Ini Bunyi Pasal yang Disebut Refly Harun Sengaja Diselipkan di UU KPK

UU KPK otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu, meskipun tanpa tanda tangan Presiden.

Penulis: Romi Rinando | Editor: Daniel Tri Hardanto
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menyebut pasal yang melemahkan dalam revisi UU KPK. 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Undang-undang KPK otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu, meskipun tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Pakar Hukum Tata Negara Refky Harun menuturkan, dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi ada pasal yang sengaja diselipkan.

Refly Harun lantas mengatakan adanya UU KPK hasil revisi dapat melemahkan KPK sendiri, yakni adanya dewan pengawas.

BREAKING NEWS - Seratusan Mahasiswa Gelar Aksi Lanjutan Tolak RUU KPK di Depan Gedung DPRD Provinsi

Beberapa Pasal Draf RUU KPK Dianggap Bikin KPK Ompong

Ajudan Wali Kota Menyerahkan Diri, Sempat Buron Setelah Hendak Tabrak Tim KPK

Menurutnya, dewan pengawas dapat membuat OTT KPK semakin diperlemah.

"Setelah adanya dewan pengawas, maka ketentuan-ketentuan mengenai izin itu berlaku," kata Refly Harun.

Refly Harun menyebut terkait pasal penyadapan.

"Di situ dikatakan untuk melakukan penyadapan kan izin dewan pengawas," kata Refly Harun.

"Tapi ternyata tidak hanya izin dewan pengawas, izin penyadapan baru bisa diberikan, itu dalam pasal penjelasannya, setelah gelar perkara di hadapan dewan pengawas." 

Sehingga menurut Refly Harun, OTT sulit untuk dilakukan KPK.

"Artinya kita tidak bisa berharap lagi kasus-kasus baru yang di-OTT, karena kita tahu OTT dan penyadapan kan satu paket."

"Tidak mungkin kita meng-OTT orang tanpa kita menyadap terlebih dahulu, karena kita tidak tahu konteksnya," paparnya.

"Nanti kalau sudah ada kasus baru itu tidak mungkin diberikan izin oleh dewan pengawas karena belum gelar perkara padahal kita tahu gelar perkara itu sudah ada 2 alat bukti minimal untuk ditingkatkan jadi tahap penyidikan, kan sudah ada tersangkanya dan lain sebagainya," ujar Refly Harun.

Sehingga pasal itu menurut Refly Harun telah sengaja diselipkan di UU KPK.

"Ini yang menurut saya memang pasal yang sengaja diselipkan, kebetulan di penjelasan, untuk melemahkan proses penindakan oleh KPK," ujar Refly Harun.

"Setelah dewan pengawas terbentuk, berarti KPK tidak flesksibel lagi melakukan proses penindakan, pertama izin penggeledahan, izin penyitaan, harus ke dewan pengawas, 1x24," paparnya kembali.

"Lalu nanti belum tentang ASN-nya, kedudukan di bawah presidennya, dewan pengawasnya. Itu bisa memproses pelanggaran kode etik, tidak hanya KPK tapi juga pegawai," ujarnya.

s
Refly Harun dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD bicara soal UU KPK. (YouTube tvOneNews)

Ia pun menyebut bahwa dewan pengawas sebagai monster baru.

"Maka kalau kita bicara chek and balance, maka dewan pengawas itu monster baru, yang uncheck dan unbalance."

"Justru pimpinan KPK yang kemarin itu sebagai lembaga extraordinary punya kekuasaan yang lumayan super powerfull sekarang dia subkoordinat dengan dewan pengawas," pungkasnya.

Lihat videonya dari menit ke 3.37:

UU KPK Resmi Berlaku

Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi mulai berlaku Kamis (17/10/2019).

Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Kamis (17/10/2019), peresmian berlaku UU KPK itu tanpa dibubuhi tanda tangan Presiden Jokowi.

Hal ini karena UU itu otomatis berlaku terhitung 30 hari setelah disahkan di paripurna DPR, Selasa (7/9/2019) lalu.

Padahal, UU KPK dikritik sejumlah pihak tak terkecuali KPK sendiri.

UU KPK, dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antikorupsi itu.

Satu di antaranya mengenai dewan pengawas yang mana penyadapan harus seizin dewan pengawas.

Hal ini menurut KPK dapat mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan.

s
Petugas menunjukkan barang bukti berupa uang terkait operasi tangkap tangan (OTT) Kementerian Pemuda dan Olahraga ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018). KPK menetapkan lima orang tersangka yakni Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy, Deputi IV Kemenpora, Pejabat pembuat komitmen Kemenpora AdhinPurnomo, dan Staf Kemenpora Eko Triyatno serta mengamankan barang bukti Rp 7,318 Miliar terkait penyaluran bantuan Kemenpora kepada KONI tahun anggaran 2018. (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Petugas menunjukkan barang bukti berupa uang terkait operasi tangkap tangan (OTT) Kementerian Pemuda dan Olahraga ke Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) di gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018). KPK menetapkan lima orang tersangka yakni Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy, Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy, Deputi IV Kemenpora, Pejabat pembuat komitmen Kemenpora AdhinPurnomo, dan Staf Kemenpora Eko Triyatno serta mengamankan barang bukti Rp 7,318 Miliar terkait penyaluran bantuan Kemenpora kepada KONI tahun anggaran 2018.

Selain itu, kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.

Dari keseluruhan, pihak KPK menemukan 26 poin di dalam UU hasil revisi yang bisa melemahkan kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.

Para pimpinan KPK, pegiat antikorupsi hingga mahasiswa pun menuntut Jokowi mencabut UU KPK hasil revisi lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Jokowi sempat mengatakan akan mempertimbangkan perppu UU KPK.

Akan tetapi penolakan perppu UU KPK dilayangkan para DPR dan partai politik pendukungnya.

Hingga sampai Rabu (16/9/2019) kemarin perppu tidak kunjung diterbitkan Jokowi.

Saat ditanya oleh sejumlah awak media pun Jokowi tampak diam dan hanya tersenyum. ( sumber tribunwow.com)

Artikel ini sudah tayang di tribunwow dengan judul : Refly Harun Jelaskan Ada Pasal yang Sengaja Diselipkan di UU KPK, Sebut Adanya Monster Baru

Sumber: TribunWow.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved