Firasat Harmoko dan Patahnya Palu Sidang Jelang Tumbangnya Soeharto

Patahnya palu sidang itu terjadi saat Sidang Paripurna ke-5, penutupan sidang MPR, 11 Maret 1998.

Editor: nashrullah
Wikimedia/Creative Commons
Soeharto saat membacakan surat pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - "Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...," tutur Ketua DPR-MPR RI periode 1997-1999 Harmoko dalam buku "Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko".

Patahnya palu sidang itu terjadi saat Sidang Paripurna ke-5, penutupan sidang MPR, 11 Maret 1998.

Sidang tersebut menandai terpilihnya lagi Soeharto sebagai Presiden RI untuk ketujuh kalinya.

Seperti biasa, sebagai pemimpin sidang, Harmoko menutup sidang dengan mengetukkan palu sebanyak tiga kali.

Namun, hari itu, palu sidang patah saat diketukkan.

Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR.

Siti Hardiyanti Rukmana alias Mbak Tutut, putri sulung Presiden Soeharto, ada di barisan terdepan. Ia berhadapan langsung dengan kursi pimpinan dewan.

Kejadian tersebut sedikit mengguncang Harmoko. Sebab, insiden patahnya palu sidang baru kali pertama terjadi dalam sejarah persidangan MPR, yang telah berlangsung bertahun-tahun.

"Bahwa hati saya bertanya-tanya," ujar Harmoko.

Usai sidang, seperti biasa pula, Harmoko mendampingi Presiden Soeharto meninggalkan ruang sidang paripurna.

Pertanyan-pertanyaan dalam benaknya tak kunjung sirna saat Harmoko berjalan di atas karpet untuk mengantarkan Presiden Soeharto menuju lift di Gedung MPR-DPR.

Sesampainya di depan lift, Harmoko menyatakan permohonan maaf kepada Presiden Soeharto.

"Saya minta maaf, palunya patah."

Pak Harto hanya tersenyum sambil menjawab, "Barangkali palunya kendor."

Baca: Usai Terima Dana Bagi Hasil, Pemkot Langsung Lunasi Utang Jamkeskot di Rumah Sakit

Lengser Keprabon atau Keengganan

Sebenarnya, sepanjang tahun 1997, pencalonan Soeharto sebagai presiden ketujuh kalinya sudah menjadi diskursus publik.

Apalagi, ada keinginan dari Pak Harto yang diutarakannya kepada publik untuk lengser keprabon madeg pandito.

Publik pun mencari jawaban yang pas di balik ucapan tersebut.

Sebagian menilai Pak Harto tak ingin lagi dipilih menjadi Presiden.

Namun, Partai Golkar dalam peringatan hari jadinya pada Oktober 1997 menyatakan telah bulat mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden.

Soeharto lantas meminta agar pencalonannya diteliti lagi.

Baca: Pedagang Kaki Lima Boleh Berdagang di Trotoar hingga Lebaran, Setelah Itu Silakan Pindah

Dalam sambutannya sebagai ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Pak Harto menanggapi pencalonannya dengan ungkapan cerita pewayangan "Lengser Keprabon".

Dalam pidatonya, mantan Panglima Kostrad itu menyatakan bukan masalah baginya apabila rakyat sudah tidak memercayainya lagi sebagai pemimpin.

Soeharto saat membacakan surat pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998.
Soeharto saat membacakan surat pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (Wikimedia/Creative Commons)

"Saya akan menempatkan diri sebagaimana dalam falsafah pewayangan, yaitu lengser keprabon madeg pandito (pensiun menjadi pemimpin, akan menjadi begawan)," tutur Soeharto ketika itu.

Sementara di tingkat publik, pernyataan tersebut ditangkap sebagai keengganan Pak Harto menjadi Presiden lagi.

Bahkan, beberapa tokoh nasional memelopori perlunya suksesi kepemimpinan nasional pasca-Soeharto.

Satu tokoh yang vokal di antaranya adalah Amien Rais.

Pada periode itu pula, kritik-kritik tajam mengarah kepada pemerintah dan Presiden Soeharto.

Penyebabnya adalah krisis ekonomi tahun 1998 yang memunculkan gejolak sosial.

Harga kebutuhan pokok melambung, rakyat pun "menjerit".

Bank berguguran. Masyarakat berbondong-bondong menarik dananya dari bank.

Situasi itu diperparah dengan nilai tukar rupiah yang jeblok hingga Rp 16 ribu per dolar Amerika Serikat.

Devisa negara tergerus hanya tinggal 20 miliar dolar AS.

Adapun utang pemerintah mencapai 130 miliar dolar AS.

Baca: Seorang Ayah Berpangkat Kopral Beri Hormat ke Anaknya yang Jadi Letnan, Si Anak Nangis!

Presiden Soeharto lantas bekerja sama dengan International Monetery Fund alias IMF untuk mengatasi krisis ekonomi tahun 1998.

Namun, keputusan itu menyulut amarah publik hingga menciptakan ketidakpuasan yang memuncak.

Dalam hitungan bulan, krisis ekonomi kian kompleks lantaran disertai dengan krisis sosial dan politik.

Sementara itu, pada 11 Maret 1998, Soeharto dilantik ke-7 kalinya sebagai Presiden.

Firasat

Patahnya palu dalam Sidang Paripura ke-5 pada 11 Maret 1998 silam menandai terpilihnya lagi Soeharto, yang berpangkat Jenderal Besar TNI, menjadi Presiden.

Selaku orang Jawa, Harmoko terus bertanya-tanya tentang peristiwa yang ia alami. Apalagi, patahnya palu sidang baru kali itu terjadi.

Raut wajah Harmoko berubah saat menceritakan peristiwa tersebut. Ada firasat yang dirasakan oleh mantan Menteri Penerangan ini.

Baca: Ibu Ini Kaget Lihat Wajah Anaknya Penuh Gigitan Setelah Dititipkan di Tempat Penitipan Anak

Usai terpilih lagi menjadi Presiden untuk ketujuh kalinya, Soeharto dihadapkan dengan aksi-aksi demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan.

Mahasiswa menuntut reformasi pada 12 Mei 1998. Aksi demonstrasi yang kemudian berujung tragedi.

Mahasiswa Universitas Trisakti menuntut reformasi pada 12 Mei 1998. Aksi ini kemudian berujung pada tragedi.
Mahasiswa Universitas Trisakti menuntut reformasi pada 12 Mei 1998. Aksi ini kemudian berujung pada tragedi. (Julian Sihombing)

Firasat tak enak Harmoko lantas terjawab.

Hanya dalam 70 hari setelah peristiwa patahnya palu, 21 Mei 1998, Soeharto memutuskan mundur dari jabatanya lantaran desakan publik.

Perjalanan Soeharto sebagai Presiden RI selama 32 tahun pun patah bak palu yang diketukkan Harmoko.

Menurut Arwan Tuti Artha, penulis buku "Dunia Spritual Soeharto", patahnya kepala palu saat sidang paripura MPR/DPR ke-5 memang memberi isyarat patahnya perjalanan Pak Harto di tengah jalan.

Lengsernya Soeharto menandai munculnya era baru bernama Reformasi.

Era ini diharapkan mengembalikan demokrasi yang dianggap lenyap selama 32 tahun tatkala Orde Baru berkuasa.

Baca: Kisah Tragis Nirbhaya, Korban Pemerkosaan Paling Brutal di India

Dan hari ini, Senin (21/5/2018) reformasi genap berusia 20 tahun.

Artikel ini pernah tayang pada kompas.com. Baca artikel sumber.

(Yoga Sukmana/Gregorius Bhisma Adinaya)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved