI) Lampung, Dasrul Aswin, mengungkapkan bahwa sejauh ini belum ada perusahaan yang benar-benar menerapkan surat edaran gubernur tentang tata niaga singkong dengan harga Rp 1.350 per kilogram dengan potongan atau rafaksi maksimal 30 persen.
Ingub yang ditandatangani Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal itu menetapkan harga pembelian ubi kayu oleh industri sebesar Rp1.350 per kilogram, dengan potongan rafaksi maksimal 30 persen tanpa pengukuran kadar pati.
Kebijakan ini mulai berlaku sejak 5 Mei 2025 lalu.
Dia menjelaskan, saat ini hampir semua perusahaan menerapkan rafaksi berkisar 40 hingga 60 persen.
Selain itu, dia menyebut bahwa selisih berat saat penimbangan di lapak pengepul dan di pabrik yang bisa mencapai satu ton.
"Enggak ada perusahaan yang benar-benar mengikuti edaran Gubernur, sekarang kondisinya malah lebih parah. Gubernur aja enggak didengerin, apalagi petani," ujar Dasrul Aswin kepada Tribun Lampung, Senin (25/8/2025).
Menurut Dasrul, praktik ini membuat harga yang diterima petani bisa anjlok hingga Rp 675 per kilogram, jauh di bawah biaya produksi.
"Harga yang kita terima jatuhnya cuma setengahnya, kalau dihitung Rp 675, dikurangi biaya pupuk, ongkos cabut dan angkut saat panen, sudah jelas kita rugi," imbuhnya.
Ia menambahkan, kondisi ini tak hanya terjadi di Lampung melainkan di luar daerah seperti di Jawa Tengah, di mana harga singkong basah hanya dihargai Rp 900 per kilogram dengan potongan 15-20 persen.
Pihak PPUKI Lampung mendesak pemerintah agar segera mengambil langkah tegas untuk mengatasi persoalan ini.
(Tribunlampung.co.id/Hurri Agusto)