Ingat Buku-buku Karya Enny Arrow? Jadi Wabah Digandrungi Remaja, Bikin Orangtua Kelimpungan
Mewabahnya virus Enny Arrow di kalangan remaja memunculkan pertanyaan penting terkait seks
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Pada masanya, ”virus” Enny Arrow begitu mewabah di kalangan remaja Indonesia.
Virus ini kami gunakan untuk menyebut cerita-cerita porno stensilan yang bisa diperoleh dengan mudah di lapak-lapak buku pinggir jalan beberapa dekade yang lalu.
Enny Arrow sendiri adalah salah satu penulis buku jenis itu.
Harganya pun sangat terjangkau!
Mewabahnya virus Enny Arrow di kalangan remaja memunculkan pertanyaan penting terkait seks: bagaimana pendidikan seks yang seharusnya?
Soal bagaimana remaja kita, Jakarta pada khususnya, terpapar wabah Enny Arrow, Majalah Hai edisi Januari 1990 punya cerita khusus untuk Anda.
Baca: 7 Kebiasaan Aneh Tak Disangka-sangka yang Dilakukan Orang Kaya yang Benar-benar Tajir
Baca: Sering Diejek Wajahnya Tak Mulus, Cewek Ini Biarkan Jerawatnya Tumbuh, Lalu Hidupnya Berubah!
***
Rudy dan beberapa temannya, pelajar sebuah SMA di Jakarta, terjaring Operasi Wijaya Kusuma yang dilancarkan Pemda DKI dan kepolisian, penghujung tahun 1989.
Dari tas mereka, ditemukan beberapa buku porno. Di antaranya, karangan Enny Arrow. Saat memperoleh kabar tak sedap itu, sang ibu kontan berdebar jantungnya. Tersentak kaget. Buku yang bisa bikin merinding bulu roma itu rupanya sudah menjadi sumber informasi seks bagi dia.
Buku yang ditemukan di tas Rudy—tentu bukan nama sebenarnya—itu memang gila-gilaan.
Jangankan remaja, orang dewasa pun bisa terangsang membacanya. Hal-hal yang masih ditabukan, dienyahkan begitu saja. Celakanya, buku-buku porno itu sudah membanjir begitu rupa.
Informasi yang diperoleh saat itu menyebutkan, tirasnya berjumlah sejuta eksemplar lebih. Tiras yang fantastis, yang belum pernah dicapai oleh buku dan media pers apa pun yang terbit di Indonesia saat itu.
Dari Operasi Wiyata dan Wijaya Kusuma, bulan Juni dan Desember 1989 saja, berhasil disita 70.000 buku porno.
Setidaknya, itulah yang dikemukakan Kadispen Polri waktu itu, Kol Pol Jeanne Mandagi.
Dengan jumlah seperti ini, bisa dibayangkan bagaimana informasi liar yang tak jelas juntrungannya itu menghadang remaja.
Informasi pendidikan seks lainnya, yang disajikan lewat berbagai media massa—koran, majalah, dan film—secara berjelas-jelas pun tak sedikit yang sudah cenderung porno.
"Informasi seks porno itu seakan membanjir dan sulit dibendung," cetus Kartono Mohamad dalam diskusi tentang informasi seks, 6 Januari 1990.
Informasi seks, baik yang termuat dalam bentuk rubrik konsultasi, ulasan, atau foto yang kurang layak dan proporsional, menurut pimpinan majalah kedokteran Medika itu akan mengarah ke pornografi.
Padahal, informasi semacam itu masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Yang bisa diancam oleh pasal 281, 282, 532, dan 533 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Ditutup-tutupi
Yang dijadikan sasaran oleh penerbit dan pengedar informasi seks liar seperti Enny Arrow, dan media massa, sebagian terbesar memang remaja. Kelompok masyarakat terbesar, yang - terus terang saja - mudah tertarik dan terangsang oleh informasi seks.
Sesuai dengan perkembangan psikologisnya, remaja yang masih duduk di bangku SMTP, menurut Arif Rachma, kepala SMAN 81 Jakarta Timur waktu itu, memiliki minat dan keingintahuan yang besar terhadap informasi seks.
"Pembuat gambar atau tulisan porno di WC-WC atau sekolah, kebanyakan siswa SLTP," cetusnya dalam diskusi yang sama.
Pengaruh informasi liar ini lebih dominan. Karena remaja tak mendapatkannya dari sumber yang benar, antara lain buku porno.
Informasi semacam ini memang dicari remaja, "Karena informasi yang tersedia dianggap kurang memadai,” ungkap Alwi Dahlan, seorang ahli komunikasi, yang waktu itu menjadi asisten Menteri Negara KLH.
Seks, misalnya. "Di satu sisi dipandang sebagai hal yang penting diketahui. Karena menyangkut kelanjutan hidup manusia. Tapi di sisi lain, ada, hal-hal mengenai seks yang ditutupi," tambahnya.
Di sini, sebenarnya orangtua berperan buat memberikan informasi yang benar tentang seks. Dia mengingatkan agar orangtua mengikuti perkembangan jiwa remaja.
"Para remaja itu mendambakan keterbukaan berkomunikasi, antara dirinya dan orang dewasa," cetusnya.
JB Wahjudi, ahli komunikasi yang waktu itu menjadi pejabat di TVRI, sepakat dengan pendapat Arif.
"Tapi, untuk berkomunikasi secara terbuka tentang masalah seks dengan anak sendiri yang sudah remaja, saya tidak punya keberanian," ungkapnya.
Norma-norma yang tumbuh di dalam masyarakat, mendorong ketidakberanian orangtua untuk berkomunikasi soal seks kepada remaja.
Bahkan hal semacam ini juga terasa dalam forum-forum diskusi dan seminar seks. Para orangtua, menurut Yaumil, masih punya persoalan pokok untuk memberi pendidikan seks yang benar.
"Kita masih menganggap remaja itu tidak tahu apa-apa. Masih terlalu mentah untuk mengetahui ini dan itu. Lantas ada sikap, jangan kasih tahu, karena kalau dikasih tahu, efeknya jelek."
Kalau pun dikasih tahu, cuma sedikit. Padahal pada usia itu, remaja ingin tahu sekali.
Akibatnya, remaja memperoleh informasi yang salah.
"Orang lain yang bertujuan komersial, lantas memanfaatkan situasi ini untuk mengeruk keuntungan. Bukan untuk pendidikan," cetus Yaumil, dan dibenarkan Wahjudi.
Inilah, memang, yang dituju penerbit buku-buku stensilan. Kendati apa yang mereka tulis dan sajikan hanyalah sebagian kecil masalah seks.
"Mereka hanya menyajikan aktivitas fisiknya," ungkap Alwi Dahlan.
Hal ini makin mudah terjadi, karena di masyarakat kita, kata seks memang selalu diartikan atau berkonotasi aktivitas fisik tadi.
"Selain itu mereka juga dikelilingi informasi seks yang selalu mengaitkan kata seks dengan hubungan seks," cetus pimpinan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia saat itu.
Mitos Seks
Ada sesuatu yang membatasi remaja, untuk memperoleh informasi yang benar tentang seks. Sehingga ada bagian-bagian informasi yang ditutupi.
Karena itu, remaja - akibat norma-norma itu - tak bisa menguji informasi yang diterimanya. Malah, bagian yang tak bisa diuji, itu pun tak bisa diperoleh dengan jelas, sebagai informasi.
"Jadi, ada kekosongan informasi. Padahal di kalangan remaja, seks itu telah menjadi mitos," jelas Alwi Dahlan lagi.
Artinya, kalau seorang remaja mengetahui tentang seks lebih banyak, maka ia meraih posisi yang lebih tinggi dari teman-temannya. lnilah, menurutnya, yang menyebabkan buku-buku stensilan model karangan Enny Arrow menjadi laku keras.
"Buku-buku picisan itu mengisi kekosongan informasi," tegas Alwi lagi.
Selain itu, menurut Yaumil Agoes Achir, waktu itu dosen FPsi UI, arus informasi tentang seks yang datang ke remaja, ada yang benar, ada juga yang salah.
Misalnya blue film. "Itu kan bukan seks dalam arti yang normal, tapi abnormal. Yang dalam kehidupan nyata tak dilakukan oleh orang-orang yang sehat, dan beradab," cetusnya.
Jadi, seringkali informasi tentang seks yang diterima remaja itu justru memberikan pendidikan yang salah.
"Informasi palsu," tukasnya lagi.
Akibatnya, informasi pendidikan seks dan informasi seks yang bukan pendidikan tak berimbang. Di pihak lain, menurut Yaumil, ada tuntutan pengalihan perhatian remaja dalam soal seks ke kegiatan lain yang sehat.
"Soalnya, usia menikah di abad modern ini lebih tua dari sebelumnya. Konsekuensinya, kontrol dan pengekangan terhadap dorongan seksual yang sebetulnya alamiah tadi, terpaksa harus diperpanjang dan diperketat. Dilematik sekali..," ungkapnya.
Bagaimana tak dilematik?
"Di lain pihak, remaja mendapat serbuan informasi mengenai seks yang membeludak, dan makin mudah didapatkan. Sementara itu, usia pernikahan terpaksa diundur karena pekerjaan susah, pendidikan panjang, perjuangan untuk mempersiapkan keluarga itu sulit," cetus Yaumil lagi.
Beda dengan dulu. Begitu remaja cukup umur, ia dikawinkan oleh ortunya. "Itu menguntungkan untuk penyaluran seksual." (majalah hai/Habib Asyhad)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul: Ketika Virus 'Enny Arrow' Mewabah dan Menjangkiti Remaja-remaja Ibu Kota, Orangtua dan Psikolog pun Kelimpungan