Kisah Polisi Hoegeng: Bikin Panas Bokong Para Gembong hingga Diburu Penculik
Tahun 1958, sore menjelang magrib. Mobil sedan hitam keluar dari Kota Medan menuju arah utara, Binjai.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Tahun 1958, sore menjelang magrib. Mobil sedan hitam keluar dari Kota Medan menuju arah utara, Binjai.
Meluncur melewati pegunungan yang penuh tikungan, sepi, di sekelilingnya hutan melulu.
Pengemudi berpakaian preman, sendirian saja di belakang setir, bersiul-siul menikmati udara sejuk dan keindahan alam. Padahal, ia ke Binjai bukan untuk berpiknik, tetapi dalam rangka berdinas.
Tiba-tiba, "Dorr...singgg..."
Kesunyian pecah oleh sebuah ledakan tajam yang menggema, memantul pada dinding-dinding pegunungan.
Tembakan yang terarah ke mobil itu nyaris menyerempet kaca depan.
Pengemudi mobil tersebut, Hoegeng, sadar ada bahaya. Dengan gerak reflek, ia menginjak rem. Ragu-ragu sejenak: pulang ke Medan atau maju terus.
Ada kemungkinan penghadangan lain di depan ataupun di belakang. Akhirnya, ia memutuskan melesatkan mobil, maju terus, kabur dengan kecepatan maksimal.
Selamatlah Hoegeng sampai ke Binjai. Namun di sana, ia sempat "dimaki-maki" rekan-rekannya.
Ia sudah berulang kali diperingatkan agar jangan suka keluar rumah sendirian, karena berbahaya bagi keselamatannya. Akan tetapi, ia selalu membandel.
Berantas Kriminalitas
Peristiwa itu terjadi ketika Hoegeng, saat itu berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, menjabat kepala Reserse Kriminal Kantor Polisi Sumatra Utara, di Medan, dari permulaan 1956 hingga 1959.
Dikutip dari Intisari-Online.com, kehadirannya di Sumut kala itu memanaskan bokong para gembong setempat. Tindakan yang pertama-tama dilakukan Hoegeng adalah memberantas perjudian, pemerasan, dan penyelundupan.
Kota Pantai Teluknibung masa itu adalah basis smokel (bandit penyelundup) yang sangat kokoh. Maka tak heran jika selama tugasnya di sana, Hoegeng dibenci.
Tak sekali itu Hoegeng terancam jiwanya. Sekali pernah akan diculik, bersama beberapa tokoh lain yang "tak disukai di daerah itu".
Setelah umpet-umpetan selama beberapa jam dengan para penculik, Hoegeng berhasil selamat.
Si Sepeda
Rumah Hoegeng bukan sebuah gedung besar nan kokoh, berpagar kekar, dengan penjaga berbedil plus ruang besar tempat menunggu.
Rumah Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia di Jalan Madura Nomor 8 itu terbilang mungil, dengan pekarangan depan yang kecil tetapi rapi terpelihara. Pintu garasi warna merah menyala menyambut setiap tamu yang datang dengan kesan riang.
Sosok Komisaris Jenderal Polisi Drs Hoegeng Iman Santosa kecil tetapi gesit. Sama sekali tak kekar atau tegap, seperti umumnya Panglima Angkatan.
Di antara rekan-rekannya, perawakan "Pak Hoegeng" ibarat sebuah sepeda di tengah beberapa buah truk.
Kegesitan "sepeda" ini terlihat tatkala Hoegeng menjadi inspektur upacara. Jika berjalan menuju mimbar, langkahnya pendek-pendek cepat, langsung, dan lurus seperti hendak menabrak apa saja yang melintang di jalan.
Hoegeng anak Pekalongan. Berbahasa Jawa logat Bagelen. Lahir pada 14 Oktober 1921, dari keluarga Soekario Kario Hatmodjo.
Menjadi polisi memang cita-citanya sedari kecil. Sebagai seorang kepala jaksa, ayahnya punya banyak kenalan di korps kepolisian. Antara lain Komisaris Polisi Ating Natakusumah yang sering datang ngobrol ke rumahnya sore-sore.
Dari Ating inilah, si kecil Hoegeng acapkali mendengar cerita tentang pekerjaan-pekerjaan polisi. Antara lain "Pak Ating" sering berkata, "Apabila jadi polisi, kamu akan dekat dengan rakyat. Sebab, rakyat yang kesusahan selalu minta tolong kepada polisi."
Kata-kata itu rupanya meresap dalam hati Hoegeng. Usai melewati Hollandsch Inlandsche School (HIS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), keduanya di Pekalongan, serta Algemene Middelbare School (AMS) di Yogyakarta pada tahun 1940, berkatalah ia kepada ayahnya, "Pak, saya mau masuk sekolah polisi."
Namun, untuk masuk kursus Komisaris Polisi seperti Ating, Hoegeng belum memenuhi syarat. Sebab, yang diterima hanya yang berijazah lebih dari AMS.
Paling-paling, Hoegeng hanya bisa masuk kursus Inspektur Polisi. Ia pun mau.
Akan tetapi, ada kesulitan lain. Ayahnya, seorang nasionalis yang "sombong" kepada Belanda. Ogah memohon-mohon ketika anaknya mendaftar. Hoegeng pun menemui banyak rintangan.
Hoegeng akhirnya menjadi siswa Rechts Hoge School (RHS) di Batavia. Namun, ia tak melepas cita-citanya untuk meneruskan ke kursus Komisaris Polisi, apabila telah menggondol titel Meester in de Sechten dari RHS.
Cuma dua tahun Hoegeng bersekolah di Batavia lantaran Jepang masuk Indonesia pada tahun 1942. RHS itu ditutup.
Hoegeng pun menganggur. Selama periode tak bersekolah ini yang berlangsung kira-kira tiga bulan, ia mencari duit.
Keliling ke Pati, Pekalongan, Semarang, dan sekitarnya, ia menjual buku-buku pelajaran bahasa Jepang. Selama masa itu, sempat pula ia bekerja sebagai penyiar radio di Semarang, meskipun cuma beberapa hari.
Hingga suatu hari keluar pengumuman: Jepang membuka kursus-kursus Inspektur Polisi di beberapa kota, antara lain di Pekalongan. Tujuan Jepang ialah membentuk polisi-polisi baru untuk menggantikan polisi-polisi Belanda yang semua sudah diinternir.
Hoegeng mendaftar. Bersama 180 pemuda di kotanya, ia ikut tes masuk.
Hanya 11 orang yang lulus, Hoegang termasuk di antaranya. Maka, pada tahun 1942 itu, mulailah ia untuk pertama kali menjalani pendidikan kepolisian.
Nyaris Batal Jadi Polisi
Sebetulnya, hampir saja "Pak Hoegeng" batal menjadi polisi. Ini karena dongkolnya ia terhadap si "Jepang" pimpinan sekolah kepolisian yang selalu membohongi siswanya.
Dalam pengumuman, dijanjikan siswa-siswa akan mendapat pangkat Nitto Keibu (Inspektur Polisi). Namun sewaktu lulus, ternyata cuma Nitto Torrisjemari Djunsa (Abripda).
Malah sesudah mendapat pendidikan tambahan setahun lagi di Sekolah Hop Agen di Sukabumi, Jawa Barat, cuma naik jadi Junsabutyo (Brigadir Polisi).
Kepala siswa-siwa digunduli licin ketika di Sukabumi itu. Seragamnya berwarna kelabu model jas tutup. "Persis macam gelatik," kata Hoegeng.
Bermacam-macam ulah dilakukan Hoegeng agar dikeluarkan dari sekolah. Sebab, untuk minta keluar sendiri, bisa dianggap "menghina Kaisar". Ini berat hukumannya.
Akal Hoegeng: kalau instruktur bertanya, "Tahu apa itu Perang Asia Timur Raya di Bougainville?"
Ia menjawab, "Tahu, tuan, tahu. Itu nama bunga yang bagus."
Apabila ditanya "Apa itu Perang Boxer?"
Jawabnya, "Oh, itu pemberontakan kaum petinju di Tiongkok."
Jawaban-jawaban yang konyol itu tentu saja membuat si guru sering naik pitam.
Keluarlah makian yang tak jarang dibarengi kemplangan kepala. Namun anehnya, Hoegeng selalu lulus.
"Malah waktu di Sukabumi, saya dapat ijazah istimewa," kata Hoegeng.
Rupanya, atasan sudah menetapkan siapa-siapa yang harus lulus, meskipun "bodoh".
Ditegur Gara-gara Seragam ALRI
Akhir tahun 1945, Hoegeng yang baru saja meletakkan jabatan sebagai Kepala Polisi Seksi II Djombang, sedang "cuti" ke rumah orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana, ia bertemu Komodor Natsir, orang kedua dalam Angkatan Laut Republik Indonesia.
Ia ditanya apakah sedang menganggur, lalu ditawari masuk ALRI. Meskipun sudah mengatakan bahwa pendidikannya kepolisian, tetapi Natsir tetap menawari bahwa Hoegeng bisa membantu membentuk Polisi Laut.
Di ALRI, pangkatnya menjadi Mayor. Namun, pangkat Mayor itu cuma bertahan lima bulan. Kedatangan Kanto (Sukamto Tjokrodiatmodjo), Kepala Kepolisian yang pertama, ke Yogyakarta, menamatkan semuanya.
Kanto menyuruh Hoegeng datang ke kantor menghadapnya menggunakan seragam Mayor ALRI-nya. Seragam itu memang membuat Hoegeng yang sombong terlihat gagah. Serba putih, pakai pedang, tiga strip emas di pundak.
Suara Kepala Polisi Negara menggelegar menegurnya, "Apa kamu tidak malu berpakaian begini, hah? Kamu kan pendidikan kepolisian. Tidak malu hah?"
Terkejut hati Hoegeng menerima apa yang tak diduganya. Namun, perlahan-lahan ia menunduk, mengerti maksud kata-kata "bekas" Komandannya.
Kanto kemudian menyuruhnya pulang tanpa berkata apa-apa lagi.
Hoegeng sendiri, setibanya di rumah, lantas menanggalkan seragam Mayor ALRI-nya. Ia kemudian menyatakan kepada Komodor Natsir minta berhenti dari jabatan Komandan Tentara Polisi Laut.
*) Tulisan ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 1969, dengan judul asli Panglima AKRI: Komdjenpol Drs. Hoegeng Iman Santosa. Ditulis oleh Edward Linggar G.