Di Hari Ibu, Anies Baswedan Ungkap Perjuangan Ibunda Saat Mengenyam Pendidikan, Begini Kata Netizen
Anies Baswedan salah satu tokoh yang juga ikut mengenang perjuangan ibunda di hari Ibu ini.
Penulis: Intan Hafrida | Editor: Intan Hafrida
Namun ayah Aliyah memiliki pemikiran bahwa perempuan harus sekolah hingga tuntas, sebuah pemikiran yang tidak banyak dimiliki orang pada saat itu.
Aliyah pun akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan SMA nya di Cirebon, Jawa Barat karena pada saat itu di Kuningan belum ada SMA.
Baca: Baru Hari Ke-1 Tayang, Ayat Ayat Cinta 2 Ditonton 200 Ribu Orang, Ini Komentar Para Penontonnya
Ibunda Anies itu pun sempat menjadi perbincangan warga di kampungnya karena meninggalkan rumah bukan untuk menikah, melainkan untuk sekolah.
Setelah tamat SMA, Aliyah berkeinginan melanjutkan sekolah ke bangku kuliah.
Cita-citanya untuk menjadi guru pun akhirnya terpenuhi selepas Aliyah lulus dari Unpad jurusan Pedagogi, yang mana kala itu Ibunda Anies adalah perempuan pertama yang menjadi sarjana di keluarga besarnya.
Hingga kini, Ibunda Anies masih aktif mengajar, membimbing disertasi dan masih terus dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan.
Bagi Anies, Ibunya adalah contoh efek perubahan dari visi kesetaraan kesempatan dalam pendidikan.
"Ini adalah ttg Ibu. Namanya Aliyah. Lahir dan besar di kaki gunung Ciremai, di Kuningan Jawa Barat. Saat lulus SMP, di Kuningan belum ada SMA. Ayahnya menitipkan pada kerabatnya di Cirebon spy anak perempuan ini bisa meneruskan SMA.
Saat itu sempat jadi bahan “omongan” di kampungnya karena seorang anak perempuan “meninggalkan” rumah bukan karena menikah tapi karena sekolah. Diantar kakak laki2nya, Ibu naik oplet ke Cirebon. Selesai SMA, ia ingin jadi guru dan diterima di Unpad jurusan Pedagogi yg kemudian menjadi IKIP Bandung. Tahun 1965, Ibu, seorang anak perempuan yg dulu digunjingkan di kampung itu, menjadi anak pertama dalam sejarah keluarga besar yg pernah ikut wisuda jadi Sarjana. Sebuah lembaran baru bagi seluruh keluarga.
Sejak itu Aliyah mengajar di IKIP Bandung hingga mutasi ke IKIP Yogyakarta karena menikah dgn Ayah, Rasyid Baswedan, seorang pria dari Jogja. Mereka berdua sama-sama dosen. Ibu masih mengandung anak pertamanya, yaitu saya, ketika harus bolak-balik Yogya-Bandung karena sudah menikah tapi masih harus mengajar di Bandung.
Hingga kini, 52 tahun kemudian, Ibu masih mengajar, masih membimbing disertasi dan masih terus dalam berbagai kegiatan sosial & keagamaan. Anak angkatnya, umumnya dari daerah2 yg bersekolah di Yogya. Mereka kini ada di mana2, bahkan salah satu anak angkatnya di Sorong, Papua Barat sana membuat Masjid dan pusat kegiatan dengan dinamai: Aliyah. Bersyukur bbrp waktu yg lalu sempat antar Ibu menengok dia, yang kini telah jadi “orang” di tanah asalnya di Papua.
Ibu adalah pendidik pertama, pendidik terutama. Dari Ibu mengalir cinta, kasih, dan doa yg tanpa batas.
Ibu adalah contoh efek perubahan dari visi kesetaraan kesempatan dalam pendidikan. Kakek adalah seorang yg amat sederhana, hidup di kota kecil & dingin di kaki gunung, kesehariannya adalah usaha sarung tenun tradisional di rumah. Tidak ada banyak bacaan. Tapi ia rutin dengarkan radio, ia dengarkan tamu2 dari jauh bertutur tentang kemajuan, ttg perubahan. Ia berkesimpulan: perempuan harus sekolah hingga tuntas.
Itu sesungguhnya adalah kisah perubahan. Memberikan kesempatan belajar pada perempuan memiliki dampak lintas generasi.