Bus Rapid Transit di Bandar Lampung, Riwayatmu Kini

Bus Rapid Transit (BRT) di Bandar Lampung seolah "menghilang" dari jalan-jalan protokol.

Editor: Yoso Muliawan
Tribun Lampung/Eka Ahmad Sholichin
Bus Rapid Transit rute Rajabasa-Panjang melintasi Jalan Soekarno-Hatta, Bandar Lampung, Jumat (31/8/2018). 

LAPORAN REPORTER TRIBUN EKA AHMAD SHOLICHIN DAN BAYU SAPUTRA

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDAR LAMPUNG - Apa kabar Bus Rapid Transit (BRT) di Bandar Lampung? Pertanyaan ini muncul setelah moda transportasi massal itu seolah "menghilang" dari jalan-jalan protokol di Kota Tapis Berseri.

Pantauan Tribun Lampung, Jumat (31/8/2018), tak ada lagi BRT yang beroperasi di rute Rajabasa-Tanjungkarang-Sukaraja, Telukbetung. Begitu pula di rute Kemiling-Sukaraja dan Ir Sutami-Tanjungkarang.

Direktur Utama BRT Trans Bandar Lampung I Gede Jelantik mengakui operasional BRT telah menurun drastis. Dari total sekitar 7 rute, ungkap dia, armada BRT yang beroperasi kini tinggal di 2 rute. Satu di antaranya adalah rute Rajabasa-Panjang.

"Ya sekarang ini, BRT yang beroperasi hanya untuk rute Rajabasa-Panjang sebanyak 60 armada," kata Gede, Jumat (31/8/2018). "Itu pun Sabtu dan Minggu kami kurangi operasionalnya, karena anak sekolah dan pegawai libur. Sementara Senin-Jumat full pagi sampai sore," sambungnya.

Penyebab utama "menghilangnya" BRT, menurut Gede, karena menjamurnya angkutan online di Bandar Lampung. Pihaknya bahkan sempat melakukan survei untuk menghidupkan 2 rute. Namun hasilnya, beber dia, 2 rute itu sudah sulit hidup lagi karena angkutan online telah merajalela.

"Di dalam kota ini, bayangkan saja angkutan online sepeda motor (dari 2 aplikasi) sudah mencapai 12 ribu unit. Semenara angkutan online mobil sudah di angka 8 ribu unit," jelas Gede. "Kondisi ini sudah pasti membuat pendapatan turun. Bahkan bukan turun lagi, kadang-kadang enggak masuk sama sekali," sambungnya.

Atas kondisi tersebut, pihaknya pun berpikir ulang untuk mengembangkan usaha angkutan massal BRT.

"Sempat konsultasi dengan pemerintah daerah untuk menindaklanjuti lagi rute-rute yang pernah beroperasi. Tapi, kami berpikir lagi dengan adanya angkutan online. Bisa kita bilang, BRT sudah mati suri," ujar Gede.

Warga Pilih Angkutan Online

Sulemah, warga Jalan Pangeran Antasari, Kecamatan Sukarame, mengaku sudah ogah naik BRT. Ia lebih memilih angkutan online karena lebih cepat ketimbang BRT yang harus menunggu di halte.

Awalnya, Sulemah mengaku senang naik BRT lantaran nyaman dan tarifnya yang terjangkau. Namun, sejak ojek online hadir di Bandar Lampung, ia pun beralih ke angkutan online tersebut.

"Awalnya suka. Busnya luas busnya dan nyaman. Tapi karena ngejar waktu, makanya sekarang pakai ojek online. BRT ngetemnya kadang lama," tutur Sulemah.

Siti Aisyah, warga Kecamatan Sukabumi, menilai transportasi umum dan massal seperti BRT sekarang sudah tak lagi menjadi primadona. Masyarakat, menurut dia, lebih memilih tranportasi online karena cepat.

"Masyarakat kan cerdas. Kalau persaingan angkutan umum mau lebih kompetitif, ya pelayanan dan manajemennya harus lebih optimal," katanya.

Pendapatan Turun 40%

Romi, sopir BRT, mencurahkan isi hatinya terkait nasib BRT yang nyaris tinggal kenangan. Tahun-tahun sebelumnya, tutur dia, banyak warga yang memilih naik BRT.

"Tapi sekarang cuma segelintir orang yang naik BRT ini. Padahal, ongkosnya cuma Rp 6.000 dari Terminal Rajabasa ke Terminal Panjang," kata Romi, Jumat (31/8/2018).

Warga, menurut Romi, sekarang lebih memilih angkutan online yang cepat dan mudah aksesnya hanya dengan menggunakan ponsel. Tak pelak, Romi merasakan penurunan pendapatan setelah sepinya pengguna BRT, termasuk anak-anak sekolah yang juga sudah menggunakan ojek online.

"Biasanya, sebelum ada ojek online, bisa nutup setoran Rp 215 ribu per hari. Sekarang sudah susah," ujar Romi. "Anak-anak sekolah juga sudah naik ojek online."

Sopir BRT lainnya, Munir, merasa tersisih dengan hadirnya angkutan online lantaran pendapatannya menurun. Padahal, ia harus berbagi pemasukan antara setoran untuk manajemen dengan rezeki untuk keluarga.

"Dari catatan kami para sopir, pengurangan pendapatan mencapai 40 persen. Penumpang-penumpang beralih ke angkutan online. Sangat mencubit penghasilan kami," kata Munir.

Usulkan Pembatasan

Manajemen BRT Trans Bandar Lampung telah mengusulkan pembatasan angkutan online. Alasannya, angkutan online yang menjamur menyebabkan penumpang BRT turun drastis.

Direktur Utama BRT Trans Bandar Lampung I Gede Jelantik menjelaskan, pihaknya sudah mengajukan usulan tersebut ke Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda).

"Tapi, masih dalam proses. Angkutan online ini, kalau serentak dan secara keseluruhan menolaknya, bisa," kata Gede, pekan lalu. "Kemarin, ojek-ojek pangkalan bereaksi. Tapi, sampai kapan dan sampai mana tindak lanjutnya?" sambungnya.

Maraknya angkutan online, menurut Gede, tidak hanya berimbas pada transportasi massal seperti BRT. Bahkan, taksi-taksi turut terkena dampak.

"Taksi-taksi kan akhirnya ikut melebur, mau tidak mau ikut aplikasi (jasa angkutan online). Karena kalau enggak ikut, lama-lama habis," ujarnya.

Gede mengakui angkutan online menawarkan fasilitas yang lebih baik kepada masyarakat.

"Orang duduk santai di rumah, pesan lewat aplikasi, naik dari rumah, turunnya langsung di tempat tujuan," katanya.

Meskipun demikian, di tengah kendala yang ada saat ini, pihaknya tidak akan mundur dari pengelolaan BRT. Gede mengungkapkan, pihaknya sempat mengusulkan agar ada subsidi untuk penumpang.

"Sempat berbincang dengan pihak dinas perhubungan. Kami menyampaikan bahwa kami tidak akan mundur. Kalau bisa, ada perhatian dari pemerintah. Misalnya, dengan mengubah sistemnya," jelas Gede. "Kami sudah pernah mengajukan supaya ada subsidi untuk penumpang. Sama halnya dengan pemerintah menyubsidi rumah sakit untuk masyarakatnya," sambung Gede.

Upaya Bersama

Sementara Dosen Fakultas Teknik Universitas Bandar Lampung IB Ilham Malik menilai, stagnasi jumlah penumpang BRT terjadi karena penurunan kualitas pelayanan BRT itu sendiri. Masyarakat, menurut dia, umumnya menuntut ketepatan dan kecepatan waktu serta aksesibilitas.

"Pelayanan BRT sudah cukup baik dan memadai saat awal peluncuran. Sayang, pelayanannya kemudian menurun," katanya, Minggu (2/9/2018).

Ilham berpendapat, pengembangan transportasi massal harus secara bersama antara manajemen BRT dan Pemkot Bandar Lampung.

"Tidak harus berupa subsidi. Pemkot bisa mendukung pengembangan BRT melalui riset, evalusi, dan pendampingan. Kemudian, support (dukungan) kebijakan agar BRT dapat berkembang," ujar peneliti transportasi dan perencanaan kota di Pusat Studi Kota dan Daerah UBL ini.

---> Jangan lupa subscribe Channel YouTube Tribun Lampung News Video

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved