Dandhy Dwi Laksono Pertanyakan Penangkapannya: Tidak Ada Klarifikasi, Langsung Penangkapan
"Apa iya ini kejahatan yang seurgen itu? Dipanggil di malam hari, tidak ada panggilan sebelumnya, tidak ada klarifikasi, jadi langsung tangkap."
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Sutradara dan jurnalis Dandhy Dwi Laksono menilai, tidak ada yang salah dari prosedur penangkapan pihak kepolisian terhadap dirinya pada Kamis (26/9/2019) malam.
Polisi, kata Dandhy, telah melakukan mekanisme penangkapan sesuai prosedur operasional standar.
"Tidak ada yang salah dengan prosedur. (Polisi) menunjukkan surat perintah, menunjukkan surat penangkapan, membacakan pasalnya, semua prosedurnya benar," kata Dandhy di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Jakarta Selatan, Jumat (27/9/2019).
Namun demikian, Dandhy mempertanyakan, apakah dugaan kejahatan yang ia lakukan sangat urgen sehingga polisi harus menangkapnya di malam hari.
Tidak hanya itu, penangkapan juga dilakukan secara sangat tiba-tiba, tanpa didahului dengan konfirmasi.
"Apa iya ini kejahatan yang seurgen itu? Dipanggil di malam hari, tidak pernah ada panggilan sebelumnya, tidak ada klarifikasi, jadi langsung penangkapan," ujar Dandhy.
• Kantor Pos Launching Pos Giro Mobile, Bisa Untuk Transaksi Pembayaran dan Transfer Uang
• Fahri Hamzah Dipanggil Jokowi dan Ditawari Jadi Dubes, Satu Ruangan Tertawa Semua
Dandhy mengatakan, cara negara dan polisi memperlakukan dirinya adalah mengejutkan.
"Ini yang saya pikir sangat mengganggu saya secara pribadi atau sebagai warga negara," kata dia.
Sebelumnya, Jurnalis yang juga aktivis hak asasi manusia Dandhy Laksono ditangkap polisi pada Kamis 27 September 2019 malam.
Sutradara film dokumenter Sexy Killers ini dijemput polisi menggunakan mobil yang menyambangi rumahnya.
Sempat menjalani pemeriksaan di kantor polisi, Dandhy kemudian ditetapkan tersangka dan diperbolehkan pulang.
Setelah menjalani pemeriksaan, Dandhy Laksono mengatakan, pemeriksaan terhadap dirinya dilakukan terkait postingan di twitter.
"Saya ditanyai terkait posting di Twitter, motivasi, maksud, siapa yang menyuruh, ya standard proses verbal saya pikir," kata Dandhy kepada sejumlah awak media di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat 27 September 2019.
Penangkapan Dandhy Laksono memicu protes banyak kalangan, terutama jurnalis dan aktivis.
Sontak jagat maya dibanjiri protes netizen soal penangkapan Dandhy dengan menebar tagar #SaveDandhy dan #BebaskanDandhy hingga menjadi populer.
Apa alasan polisi menangkap jurnalis Dandhy?
Menurut Irna Gustiawati, penangkapan Dandhy Dwi Laksono disebabkan unggahannya di media sosial soal insiden di Papua
"(Polisi) membawa surat penangkapan karena alasan posting di media sosial Twitter mengenai Papua," kata Irna Gustiawati yang dihubungi Kompas.com pada Kamis malam.
Menurut kuasa hukum Dandhy Laksono, Alghifari Aqsa, Dandhy Dwi Laksono ditangkap polisi dengan tuduhan menebarkan kebencian berdasarkan SARA.
"Dianggap menebarkan kebencian berdasarkan SARA melalui media elektronik, terkait kasus Papua," ujar Alghifari Aqsa, yang dihubungi Kompas.com pada Jumat (27/9/2019) dinihari.
Secara spesifik, Dandhy Laksono dituding melanggar Pasal 28 Ayat (2) jo Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Namun, hingga saat ini belum diketahui terkait unggahan apa yang ditulis Dandhy Laksono di media sosial.
Alghifari Aqsa yang juga Direktur Eksekutif LBH Jakarta mengecam penangkapan Dandhy Laksono, apalagi dilakukan pada malam hari.
Penangkapan ini dianggap berlebihan, karena semestinya Dandhy Laksono dipanggil terlebih dulu sebagai saksi.
"Ini tindakan berlebihan. Kalau mau diambil keterangan, panggil saja sebagai saksi, kan bisa siang," ujarnya.
Dibawa mobil Fortuner
Kronologi penangkapan, menurut dia, bermula saat Dandhy Laksono baru tiba di rumah sekitar pukul 22.30 WIB.
Sekitar 15 menit kemudian, terdengar pintu rumah digedor.
"Pukul 22.45 ada tamu menggedor pagar rumah lalu dibuka oleh Dandhy," ujar Irna Gustiawati.
Rombongan yang dipimpin seorang bernama Fathur itu kemudian mengaku akan menangkap Dandhy Laksono karena unggahan mengenai Papua.
Sekitar pukul 23.05, tim yang terdiri dari 4 orang membawa Dandhy Laksono ke Polda Metro Jaya dengan mobil SUV Toyota Fortuner bernomor polisi D 216 CC.
"Petugas yang datang sebanyak empat orang. Penangkapan disaksikan oleh dua satpam RT," ujar Irna Gustiawati.
Profil Dandhy Laksono
Dandhy Dwi Laksono dikenal publik sebagai pendiri WatchDoc, rumah produksi yang menghasilkan film-film dokumenter dan jurnalistik.
Sebagai sutradara, dia pernah membesut sejumlah film dokumenter yang dianggap kontroversial seperti "Sexy Killers" dan "Rayuan Pulau Palsu".
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia ini juga dikenal sebagai aktivis yang kerap mengkritik pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Pada tahun 2017, Dandhy Laksono pernah dilaporkan kepada polisi oleh Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) karena tulisan yang diunggah ke akun Facebook miliknya.
Tulisan itu dianggap menghina Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri sekaligus Ketua Umum PDIP.
Ditangkap 5 hari setelah diskusi tentang Papua dengan Budiman Sudjatmiko
Jurnalis sekaligus aktivis HAM Dandhy Laksono dalam sebuah acara debat dengan politisi PDIP Budiman Sudjatmiko terkait masalah di Papua, di auditorium Visinema, Jakarta Selatan, Sabtu (21/9/2019).
Penangkapan Dandhy Laksono terjadi selang 5 hari setelah dia debat dengan politikus PDIP Budiman Sudjatmiko soal referendum Papua.
Debat berlangsung, Sabtu (21/9/2019).
Dalam debat tersebut, Budiman Sudjatmiko berpendapat bahwa referendum bukan jalan terbaik bagi Papua.
Sedangkan, Dandhy Laksono menilai bahwa referendum bisa menjadi salah satu cara untuk mengakhiri konflik dan pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih.
Menurut Budiman Sudjatmiko, referendum malah berpotensi menimbulkan perpecahan dan menjadikan Indonesia terdiri dari negara kecil yang saling bertentangan.
Proses fragmantasi itu secara geopolitik dikenal dengan istilah Balkanisasi.
Ini merujuk pada perang saudara antara negara-negara pecahan Yugoslavia seperti Serbia, Bosnia, dan Kroasia.
"Jika dipaksakan yang paling mungkin kita hadapi adalah balkanisasi. Konflik horizontal," ujar Budiman Sudjatmiko.
"Konflik horizontal selalu menyisakan luka yang jauh lebih dalam daripada konflik vertikal," kata dia.
Kemudian, Dandhy Laksono menyoroti tentang pembebasan Papua dari kekuasaan militer atau demiliterisasi.
Ia berpendapat, warga Papua harus mendapatkan kembali ruang hidupnya tanpa kekerasan.
Menurut Dandhy Laksono, keberadaan aparat militer justru membatasi ruang gerak warga Papua dalam menyatakan pendapatnya.
"Yang penting sekarang adalah demiliterisasi. Mau cara apapun, konsep apapun, kalau 6.000 orang (militer) di-deploy ke sana, ya habis cerita. Jadi demiliterisasi itu wajib dilakukan dan mendesak," kata Dandhy Laksono.
Cuitan Budiman Sudjatmiko
Dandhy Laksono diperolehkan pulang setelah menjalani pemeriksaan selama sekitar 4 jam.
Seusai menjalani pemeriksaan, Dandhy mengungkapkan penangkapannya soal Papua.
Budiman Sudjatmiko melalui akunnya di Twitter @budimandjatmiko, Jumat (27/9/2019) pagi ini juga mengabarkan pembebasan Dandhy.
"Barusan @Dandhy_Laksono sudah diperbolehkan pulang," demikian kicauan Budiman Sudjatmiko merespon warganet.
• Prabowo Angkat Suara soal Rusuh Demo Mahasiswa: Tolonglah Aparat, Anda Milik Rakyat Indonesia Kan?
• Moeldoko Sebut Aksi Demo Mahasiswa adalah Nostalgia, Najwa Shihab Kaget: Ada Kesan Merendahkan Ini?
Dandhy Laksono diperiksa mulai sekitar pukul 01.00 WIB dan pemeriksaan selesai sekitar pukul 04.00 WIB.
Artinya, 3 jam lebih dia diperiksa polisi.
Dia kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Budiman Sudjatmiko sempat membesuk Dandhy Laksono di Mapolda Metro Jaya. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Dandhy Laksono: Apa Iya Ini Kejahatan yang Sangat Urgen?