Kisah Guru Honorer di Bandar Lampung, Mengabdi 10 Tahun Tapi Dibayar di Bawah UMK
Pengabdiannya selama 10 tahun juga sepertinya dinilai tidak menarik oleh pemerintah, sehingga statusnya masih tetap sebagai honorer.
Penulis: Bayu Saputra | Editor: nashrullah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tahunnya tidak membuat sejumlah guru honorer di Bandar Lampung merasakan perbedaan signifikan.
Mereka justru merasa kegiatan tersebut hanya seremonial yang "dinikmati" para guru PNS, guru yang sudah sejahtera secara materi.
Sementara guru honor, masih dibebani pekerjaan berat dengan bayaran per jam.
Baru kemarin, 2 Mei 2018, seantero negeri melaksanakan upacara Hardiknas.
Baca: Mobil Yaris Ringsek Tabrak Pembatas Underpass, Ini Kata Pengembang dan Polisi
Baca: 3 Mei Ada Perekaman dan Pencetakan Massal e-KTP di PKOR, Baca Syarat-syaratnya
Baca: Bapak-Anak Kompak Pesta Sabu di Rumah, Peran Si Anak Diungkap Rekan Residivis
Kegiatan yang seyogyanya menjadi momentum para guru dan murid merefleksikan diri.
Namun acara tersebut tidak terlalu "menarik" bagi Risa Azuria.
Menurut guru multimedia SMK Negeri 5 Bandar Lampung ini, memiliki alasan tersendiri.
Pengabdiannya selama 10 tahun juga sepertinya dinilai tidak menarik oleh pemerintah, sehingga statusnya masih tetap sebagai honorer.
Status honorer membuat Risa mengandalkan belas kasih komite sekolah.
Dengan masa kerjanya yang sudah satu dasawarsa, penghasilan Risa hanya Rp 1,5 juta per bulan.
Itu pun akumulasi dari komite sekolah Rp 1,4 juta dan tambahan Rp 100 ribu dari sekolah.
Penghasilan sebesar itu tentu masih sama dengan separuh nilai Upah Minimum Kota (UMK) Bandar Lampung tahun 2018 sebesar Rp 2,1 juta.
Sebab itu, Risa harus pintar-pintar membagi uang.
"Apalagi kondisi saat ini aku punya dua anak. Buat pengeluaran membeli susu saja sudah besar," ujarnya, Rabu (2/5/2018).
Risa berharap, pemerintah dapat mengkaji ulang dan memprioritaskan tenaga pendidikan seperti dirinya untuk dapat segera diangkat menjadi CPNS.
"Apalagi kami yang sudah mengabdi selama 10 tahun ini harus menjadi pertimbangan," harapnya.
Untuk tiba di sekolah, Risa mengendarai sepeda motornya sendiri.
Ia pun terkadang terbayang-bayang dengan risiko kecelakaan lalu lintas. Sebab jarak rumah ke sekolah lumayan jauh, 15 kilometer.
"Kalau normalnya memang 40 menitan ke sekolah, tapi karena saya mengendarai motor sendiri bisa lebih dari satu jam sampai sekolah," kata istri sales motor ini.
Thantasia Nangniva, guru honorer di SMKN 2 Bandar Lampung, juga mengaku diupah Rp 40 ribu per jam.
Beruntung, Thantasia mendapat jatah 32 jam sebulan sehingga ia bisa membawa uang Rp 1.280.000 tiap bulannya.
Meski uang segitu dirasakan belum adil untuk masa kerja enam tahun seperti dirinya, namun Thantasia syukur.
"Kebutuhan untuk mencukupi satu anak yang masih balita memang mahal, terutama susunya. Saya masih bantu suami yang bekerja di Pol PP Bandar Lampung," katanya.
Thantasia berharap, pada momentum Hardiknas pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib guru honorer dengan mengangkat mereka menjadi pegawai negeri.
Guru honorer lainnya, Nina Mareta yang pengajar di SDN 1 Sukabumi juga sudah 10 tahun mengabdi sebagai guru.
Penghasilan Rp 1,3 juta diperolehnya karena merangkap sebagai operator sekolah.
"Kalau dibilang cukup pastinya tidak, tapi alhamdulllah bulanan ini hanya mengandalkan gaji suami," katanya.
Nina pun berharap bisa diangkat menjadi PNS, terutama yang sudah mengabdi lama sebagai honorer seperti dirinya.
Ketua Forum Guru Honor Bersertifikasi (FGHB) Lampung Suprihatin mengatakan, jumlah guru honorer jenjang SMA saja sudah mencapai 6.500 orang.
Jumlah tersebut belum termasuk guru honorer di jenjang pendidikan lainnya.(bayu saputra)