EDITORIAL TRIBUN

Konflik Lampung: Antara Sun Tzu dan Machiavelli

Patgulipat, saling sikut, saling jegal, saling begal, dan perselingkuhan politik menjadi hal yang sangat lumrah terjadi pada hari-hari ini.

Penulis: Andi Asmadi | Editor: Andi Asmadi
ILUSTRASI 

EDITORIAL TRIBUN
Sabtu, 10 September 2016

PERANG adalah seni. Di situ ada taktik, strategi, dan juga feeling. Karena di dalamnya ada unsur kreasi dengan melibatkan faktor emosi dan pikir, itulah mengapa kemudian strategi perang yang disusun oleh filsuf Tiongkok, Sun Tzu, disebut sebagai "Seni Perang". Buku yang membahas mengenai taktik dan strategi perang ala Sun Tzu pernah menjadi best seller dan hingga sekarang masih banyak dibahas, dan mungkin, banyak diterapkan.

Perang adalah politik. Di situ ada cara, siasat, dan juga upaya dengan tujuan untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan. Jika teori klasik Aristoteles mengatakan politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, maka perang adalah politik dengan cara yang lebih keras. Politik yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan atau kemenangan ditulis oleh Niccolo Machiaveli, filsuf Italia, lewat buku Il Principe (Sang Penguasa).

Apa yang sedang terjadi di Lampung sekarang ini sesungguhnya adalah perang. Tentu, perang tak selalu harus dimaknai sebagai konflik bersenjata. Konflik kepentingan, apalagi jika terkait kekuasaan, dengan melibatkan orang atau kelompok yang bertikai, sesungguhnya juga adalah perang.

Lalu, jika perang itu merambah ke ranah politik, maka pilihannya bisa dua: apakah menggunakan Seni Perang ala Sun Tzu atau menghalalkan segala cara ala Machiavelli. Keduanya bahkan bisa berjalan seiring, toh tujuan utamanya adalah untuk meraih kemenangan.

Situasi politik Lampung yang saat ini sedang dalam kondisi "perang", diakui atau tidak, tak lepas dari tujuan yang lebih besar, yakni Pilkada Lampung 2018, dan kemudian tujuan yang lebih besar lagi, Pilpres 2019. Segala cara, segala upaya, segala taktik, dan segala strategi dilakukan untuk meraih kursi Lampung 01 dan juga untuk kepentingan kursi RI 1.

Akan halnya Pilkada Lampung 2018, proses demokrasi ini melibatkan banyak pihak dan kepentingan. Di situ ada pejabat yang sedang berkuasa (incumbent) yang tentunya ingin memperpanjang "masa pengabdian" hingga periode kedua. Di situ ada figur lain yang memiliki ambisi besar untuk merebut kekuasaan. Di situ juga ada partai politik yang ingin membentuk dominasi dengan mencengkeram kekuasaan melalui figur yang diusungnya. Kemudian, di ujung, ada rakyat yang sangat rawan dieksploitasi.

Patgulipat, saling sikut, saling jegal, saling begal, dan perselingkuhan politik menjadi hal yang sangat lumrah terjadi pada hari-hari ini. Maka, jangan heran ketika Partai Golkar Lampung, misalnya, sedang bergemuruh dengan munculnya surat penunjukan Pelaksana Tugas Ketua DPD I Partai Golkar Lampung, Lodewijk Freidrich Paulus, menggantikan Alzier Dianis Thabranie. Surat itu bertanggal 8 September 2016, ditandatangani oleh Ketua Umum DPP Setya Novanto dan Sekjen Idrus Marham.

Apakah konflik yang berkecamuk di Partai Golkar Lampung semata lahir dari internal partai? Bisa ya, bisa tidak, tetapi ujung-ujungnya tetap mengarah ke Pildaka Lampung 2018. Skenario perang nomor 3 yang termuat dalam koleksi sajak Sun Tzu, 36 Strategi, yakni "bunuh dengan pisau pinjaman", bisa menjadi sedikit gambaran. Tafsirnya, perdaya sekutu untuk menyerang musuh, sogok aparat musuh untuk menjadi pengkhianat, atau gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri.

Politik sudah nasibnya begitu, selalu dicitrakan negatif. Padahal, sesungguhnya politik bertujuan positif jika kita mengacu pada teori klasik Aristoteles. Bagi kita sebagai rakyat, "perang" yang terjadi di elite politik akan menjadi tontonan yang pada satu sisi menghibur, namun pada sisi lain menjadi memuakkan.

Perang itu akan menghibur manakala kita mencoba memahami bagaimana taktik dan strategi ala Sun Tzu diterapkan. Namun, akan memuakkan manakala dilakukan ala Machiavelli, yang oleh beberapa pemikir dinilai mengajarkan immoralism dan amoralism. Teori Machiavelli dianggap menghindar dari nilai keadilan, kasih sayang, kearifan, serta cinta, dan lebih cenderung mengajarkan kekejaman, kekerasan, ketakutan, dan penindasan.(****)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved