RUU Pilkada
Kembali ke Orba atau Survive di Masa Reformasi Pemanis Isu UU Pilkada
Isu sensitif mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada) sedang hangat diperbincangkan.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, JAKARTA - Isu sensitif mengenai pemilihan kepala daerah (Pilkada) sedang hangat diperbincangkan. Sebagian besar anggota DPR RI menginginkan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan di DPRD. Praktik seperti ini berlangsung lama, pada Orde Baru.
Gerakan mahasiswa 1998 berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto bersama kekuatan Golongan Karya dan ABRI, yang berkuasa lebih dari 32 tahun.
Setelah rezim Orba tumbang, muncullah era reformasi, yang antara lain ditandai adanya pembaharuan kekuasaan, dari sentralistik di pemerintah pusat menjadi otonomi daerah berfokus di daerah tingkat dua, kabupaten dan kota.
Bergeserlah kekuasaan terpusat di Jakarta ke daerah-daerah, hingga di pelosok negeri. Selanjutnya, praktik pemilihan 'kucing dalam karung' terhadap kepala daerah yang kerap dilakukan di ruang gelap di bilik-bilik DPRD, pun akhirnya berubah menjadi terbuka. Pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, bukan lagi hak istimewa hanya puluhan sampai seratusan anggota DPRD, melainkan menjadi hak semua rakyat melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah langsung. One man one vote.
Jika hari-hari ini, sebagian anggota DPR RI hasil Pemilu 2009 akan memaksakan perubahan ini, apakah jadinya? Apakah mereka ingin bernostalgia ke praktik Orde Baru?
Pengamat politik, Burhanuddin Muhtadi, Senin (8/9/2014) dalam siaran salah satu televisi mengatakan, "Pembahasan Undang-undang Pilkada ini sebaiknya ditunda. Sebab Undang-undang ini akan dipakai untuk pemerintahan yang akan datang, sedangkan anggota DPR RI yang sekarang ini sudah tidak pas, sebagain besar dari mereka tidak terpilih lagi pada Pemilu lalu."
Berdasarkan data yang dihimpun Tribunnews.com sebagian anggota DPR RI menghendaki pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, bukan lagi pemilu langsung. Berikut kalkulasinya:
1) Isu Pilkada Gubernur
Opsi A
Pemilihan Gubernur langsung seperti berlangsung pada era Reformasi didukung 196 anggota DPR dari empat fraksi yakni PDIP, Hanura, PKB dan PKS. Jumlah ini hanya 35 persen atau tidak memenuhi separuh dari 560 anggota DPRR.
Opsi ini didukung Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) 94 kursi, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 57 kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 28 kursi, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura) 17 kursi.
Opsi B
Opsi pemilihan di DPRD kembali ke praktik Orde Baru didukung 364 atau atau 65 persen dari 560 anggota DPR.
Opsi ini didukung Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 148 kursi, Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 107 kursi, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 46 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) 37 kursi, dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) 26 kursi.
2) Isu Pilkada Bupati/Wali Kota
Opsi A
Pemilihan Bupati/Wali Kota dilakukan secara langsung seperti berlangsung di era reformasi. Opsi ini didukung Fraksi PDIP, Hanura dan PKS dengan jumlah suara 168 atau 30 persen ari jumlah 560 anggota DPR RI.
Jumlah anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) 94 kursi, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) 57 kursi, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (F-Hanura) 17 kursi.
Opsi B
Pemilihan Bupati/Wali Kota dilakukan Anggota DPRD. Praktik serupa berlangsung pada Orde Baru. Opsi ini didukung 392 kursi atau 70 persen.
Fraksi pendukung adalah Fraksi Partai Demokrat (F-PD) 148 kursi, Fraksi Partai Golongan Karya (F-PG) 107 kursi, Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) 46 kursi, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) 37 kursi, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) 28 kursi, dan Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) 26 kursi.