Berprestasi di Kopassus, Luhut Pandjaitan Ternyata Tak Pernah Jadi Danjen, Ini Pesannya ke Anak
Berprestasi di Kopassus, Luhut Binsar Pandjaitan Ternyata Tak Pernah Jadi Danjen, Ini Pesannya ke Anak
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Menteri Koordinator Maritim Luhut Binsar Pandjaitan curhat panjang di akun Facebook nya mengenai sang anak Mayor Inf Paulus Pandjaitan.
Mayor Inf Paulus Pandjaitan baru saja lulus dari Pendidikan Seskoad USA (US Army Commanding General and Staff College / US Army CGSC) di Fort Leavenworth, Kansas.
Mayor Inf Paulus Pandjaitan lulus dengan predikat memuaskan.
Yang membuat Luhut bangga pada anaknya itu, Mayor Inf Paulus Pandjaitan adalah satu-satunya perwira TNI di luar Akademi Militer (Akmil) yang lulus Seskoad di Amerika Serikat.
Mayor Inf Paulus Pandjaitan lulus bersama dengan dua koleganya, yaitu Mayor Inf Alzaki lulusan Akmil Tahun 2004, dan Mayor Arm Delli Yudha Adi Nurcahyo lulusan Akmil Tahun 2004.
"Sebagai seorang ayah, ada kalanya keinginan kita bertolak belakang dengan cita-cita anak. Contohnya yang terjadi 20 tahun silam, ketika saya melarang anak laki-laki saya Paulus yang sangat ingin menjadi prajurit TNI seperti bapaknya.Singkat cerita, kemauan keras Paulus akhirnya menjadikan dia seorang tentara jua," tulis Luhut.
"Bahkan pada tanggal 14 Juni kemarin Mayor Inf. Paulus Pandjaitan telah berhasil menyelesaikan pendidikan Seskoad-nya (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) di US Army Commanding General and Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat," lanjutnya
Dia pun bercerita bahwa dia hadir saat anaknya ketiganya lulus dalam rangka memenuhi kewajibannya sebagai orang tua. "Saya hadir di acara pelantikan tersebut dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai orang tua,"ujarnya.
Luhut pun bercerita bahwa ada momen yang membuatnya sampai harus meneteskan air mata dan teringat soal perjuangan anaknya untuk menjadi tentara.

"Ada satu momen di sana yang tidak akan pernah terlupakan yaitu ketika anak laki-laki saya itu berkata, “Pa, saya sudah selesaikan Seskoad saya.” Ucapan yang mungkin biasa saja ketika didengar oleh orang lain.
Tapi bagi saya kata-kata itu cukup membuat air mata menitik. Ada rasa haru yang bercampur bangga di situ.
Ingatan saya kemudian membawa saya kembali ke tahun 1999 di mana Paulus yang baru lulus SMA, sampai datang mengejar saya yang waktu itu sedang bertugas menjadi Duta Besar RI di Singapura.
Dia memohon-mohon supaya diperbolehkan masuk Akademi Militer. Tapi saya berkata tidak.
Saya tahu bahwa saya sangat keras menentang kemauannya sampai dia menangis pada ibunya. Tapi saya tetap bersikukuh supaya Paulus menjadi sarjana saja.
Di balik itu sikap tegas itu sebenarnya saya menyimpan rasa sedih yang mendalam untuk anak saya.