Cagar Budaya di Bandar Lampung Dikuasai Perseorangan
Terlupakan, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi bekas penjara peninggalan Belanda,
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID- Terlupakan, mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi bekas penjara peninggalan Belanda, yang dahulu dikenal sebagai Penjara Lebak Budi. Di jamannya, penjara yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol saat ini atau persis berada di samping Pasar Pasir Gintung, merupakan penjara terbesar di Lampung.
Akan tetapi, lokasi yang termasuk bangunan cagar budaya itu, kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan, bangunan aslinya yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1905 oleh Belanda ini, puing-puingnya telah hilang di telan bumi.
Di lokasi yang diperkirakan memiliki luas tanah satu hektare, hanya tersisa bagian pintu gerbang bekas penjara yang kokoh serta pagar beton yang mengelilinginya sebagian lokasi itu. Sayangnya, ketika memasuki lebih dalam, tempat ini telah berubah menjadi lokasi penampungan sampah dan juga kios penampungan sementara pedagang Pasar Smep.
Itulah kondisi yang terjadi di Kota Bandar Lampung. Selain Penjara Lebak Budi, banyak lagi bangunan bersejarah yang termasuk dalam cagar budaya lainnya yang kondisinya juga mengenaskan karena minim perhatian dan perlindungan pemerintah. Dan alasan yang dikemukakan pemerintah pun kelewat sederhana. Selain banyak dimiliki pribadi dan swasta, pemerintah menilai tidak mudah mengambil alih dan merawat bangunan bersejarah tersebut dari kepemilikan masyarakat.
Ditegaskan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandar Lampung Muhammad Harun, pemerintah sejatinya berkeinginan melindungi benda, bangunan atau kawasan bersejarah di Kota Tapis Berseri. Hanya saja, kendala di lapangan terkait klaim kepemilikan menjadi tantangan serius pemerintah.
"Bandar Lampung ini banyak peninggalan sejarah, baik bangunan atau lainnya. Sudah pernah ada tim dari kementerian yang mendata itu," ungkap Muhammad Harun di ruang kerjanya, Jumat (28/2). "Tapi masalahnya kan di klaim masyarakat yang merasa tanah atau bangunan itu milik mereka, ini susah jadinya," tegasnya.
Pemerintah, lanjut Harun, tahu benar bahwa keberadaan benda, bangunan, atau kawasan bersejarah memiliki peran vital bagi penelitian. Termasuk di dalamnya adalah kandungan nilai sejarah Bandar Lampung kala masa kolonial, yang perlu diketahui masyarakat. Apalagi jika merujuk pada usianya yang rata-rata lebih dari 50 tahun dan tergolong benda cagar budaya, benda dan bangunan tersebut memiliki nilai sejarah yang patut diketahui masyarakat.
"Sejauh ini kami sudah lakukan pendataan, sosialisasi ke masyarakat juga kerap dilakukan agar bangunan itu bisa terjaga kelestariannya. Yah biar nilai kesejarahannya engga hilang," ungkap Harun. Terlebih pasca dikeluarkannya hasil penelitian tim Balai Arkeologi Bandung dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Harun berusaha mensosialisasikan keberadaan bangunan sejarah tersebut ke masyarakat.
Beberapa peninggalan kolonial hasil penelitian tim kemeterian yang hingga kini masih dapat ditemukan di Bandar Lampung di antaranya bangunan kolonial rumah dinas Polresta Bandar Lampung, Masjid Jami' Al Anwar, Gereja Marturia Bambu Kuning, Gereja Katedral Kristus Raja, Kelenteng Thay Hin Bio, Sekolah Taman Siswa 1935, Jembatan Beton tahun 1929-1932 Teluk Betung, Reservoir Air Imam Bonjol, hingga sisa bangunan penjara masa kolonial.
"Data-data itu lengkap kita punya. Kita awasi dan sosialisasi ke masyarakat. Tapi untuk yang dimiliki pribadi atau swasta memang engga mudah kita ngurusnya," keluhnya pada Tribun. "Kecuali Masjid Al Anwar yang nyata-nyata jelas kepemilikan dan sudah ada data pelengkapnya," ungkapnya.
Ia pun memberikan contoh, bagaimana kebijakan pemerintah yang menjadikan bangunan sisa bekas penjara zaman kolonial sebagai tempat penampungan sementara pedagang Pasar Smep. Harun mengakui ada dilema yang harus dihadapi, kala kebijakan tersebut akhirnya diputuskan.
"Kita tahu, sisa bekas bangunan penjara itu masuk ke daftar bangunan yang diteliti tim kementerian. Tapi kamu tahu, siapa yang punya itu tanah sekarang? Bukan pemerintah, itu punya pribadi sekarang. Jadi kita engga bisa berbuat banyak juga," keluhnya.
Atas fenomena ini, jika merujuk kepada UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Cagar Budaya pasal 12 terkait kepemilikan, sejatinya pemerintah dapat mengambil alih suatu cagar budaya yang dimiliki pribadi. Hal ini dimungkinkan untuk diambil alih bila asal usul kepemilikan seperti wasiat, hibah, atau hadiah tidak jelas. Bahkan pada pasal 15 undang-undang cagar budaya secara tegas menjelaskan, bahwa cagar budaya yang tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh negara.
Senada dengan Muhammad Harun, Kepala Musium Ruwa Jurai Lampung Zuraida Kherustika pun mengakui klain kepemilikan masih menjadi permasalahan utama dalam penanganan cagar budaya di Lampung. Sehingga upaya untuk merawat dan melindungi benda atau bangunan tersebut belum maksimal.
"Di Lampung dan daerah lain saya kira kendalanya sama, yaitu klaim kepemilikan ini. Tapi bagaimana pun juga, dari museum, kami berusaha tetap mendata, memonitor, memberikan pemahaman agar benda, bangunan yang bernilai sejarah itu tidak keluar dari Lampung," ungkap Zuraida.
Sebab menurut penuturan Zuraida, benda cagar budaya Indonesia masih menjadi buruan berharga para pemburu harta karun. Sehingga pihaknya tidak menutup mata, bila banyak benda bersejarah Indonesia yang berujung di pasar gelap dunia. "Ini yang coba kita cegah. Kita kan hanya mampu memberikan edukasi. Untuk membeli kembali, kita dari pemerintah jelas terbatas kemampuannya," tegasnya. (hru/fer)