Pisang Plenet Pak Triyono, Kuliner Semarang yang Legendaris Sejak 1952
Satu di antara kuliner Semarang yang legendaris adalah pisang plenet. Menu pisang plenet Pak Triyono telah ada sejak tahun 1952, dan paling sering
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, SEMARANG - Satu di antara kuliner Semarang yang legendaris adalah pisang plenet.
Menu pisang itu bisa ditemui di warung angkringan milik Triyono.
Menu pisang plenet Pak Triyono telah ada sejak tahun 1952, dan paling sering dicari wisatawan saat ke Semarang.
Plenet dalam bahasa Jawa berarti dipencet atau dipipihkan.
Menurut Pak Triyono, jajanan pisang plenet yang telah menjadi kuliner Semarang melegenda tersebut, menggunakan bahan pisang kepok yang matang pohon.
Pisang jenis itu tidak terlalu lembek sehingga mudah diplenet.
Sebenarnya cara mengolahnya tak terlalu rumit.
• Warung Sate di Semarang, Warung Sate Pak Kempleng Tawarkan Kelezatan Khas Aroma Gula Aren

Setelah dikupas, pisang langsung dipanggang di atas bara api.
Kayunya bukan sembarang kayu melainkan kayu kesambi yang membuat pisang tidak mudah hangus.
Setelah dirasa cukup matang, pisang diangkat dan mulai diplenet di antara dua kaca ukuran 15 cmx15 cm.
Dengan lihai, Triyono cukup menekan satu kali saja sampai pisang menyebar dan berbentuk bulat pipih sempurna.
Tak sampai di situ, pisang yang telah diplenet itu dipanggang lagi agar matang menyeluruh.
Setelah itu, pisang baru diberikan varian rasa yang akan menambah kenikmatan.
Di angkringan pisang plenet Pak Triyono, terdapat beragam rasa, antara lain selai nanas, gula halus, cokelat, susu cokelat, dan keju.
NOVA sempat mencicipi pisang plenet rasa cokelat dan selai nanas.
Saat pertama kali menggigitnya, tekstur pisang terasa kesat dan legit namun tidak terlampau manis.
Saat berpadu dengan cokelat yang lumer di dalam mulut dan berbaur dengan rasa asam selai nanas, kamu akan merasa ingin makan lagi dan lagi.
Pisang ini paling enak disajikan panas-panas.
Makannya di angkringan sambil menikmati suasana Kota Semarang.
Awalnya, dia berjualan pisang plenet sambil berkeliling kota.
Sampai akhirnya, ia menetap sekitar tahun 1962 di Jalan Pemuda, Semarang.
Sebenarnya, usaha kuliner pisang plenet Pak Triyono sudah turun temurun dijalankan oleh keluarga Triyono.
Sebelumnya, Mbah Javar, yang tak lain adalah kakek dari Triyono, adalah orang yang pertama kali menjualnya.
Usaha tersebut lalu diturunkan kepada anaknya Mbah Turdi, baru kemudian kepada Triyono.
Sampai sekarang, Mbah Turdi pun masih aktif berjualan.
Di usianya yang menginjak 80 tahun, ia masih kuat dan tetap bersemangat menjajakan pisang plenet warisan ayahnya.
Setiap hari, Mbah Turdi dan anaknya, Triyono, bergantian untuk berjualan.
Selanjutnya, tongkat estafet warisan pisang plenet perlahan mulai diperkenalkan kepada anak kedua Triyono, yang berniat mengembangkan cabang pisang plenet Pak Triyono yang telah menjadi kuliner Semarang melegenda tersebut.
“Iya, saya gantian sama Bapak. Kalau saya pagi, habis itu malam digantikan sama Bapak jualannya,” ujar Triyono.
Meski camilan manis itu posisinya mulai tergeser akibat menjamurnya berbagai camilan kreasi masa kini, karena keunikannya, pisang plenet telah berhasil mendapatkan ruang di hati masyarakat.
Buktinya, menu itu masih banyak dicari oleh mereka yang ketagihan.
Bahkan, pembeli sampai mengantre, terutama saat malam hari.
Angkringan pisang plenet buka mulai pukul 10.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB.
Cukup dengan Rp 10.000, kita sudah bisa menikmati satu porsi kudapan legendaris dari Semarang itu.
Selain di Jalan Pemuda, pisang plenet Pak Triyono bisa ditemui malam hari di kompleks Semawis, Semarang.
Kuliner Semarang yang Legendaris Lainnya
Selain pisang plenet Pak Triyono, ada tiga kuliner Semarang lainnya yang juga melegenda.
Apa saja?
Berikut, ulasannya.
1. Nasi Pindang
Kuliner ini berupa gulai daging dengan paduan rempah khas bersantan.
Meski sebenarnya kuliner ini khas Kudus, Jawa Tengah, nyatanya Nasi Pindang & Soto Sapi Gajah Mada telah eksis di Semarang sejak 1989.
Di daerah asalnya, nasi pindang khas Kudus berisikan daging kerbau karena sapi dahulu disucikan oleh masyarakat adat di sana.
Sedangkan, daging sapi pada masa penjajahan lebih diperuntukkan untuk kolonial Belanda, dan bangsawan.
Sepintas, menu ini sangat mirip rawon surabaya atau nasi gandul khas Pati, hanya saja cita rasa daun melinjonya menjadi pembeda.
Kuahnya yang keruh, terasa gurih santan dan rempah lainnya, terutama kluwak.
Masyudi Naspin (53), sang pemilik mengatakan kedai ini menggunakan daging leher dan daging tipis yang menempel di rusuk sapi untuk pindang dan sotonya.
Bagi yang ingin mencobanya, kamu bisa berkunjung ke kedai Nasi Pindang Kudus dan Soto Sapi di Jalan Gajahmada nomor 89B, Semarang, Jawa Tengah.
Kamu juga bisa ke dua cabangnya yang tersebar di Semarang, semuanya buka mulai pukul 06.00 WIB–pukul 22.00 WIB.
2. Toko Oen
Restoran dengan konsep indis ini dimulai sejak tahun 1922 di Yogyakarta tetapi yang bertahan hingga saat ini justru cabang Semarangnya yang dimulai sejak 1936.
Restoran Toko Oen beralamat di Jalan Pemuda 52, Kota Semarang, memiliki berbagai menu makanan yang khas, percampuran Eropa, Jawa, dan sedikit Tionghoa.
Dalam bangunan yang ditaksir berdiri sejak 1910 itu, kamu akan melihat arsitektur warisan kolonial Belanda otentik.
Barisan kursi kayu, perabot tua, dan bingkai-bingkai klasik menghiasi tempat ini.
Pengunjung seakan dibawa kembali ke masa lalu.
Beberapa hidangan yang khas di sini mulai dari bistik lidah sapi, lumpia semarang, wafle, Es Krim Toko Oen, hingga kue lidah kucing yang merupakan resep dari Eropa.
Kamu bisa mengunjunginya antara pukul 09.00 WIB-pukul 21.00 WIB, di Jalan Pemuda No. 52, Semarang Tengah.
3. Kepala Manyung Bu Fat
Siraman kuah panas dengan potongan cabai rawit yang melimpah di atas ikan asap gurih.
Kamu bisa menemukan sensasinya di Kepala Manyung Bu Fat, yang berdiri sejak 1969.
Bagi yang gemar masakan pedas, salah satu kuliner yang melegenda di Semarang ini patut jadi menu makan siang kamu.
Ya, Mangut Ikan Manyung ala Bu Fat.
Ikan manyung merupakan ikan laut yang dagingnya biasa digunakan untuk ikan asin jambal roti.
Gurih dan padat dagingnya menjadi alasan rumah makan ini mengolah kepala dan daging ikan untuk diasap dan diolah dengan bumbu ala Bu Fat.
Hidangan favorit di sini justru bagian kepala ikan yang berukuran sebesar bola sepak, kepala manyung ini bisa untuk tiga sampai lima orang.
Daging kepala ikannya terasa lembut, tapi padat, ada beberapa bagian yang kenyal.
Kuah ala Bu Fat dengan cabai dan rempah yang kaya memberikan cita rasa khas yang bikin berkeringat dan ketagihan.
• 6 Rekomendasi Warung Sate Taichan di Semarang, Harga Mulai Rp 10 Ribu
Satu porsi kepala manyung, dijual seharga Rp 75.000-Rp 150.000 dengan berat mencapai dua kilogram.
Bagi kamu yang mau mencicip cita rasa yang legendaris ini, bisa berkunjung ke tiga lokasi Resto Kepala Manyung Bu Fat, antara lain di Jalan Sukun, Banyumanik, dan Jalan Ariloka, Krobokan Semarang Barat, pukul 07.00 WIB-pukul 19.00 WIB.
Sedang berwisata ke Semarang, jangan lupa untuk mampir dan menikmati kuliner-kuliner Semarang yang melegenda.
Artikel ini telah tayang di Nova.Grid.id dengan judul Eksis Sejak 1952, Ini Dia Pisang Plenet Legendaris di Semarang, Unik! dan Kompas.com dengan judul 5 Kuliner Legendaris Semarang yang Wajib Dicoba