Beda dengan Soeharto, Begini Kondisi Jenazah 7 Jenderal Korban PKI Menurut Tim Forensik

Banyak fakta tersembunyi belum terungkap terkait tragedi 30 September 1965 yang belum diketahui publik.

Penulis: Romi Rinando | Editor: taryono
Tugu Pahlawan Revolusi 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID – Banyak fakta tersembunyi  belum terungkap terkait tragedi 30 September 1965  yang belum diketahui publik.

Di antaranya terkait hasil utopsi jenazah para jenderal korban Gerakan 30 September/G30 S tersebut.

Dokter yang mengautopsi jenazah para korban Gerakan 30 September/G30S mengungkapkan, kondisi mereka tak seperti yang diberitakan media massa.

Beberapa jam setelah jenazah diangkat, Soeharto mengeluarkan perintah membentuk tim forensik, dikutip TribunWow.com dari TribunJabar, Minggu (29/9/2019).

Hal tersebut disebutkan dalam  sebuah buku berjudul "Soeharto, Bagaimana Ia Bisa Melanggengkan Kekuasaan Selama 32 Tahun?" karangan Peter Kasenda.

 Kisah Keluarga DN Aidit Pasca G30 S PKI, Ayahnya Ketahuan Meninggal Setelah 3 Hari

Kesaksian Keluarga - Kata-kata Terakhir Jenderal Ahmad Yani Sebelum Ditembak

Firasat Istri Jenderal AH Nasution Sebelum Peristiwa G30S/PKI Pecah

 

Perintah tersebut dikeluarkan oleh Soeharto beberapa jam setelah jenazah para korban diangkat dari lubang buaya.

Tim forensik itu terdiri dari Brigjen dr Roebiono Kertopati, dan Kolonel dr Frans Pattiasina.

Selain dua orang tadi ada tiga ahli forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Dr Sutomo Tjokronegoro, dr Laiuw Yan Siang, serta dr Liem Joe Thay.

Dalam buku tersebut tim tertulis bahwa tim forensic bekerja dari pukul 16.30 hingga 00.30 WIB di Ruang Otopsi RSPAD Gatot Soebroto.

Diketahui hasil autopsi terhadap jenazah para korban itu berbeda dengan apa yang Soeharto katakan.

"Tim forensik sama sekali tak menemukan bekas siksaan di tubuh korban sebelum mereka dibunuh," tulis Peter.

Walau begitu media sudah terlanjur memberitakan bahwa para korban G30S itu disiksa.

Prof Dr Arif Budianto atau Liem Joe Thay menuturkan kondisi jenazah para jenderal tidak seperti diberitakan oleh media massa.

Arif mengatakan tidak ada tanda-tanda penyiksaan sama sekali, luka iris pun tidak ditemukan pada badan korban.

Sementara itu seorang akademisi bernama Benedict Anderson yang menemukan dokumen berisi laporan yang disusun oleh tim forensik mengatakan bahwa pernyataan Soeharto itu tidak sesuai dengan laporan itu.

Hal tersebut Benedict Anderson ungkapkan dalam sebuah buku yang ditulisnya berjudul “Tentang Matinya Para Jenderal.”

Mereka orang-orang dari tim forensik telah memeriksa jenazah enam orang jenderal, dan seorang perwira muda.

"Ternyata laporan tersebut berseberangan dengan pernyataan Soeharto sendiri," tulis Benedict Anderson.

Diketahui bahwa bangsa Indonesia sulit untuk melupakan sejarah kelam Indonesia yang terjadi pada  30 September 1965, atau sekitar 53 tahun lalu.

Dalam persitiwa itu para jendral diculik dan dibunuh, jasad mereka lalu dibuang di sebuah kawasan di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Jasad para korban itu dibuang ke dalam sebuah sumur tua yang ada di kawasan tersebut.

Berikut adalah tujuh jenderal TNI yang gugur saat terjadi pemberontakan G30S, dikutip dari TribunJabar.com.

Tribun Pontianak - Fakta yang Disembunyikan Soeharto Terkait Jasad Koban G30S/PKI, Ternyata Beda dengan Hasil Autopsi
Tribun Pontianak - Fakta yang Disembunyikan Soeharto Terkait Jasad Koban G30S/PKI, Ternyata Beda dengan Hasil Autopsi 

1. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani adalah seorang  komandan TNI AD yang lahir pada tahun 19 Juni 1922 di Purworejo.

Ahmad Yani menjadi incaran PKI karena sangat menentang keberadaan partai komunis di Indonesia.

Sebelum gugur diketahui bahwa Ahmad Yani sempat berdebat dengan para tentara PKI yang mengepung rumahnya.

Perdebatan sengit itu malahan membuat Ahmad Yani harus bersimbah darah lantaran ditembak oleh para tentara.

