Ternyata BJ Habibie Pertama Kali Bertemu Soeharto Saat Berusia 13 Tahun, Peristiwa Ini Penyebabnya
Sebelum menjabat sebagai Presiden ke-3 RI, BJ Habibie menjadi wakil presiden saat Soeharto menjabat Presiden ke-2 RI.
Penulis: Beni Yulianto | Editor: Ridwan Hardiansyah
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Presiden ke-3 RI - Bacharudin Jusuf Habibie meninggalkan kesan mendalam.
BJ Habibie meninggal pada Rabu (11/9/2019).
Sebelum menjabat sebagai Presiden ke-3 RI, BJ Habibie menjadi wakil presiden saat Soeharto menjabat Presiden ke-2 RI.
Ternyata, keduanya telah bertemu jauh sebelum sama-sama bergelut di ranah politik.
Hal itu sebagaimana dikutip Intisari Online dari arsip Majalah Bobo dalam artikel berjudul BJ Habibie Dari Jalan Bau Massepe ke Jalan Merdeka Selatan.
Habibie cilik tidak lama tinggal di Parepare.
Tugas sang ayah sebagai kepala Jawatan Pertanian Sulawesi Selatan, membuat keluarganya pindah ke Makassar.
Kebetulan saat itu, Overste Soeharto bertugas sebagai Komandan Brigade III Garuda Mataram, untuk menumpas pemberontakan Andi Aziz.
• Detik-detik Presiden Soeharto Lengser, BJ Habibie Bicara Tegas: Saya Bukan Pengecut!
Markas Pasukan Brigade III berada di depan rumah Habibie di Jalan Klaperlaan.
Soeharto pun sering berkunjung ke rumah Habibie.
Saat itu, rumah keluarga dipakai untuk rapat ketika Habibie masih kecil.
Suatu malam, di tahun 1950, ayah Habibie meninggal dunia.
Ayah Habibie meninggal saat menjalankan salat Isya.
"Ya, waktu itu, saya baru berusia 13 tahun, cuma bisa menangis," kenang Habibie.
"Pak Harto memeluk saya, sembari berkata: Bib, bapakmu orang baik, meninggal sewaktu sholat," katanya.

Bahkan dikatakan, Pak Harto adalah salah seorang yang menutup mata ayah Habibie.
• Kisah Eks Ajudan BJ Habibie, Bawa Senjata Lengkap Jaga di Kolong Tempat Tidur
Namun, sejak saat itu, Habibie tidak pernah bertemu lagi dengan Soeharto.
"Mungkin mereka kembali ke Jawa. Karena setelah Andi Aziz tertangkap, praktis tidak ada tugas penting," jelasnya.
Hingga akhirnya, keduanya kembali bertemu kembali pada 1960-an ketika Habibie kuliah di Jerman.
Waktu itu, Soeharto belum menjadi Panglima Kostrad.
Bersama Ibu Tien, Soeharto sempat mampir ke tempat Habibie di Jerman dan membawa oleh-oleh dari ibu Habibie.
Habibie Bicara Tegas
Saat menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Presiden kedua RI Soeharto, Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie sempat ditanya terkait isu yang berkembang mengenai dirinya yang akan mengundurkan diri.
Dengan tegas, BJ Habibie menampik hal tersebut dan mengatakan bahwa dirinya bukanlah seorang pengecut.
Presiden ketiga RI, BJ Habibie meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto pada Rabu, 11 September 2019 pukul 18.05 WIB.
Pada September 2006 lalu, Habibie meluncurkan buku berjudul "Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi", terbitan THC Mandiri.
• Cerita Mantan Ajudan BJ Habibie, Sang Presiden Rela Pulang Lagi karena Lupa Minum Kopi Buatan Ainun
Dalam buku itu, Habibie di antaranya mengungkapkan kondisi menjelang Soeharto lengser dari kursi Presiden kedua RI.
Dan, peralihan kekuasaan kepada dirinya selaku Wakil Presiden RI.
Sehari menjelang pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, 20 Mei 1998, Habibie tengah mempersiapkan materi untuk dilaporkan kepada presiden.
Sesuai rencana, laporan bakal disampaikan di rumah pribadi Soeharto, kawasan Jl Cendana, Jakarta, pukul 19.30 WIB, 20 Mei 1998.
"Bahan masukan saya peroleh dari Sekretariat Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar."
"Perlu saya sampaikan bahwa Keluarga Besar Golkar terdiri dari Golkar, ABRI, dan Utusan Daerah."
"Masing-masing diwakili oleh Ketua Golkar, Panglima ABRI (Pangab), dan Menteri Dalam Negeri," tulis Habibie dalam Bab I buku Detik-detik yang Menentukan Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi.
Posisi Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar diberikan kepada Habibie dua kali, yaitu 1993 dan 1998.
Dalam mekanisme politik saat itu, peran Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar amat menentukan.
Keputusan untuk mengangkat Habibie sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar tanpa pengganti, diterima pada 31 Desember 1997 malam hari.
Saat itu, kondisi sedang tidak menentu akibat krisis ekonomi moneter di Thailand yang mulai terasa di Indonesia.
"Dalam keadaan yang tidak menentu dan kritis itu, timbul pertanyaan pada diri saya, mengapa justru saya yang mendapat kehormatan dan kepercayaan untuk menjadi Koordinator Harian tanpa pengganti," katanya.
Namun, ia tidak pernah berhasil mendapat jawaban atas pertanyaan ini, begitu pula alasan dan maksud tujuannya.
Kabinet Pembangunan yang dibentuk setelah Sidang Umum (SU) MPR, merupakan hasil penilaian dan analisis presiden terpilih bersama Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.
Seperti yang dialami Habibie pada 1993, bukan wakil presiden terpilih yang diajak presiden terpilih untuk bersama menyusun Kabinet Pembangunan, melainkan Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar.
"Kunjungan saya ke kediaman Presiden Soeharto di Cendana, adalah dalam posisi sebagai Koordinator Harian Keluarga Besar Golkar, bukan sebagai wakil presiden."
"Kunjungan itu bersifat rutin dan biasanya dilaksanakan di tempat dan waktu yang sama," katanya.
Sewaktu Habibie sedang mempelajari laporan masukan dari tiga jalur, sekira pukul 17.00 WIB, ajudan Kolonel (AL) Djuhana melaporkan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita minta berbicara melalui telepon.
Dalam kesempatan itu, Ginandjar melapor Menko Ekuin bersama 13 menteri yang berada dalam koordinasinya tidak bersedia lagi untuk duduk di dalam Kabinet Reformasi yang anggotanya sedang disusun.
Tetapi, sebagai anggota Kabinet Pembangunan VII, mereka akan tetap melaksanakan tugas masing-masing, sampai Kabinet Reformasi terbentuk.
"Apakah Anda sudah bicarakan dengan Bapak Presiden?" tanya Habibie.
Jawaban Ginandjar, "Belum, tetapi keputusan itu sudah ditandatangani bersama sebagai hasil rapat kami di Bappenas dan sudah dilaporkan secara tertulis, kepada Bapak Presiden, melalui Tutut, putri tertua Pak Harto."
"Mengapa harus begini," tanya Habibie kepada Ginandjar soal sikap 14 menteri itu.
Para menteri yang tidak bersedia menjabat lagi itu, antara lain Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, dan Sumahadi.
• Jenderal Polisi Terpilih Jadi Ketua KPK, Cerita Irjen Firli Bahuri Jualan Spidol Agar Bisa Sekolah
Setelah menerima laporan Ginandjar, sekira pukul 17.45 wib, ajudan melaporkan Menteri Keuangan Fuad Bawazier terus mendesak untuk melaporkan sesuatu yang penting.
"Apakah isu yang berkembang, bahwa Pak Habibie bermaksud mengundurkan diri sebagai wakil presiden itu benar?"
Saya jawab, "Isu tersebut tidak benar. Presiden yang sedang menghadapi permasalahan multikompleks, tidak mungkin saya tinggalkan. Saya bukan pengecut!"
Artikel ini sudah tayang di Intisari Online dengan judul beginilah-kisah-perkenalan-soeharto-dengan-bj-habibie-jauh-sebelum-bergelut-di-dunia-politik