Heboh Awan Berbentuk Gelombang Tsunami, AirNav Indonesia Ungkap Potensi Bahaya
Heboh Awan Berbentuk Gelombang Tsunami, AirNav Indonesia Ungkap Potensi Bahaya
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Kemunculan awan berbentuk gelombang tsunami hebohkan warga Makassar, Sulawesi Selatan. Begini penjelasan BMKG
Fenomena Awan Kumulonimbus atau awan berbentuk gelombang tsunami muncul di langit Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Selasa (1/1/2018) sore.
Foto Awan Kumulonimbus diabadikan sejumlah pengguna Instagram di Makassar.
Hal ini disebabkan munculnya awan berbentuk gelombang tsunami atau Awan Kumulonimbus menggulung di langit Kota Makassar, Selasa (1/1/2019) sore.
Kelima pesawat itu pun harus menunggu cuaca mulai membaik agar bisa mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar.
Hal itu disampaikan oleh General Manager AirNav Indonesia cabang Makassar Air Traffic Service Centre (MATSC), Novy Pantaryanto saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (2/1/2019).
• Retakan Baru di Tubuh Gunung Anak Krakatau Dikhawatirkan Picu Tsunami Susulan

“Saat awan kumulonimbus menggulung di langit Kota Makassar, Selasa (1/1/2019) sore, ada lima pesawat mengalami penundaan mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar."
"Sehingga, pesawat itu berputar-putar terlebih dahulu di atas sekitar 15 hingga 20 menit lalu mendarat setelah cuaca mulai membaik,” ungkap Novy.
Novy mengatakan, awan berbentuk gelombang tsunami tersebut merupakan awan yang sangat berbahaya.
Di dalam gumpalan awan kumulonimbus itu terdapat partikel-partikel petir, es dan lain-lainnya yang sangat membahayakan bagi penerbangan.
• Upah Minimum Provinsi Tahun 2019 Naik 8 Persen, Lampung di Atas Rp 2 Juta
Awan kumulonimbus inilah yang paling dihindari oleh pilot, karena di dalam awan itu juga terdapat pusaran angin.
“Sangat mengerikan itu awan kumulonimbus. Kalau kita liat angin puting beliung, ekor angin itu ada di dalam awan kumulonimbus."
"Awan ini juga dapat membekukan mesin pesawat, karena di dalamnya terdapat banyak partikel-partikel es."
"Terdapat partikel petir dan sebagainya di dalam awan itu,” terangnya.
Meski awan kumulonimbus dianggap membahayakan bagi penerbangan, kata Novy, pihaknya telah memiliki alat radar cuaca pada rute penerbangan yang bisa melacak cuaca hingga radius 100 Km.