Pelebaran Jl Indra Bangsawan, Begini Tanggapan dari Akademisi
menyatakan harga tanah pada dasarnya memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang tertera di PBB.
Penulis: Eka Ahmad Sholichin | Editor: soni
Laporan Reporter Tribun Lampung Eka A Solihin
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Akademisi Fakultas Ekonomi Universitas Bandar Lampung (UBL), Erwin Octavianto menyatakan harga tanah pada dasarnya memiliki nilai jual objek pajak (NJOP) yang tertera di PBB.
"Jadi, kalau ingin mengacu harga tanah yang diakui oleh pemerintah, melalui NJOP tersebut dalam hal mengganti rugi/untung dari aspek penjualan tanah yang ada," tuturnya, Jumat (8/2/2018).
Baca: Pemkot Bandar Lampung Bahas Usulan Perwali Perlindungan Perempuan PRT
Kemudian, baru menghitung kaitan dengan bangunannya. Bangunan di lokasi jalan seperti Jl. Indra Bangsawan, ada apa saja dan jika terkena pelebaran maka dihitung per meternya.
"Bangunan ini juga harus dilihat dari aspek permanen dengan semi permanennya. Misalnya, ketika bangunannya tersebut berbahan bata tentu lebih mahal harga penggantiannya jika dibandingkan ketika bangunannya hanya berbahan kayu," terangnya.
Di samping itu juga, dalam hal ini mempertimbangkan aspek-aspek seperti ruang milik jalan (rumija) dan ruas badan jalan (ruanja). Yang ada saat ini seperti di Jl. Indra Bangsawan, rumah-rumah warga yang berada di pinggir-pinggir jalan.
Baca: Pilgub Lampung 2018, KPU Sudah Coklit 3.341.122 Calon Pemilih
Mereka (warga) sebenarnya tidak memahami bahwa Rumija jaraknya harus enam meter bebas dari jalan saat ini, yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan lahan di sana. Namun persoalannya adalah masyarakat belum banyak yang paham. Ketidakpahaman ini yang membuat mereka merasa paling benar.
"Dan salahnya pemerintah kota (Pemkot) tidak memberi tahu terlebih dahulu berupa sosialisasi dan juga solusi yang baik dan benar sebelumnya. Sehingga, ketika adanya pembangunan tiba-tiba mau dibangun sesuatu di lokasi tersebut mereka meminta harga lahan yang notabenenya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan," jelasnya.
Lanjut Erwin menerangkan seharusnya ada yang namanya rumija itu gratis namun pemkot tidak menginginkan dengan membongkar lahan tanpa adanya ganti rugi, dsb.
"Tentu kaitannya dengan ini, pemkot pada prinsipnya sudah benar ketika berbicara penggantian melalui NJOP, namun kembali lagi karena masyarakat tidak memahami soal itu," katanya.
Kalau permasalahan sudah seperti ini pada dasarnya tidak bisa saling 'ngotot' siapa yang benar dan siapa yang salah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan duduk bersama tidak hanya dihadiri tokoh masyarakat saja tapi juga masyarakat yang terkena lahannya akibat pelebaran jalan.
"Karena selama ini masyarakat selalu mengeluh tidak diikutsertakan ketika ada sosialisasi penggantian lahan. Sehingga Ini harus di-clearkan dengan cara memanggil semua pihak-pihak terkait di sana," ujarnya.
"Pada dasarnya ini pendekatan sosial yang memang sangat rumit dibandingkan dengan pendekatan teknis. Kalau bicara pendekatan teknis dengan perhitungan biaya dan NJOP selesai, tapi kalau bicara pendekatan sosial maka perasaan yang bermain dan perasaan ini yang harus dijaga," tukasnya. (eka)