Jenazah Ahmad Yani pun dibawa oleh para tentara itu dan dimasukan ke dalam Lubang Buaya.

2. Letnan Jenderal Anumerta Suprapto

Letnan Jenderal Anumerta Suprapto merupakan pahlawan nasional yang lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920.

Anumerta Suprapto diculik oleh para tentara PKI di kediamanya dan dibunuh di Lubang Buaya.

Diketahui bahwa Anumerta Suprapto pernah meredam beberapa pemberontakan PKI di sejumlah wilayah di Indonesia seperti Semarang dan Medan.

3. Letnan Jenderal Haryono

Jendral yang juga gugur dalam peristiwa G30S/PKI adalahLetnan Jenderal TNI Anumerta atau Mas Tirtodarmo Haryono (MT Haryono).

MT Haryono diketahui terlahir di Surabaya pada 20 Januari 1924.

Sama seperti jendral yang lainya beliau diculik lalu dibunuh di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Jenazahnya lalu dibuang ke dalam sebuah sumur tua yang berada di kawasan tersebut.

4. Letnan Jenderal Siswondo Parman

Letnan Jenderal Siswondo Parman atau biasa disebut dengan nama S. Parman merupakan pahlawan revolusi Indonesia.

S. Parman  diketahui lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918.

Beliau adalah perwira intelijen yang cukup dekat dengan PKI dan mengetahui kegiatan rahasia dari partai komunis itu.

Walaupun dekat S Parman menolak saat diajak bergabung, hal itulah yang membuat dirinya dibunuh pada persitiwa G30S/PKI.

S. Parman juga mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta.

Diketahui bahwa dalang pembunuhan S. Parman  adalah kakaknya sediri bernama Ir. Sakirman yang merupakan petinggi PKI pada saat itu.

5. Mayor Jenderal Pandjaitan

Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah seorang pria yang lahir di Sumatera Utara pada 19 Juni 1925.

Jenderal Pandjaitan bersama para pemuda anak bangsa lainnya adalah sosok yang merintis pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Diketahui bahwa TKR merupakan cikal bakal TNI saat ini.

Pada saat rumahnya didatangi oleh kawanan anggota OKI, Jenderal Pandjaitan masih menggunakan seragam militer lengkap.

Saat para anggota OKI membunuh pelayan serta ajudannya ia lalu menantang para pemberontak tersebut.

Setelah Jenderal Pandjaitan menantang para pemberontak, tembakan dengan cepat menghujam badannya.

Jenazah Jenderal Pandjaitan oleh para pemberontak pun dibawa ke Lubang Buaya untuk dibuang.

6. Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo

Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo diketahui  lahir di Kebumen pada 23 Agustus 1922.

Sama seperti jendaral yang lain beliau juga diculik di rumahnya serta dibunuh di Lubang Buaya.

Pada awalnya para penculik itu mengaku bahwa  Mayor Jendral Sutoyo dipanggil oleh Presiden Republik Indonesia pertama Ir. Soekarno.

Namun pernyataan para penculik itu tidak lah benar mereka berbohong kepada Mayor Jendral Sutoyo.

7. Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo

Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo lahir di Sragen pada  5 Februari 1923.

Berbeda dengan korban lainya pada saat persitiwa berdarah itu terjadi Brigjen Katamso sedang bertugas di Yogyakarta.

Brigjen Katamso kemudian diculik oleh para anggota PKI dan dipukuli tubuhnya dengan mortar motor.

Jasadnya lalu dimasukkan ke lubang yang sudah disiapkan anggota PKI.

Kejadian tersebut diketahui terjadi di kawasan Kentungan, Yogyakarata.

Selain tujuh jenderal TNI di, PKI juga telah membunuh sejumlah anggota TNI dan Polri lainnya.

Anggota yang gugur adalah AIP Karel Satsuit Tubun, Kapten Pierre Tendean, dan Kolonel Sugiono.

Diketahui bahwa putri Jenderal TNI AH Nasution,  Ade Irma Suryani Nasution juga menghembuskan napas terakhir karena ditembak PKI saat malam peristiwa G30S/PKI.

Sedangkan Jenderal TNI AH Nasution berhasil lolos dalam persitiwa tersebut. 

Soekarno Bersedih 

Presiden Soekarno
Presiden Soekarno 

Gugurnya tujuh jenderal TNI saat gerakan 30 September alias G30S/PKI membuat presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno menjadi bersedih.

Kesedihan Presiden Soekarno atas gugurnya tujuh jenderal TNI korban G30S/PKI diungkap dalam buku bertajuk 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno', Penerbit Buku Kompas 2014.

Maulwi yang merupakan pengawal pribadi Bung Karno, mengatakan kalau presiden Soekarno sangat sedih sekali atas nasib yang menimpa para jenderal TNI yang diculik.

“Presiden sedih sekali atas nasib para jenderal yang diculik, khususnya Jenderal Ahmad Yani, jenderal yang amat disayanginya. Karena nasib para jenderal dan seorang perwira pertama belum diketahui, Presiden memerintahkan saya untuk mencari tahu nasib mereka." tulis Maulwi dalam bukunya.

Pada 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno telah memanggil semua Panglima Angkatan Bersenjata bersama Waperdam II Leimena dan para pejabat penting lainnya dengan maksud segera menyelesaikan persoalan apa yang disebut Gerakan 30 September.

Tindakan Bung Karno itu merupakan langkah standar karena dirinya adalah selaku Panglima Tertinggi ABRI.

“Pada tanggal 3 Oktober 1965 pagi, saya menghadap Presiden Soekarno, menyampaikan laporan tentang perkembangan terakhir termasuk penemuan seorang agen polisi,” kata Maulwi yang menjabat sebagai pengawal pribadi Bung Karno dan Wakil Komandan pasukan Tjakrabirawa.

Setelah mempelajari keterangan seorang agen polisi yang bernama Sukitman, Maulwi bersama Letnan Kolonel Ali Ebram dan Sersan Udara PGT Poniran menumpang Jip Toyota No.2 berangkat menuju Halim Perdanakusuma.

Sekadar informasi, ternyata sewaktu penculikan para jenderal 1 Oktober 1965, Sukitman sedang bertugas dan ikut dibawa ke Lubang Buaya, yang akhirnya ditemukan oleh patroli Tjakrabirawa.

Mereka terlebih dahulu melapor dan bertemu dengan Kolonel AU/PNB Tjokro, perwira piket Halim Perdanakusuma.

“Saya sampaikan maksud kedatangan saya” kata Maulwi.

“Kami dibantu seorang anggota TNI AU berpangkat letnan muda penerbang, mencari lokasi yang diceritakan oleh agen polisi tesebut.”

Jip Toyota selalu membawa satu set generator listrik berkekuatan 1 PK yang sewaktu-waktu dapat digunakan karena pada waktu itu arus listrik sering mati-hidup.

Mereka menemukan sebuah rumah atau pondok kecil di Lubang Buaya yang didekatnya terdapat sebuah pohon besar.

Dilakukan pencarian di sekitarnya dan ditemukan sebidang tanah yang sudah tidak digunakan, tetapi terlihat tanda mencurigakan seperti baru dipakai.

Di tempat itu, tumpukan dedaunan dikorek-korek dan terlihat permukaan sebuah sumur tua.

Karena tidak memiliki peralatan untuk menggali tanah, mereka meminta bantuan warga sekitar untuk menggali sumur itu.

Tak berapa lama, muncul pasukan RPKAD dipimpin Mayor C.I. Santoso dengan membawa agen polisi Sukitman sebagai petunjuk jalan, dan ikut pula ajudan Jenderal Ahmad Yani, Kapten CPM Subardi.

“Setelah mendapat penjelasan dari kami dan dicocokkan dengan keterangan agen polisi tersebut,” kata Maulwi, “penggalian dilanjutkan.”

Penggalian sulit dilakukan karena lubang sumur itu hanya pas untuk satu orang, proses penggalian memakan waktu lama.

Hari mulai gelap, belum ditemukan tanda-tanda yang mencurigakan. Generator milik Tjakrabirawa dihidupkan untuk menerangi proses penggalian.

Lewat tengah malam mulai tercium bau tak sedap.

Setelah penggalian cukup dalam dan terus digali, akhirnya ditemukan sebuah tangan.

Penggalian dihentikan sementara karena orang-orang tidak tahan dengan bau yang keluar dari sumur.

Setelah berunding dengan C.I. Santoso, disepakati untuk melaporkan hal itu kepada Pangkostrad Mayjen Jenderal Soeharto guna instruksi selanjutnya.

Dan, untuk penggalian selanjutnya, diperlukan tenaga dan peralatan khusus misalnya masker dan tabung oksigen seperti yang dimiliki pasukan katak KKO.

Saat itu sudah pukul 03.00.

“Rombongan saya pulang untuk Salat Subuh dan istirahat karena mulai merasa flu,” kata Maulwi.

“Selanjutnya, saya perintahkan Letnan Kolonel Marokeh Santoso, Kepala Staf Resimen Tjakrabirawa, untuk menggantikan dan mewakili saya. Jadi, tidak benar sama sekali, berita yang mengatakan bahwa Presiden Soekarno mengetahui peristiwa penculikan G30S itu. Dan, tidak pernah ada perintah Presiden kepada kami untuk menghilangkan jejak para jenderal yang diculik.”  (sumber Tribunjakarta dan warta kota)

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Autopsi Jasad Koban G30S/PKI, Dokter Ungkap Tak Ada Bekas Luka Penganiayaan, 

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved