Perumus Naskah Sumpah Pemuda Dicap Pemberontak dan Dieksekusi Mati

Dicap Pemberontak dan Dieksekusi Mati, Sosok Ini Perumus Naskah Sumpah Pemuda.

Penulis: Wakos Reza Gautama | Editor: wakos reza gautama
ISTIMEWA/INTISARI
Kartosoewirjo 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Dicap Pemberontak dan Dieksekusi Mati, Sosok Ini Perumus Sumpah Pemuda.

Hari Sumpah Pemuda diperingati setiap tanggal 28 Oktober.

Sumpah Pemuda merupakan peristiwa bersejarah dalam perjalanan Republik Indonesia.

Sumpah Pemuda terjadi pada tahun 1928 ketika para pemuda dari berbagai daerah menggelar pertemuan yang dinamakan Kongres Pemuda II.

Pada saat itu para pemuda masih tergabung dalam beberapa organisasi kepemudaan di berbagai daerah.

Mereka mengadakan pertemuan akbar pada 28 Oktober 1928.

Pada pertemuan itu tercetuslah Sumpah Pemuda.

Isi Sumpah Pemuda ada tiga butir.

Pertama : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kedua : kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga : kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tahukah anda jika salah satu perumus naskah Sumpah Pemuda ternyata di akhir hayatnya dicap sebagai pemberontak.

Dikutip dari buku Api Sejarah karangan sejarawan Islam Ahmad Mansur Suryanegara, pencetus butir ketiga Sumpah Pemuda adalah Sekarmadji Kartosoewirjo. 

Kartosoewirjo merupakan pendiri Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Pada saat itu Kartosoewirjo hadir di Kongres Pemuda II sebagai perwakilan dari Pengurus Besar Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII).

Di dalam Kongres Pemuda II, Kartosoewirjo menyatakan bahwa bahasa asing berfungsi sebagai bahasa pergaulan internasional.

Kartosoewirjo lalu menambahkan bahwa Bahasa Indonesia harus menjadi bahasa penghubung persatuan pemuda.

Tuntutan Kartosoewirjo agar bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh imperialis Belanda.

Pada saat itu bahasa Melayu merupakan bahasa yang dipakai komunikasi antaretnis sebelum kedatangan Belanda di tanah air.

Begitu Belanda datang, pengguna bahasa Melayu seolah-olah dianggap sebagai orang bodoh oleh penjajah Belanda.

Ini membuat rasa rendah diri di kalangan pribumi. Untuk itulah, Kartosoewirjo mencetuskan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.

Di dalam catatan kakinya, Ahmad Mansur Suryanegara mempertanyakan hilangnya nama Kartosoewirjo dari dalam sejarah Sumpah Pemuda.

Menurut Mansur, apakah karena Kartosoewirjo adalah pendiri NII maka namanya tidak dituliskan dalam sejarah Indonesia bab Sumpah Pemuda.

Sumber Ahmad Mansur Suryanegara Diragukan

Terbitnya buku Api Sejarah karangan Ahmad Mansur Suryanegara menuai polemik.

Buku yang terbit pada tahun 2009 ini banyak mengangkat tentang sejarah Indonesia yang hilang, terutama peran Islam dalam pembentukan republik.

Ahmad Mansur Suryanegara menerbitkan buku setebal 584 halaman di usianya yang ke -74 tahun. Buku Api Sejarah terdiri dari 2 jilid.

Peneliti Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam mengkritik isi dari buku Api Sejarah dalam artikelnya yang berjudul "A. Mansur Suryanegara dan Sejarah Islam Indonesia".

Dikutip dari website LIPI, lipi.go.id, Asvi mengkritik dua hal. Pertama sumber buku dan kedua perspektif.

Menurutnya, buku Api Sejarah menggunakan sumber sekunder. Asvi mengatakan, sejarawan tidak mengambil kesimpulan dari satu sumber saja apalagi sumber yang tidak jelas.

Di dalam karyanya, Asvi menilai Ahmad Mansur Suryanegara terkesan mencoba menggambarkan seorang tokoh yang dipilihnya 'secara islami'.

Asvi mengatakan, Ahmad Mansur Suryanegara mencoba meluruskan sejarah umat Islam di Indonesia melalui buku Api Sejarah namun belum lengkap.

"Tugas para sejarawan di Jawa Barat untuk mengisinya secara utuh dengan menggunakan sumber yang sahih. Karena kita bisa menemukan api sejarah apabila menggunakan sumber yang benar. Bila yang dipakai sumber yang tidak jelas, yang dijumpai hanya abu sejarah," tulis Asvi.

Soekarno Menangis Eksekusi Kartosoewirjo

Salah satu kisah haru terjadi ketika Soekarno dengan berat hati harus menandatangai surat eksekusi hukuman

mati yang dijatuhkan kepada sahabatnya sendiri, Kartosoewirjo sebagai pimpinan DI/TII yang ingin membelot dari NKRI pada kala tahun 1962.

Sempat menunda tanda tangan nyata, dengan berderai air mata ia harus menyetujui eksekusi mati sahabat karibnya itu.

Akhirnya, sang sahabat, Kartosoewirjo pun dieksekusi mati karena konsekuensi membelot dari Republik.

Seperti disebutkan di atas, Soekarno pernah menangis saat menandatangani vonis hukuman mati pada sahabatnya sendiri, Kartosoewirjo.

Dilansir dari SOSOK.grid.id dalam artikel 'Bung Karno Menangisi Sahabatnya, Si Pria Pendek Bertubuh Kurus dan Rambut Keriting', Kartosoewirjo adalah salah satu kawan dari Soekarno kala masih menimba ilmu dan mondok di rumah HOS TJokroaminoto di Surabaya pada tahun 1918-an.

Ketika menjabat menjadi Presiden pasca Kemerdekaan Indonesia, selang berapa tahun kemudian meletuslah pemberontakan yang dipicu kekecewaan dan dipimpin oleh sang sahabat, Kartosoewirjo.

Salah satu keputusan berat yang harus diambil Soekarno adalah menandatangai vonis mati terhadap sahabatnya tersebut.

Karena Kartosoewirjo terbukti sebagai Imam dan Pimpinan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII).

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, berkas eksekusi mati tertulis nama itu berkali-kali disingkirkan dari meja kerja Soekarno.

Soekarno dan Kartosoewirjo sama-sama berguru kepada orang yang sama yakni HOS Tjockroaminoto.

"Pada 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air.

Pada tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama, dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, di berjuang semata-mata menurut azas agama", Kata Soekarno yang dikutip dari buku "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat.

Kartosoewirjo adalah salah satu sahabat semasa tinggal di rumah Pak Tjokro yang tak pernah bosan mengomentari Soekarno saat berlatih pidato di depan cermin.

Namun tak jarang kritik yang dilontarkan Kartosoewirjo lebih kepada ejekan.

"Hei Karno, buat apa berpidato di depan cermin? Seperti orang gila saja", celetuk Kartosoewirjo yang dikutip dari Majalah Intisari Edisi Agustus 2015.

Mendengar komentar sahabatnya Soekarno muda membalas, "Tidak seperti kamu, sudah kurus, kecil, pendek, keriting mana bisa jadi orang besar!", begitu yang ditulis dari Majalah Intisari Edisi Agustus 2015.

Kemudian keduanya tertawa bersama-sama.

Namun perjuangan kedua sahabat itu mulai berbeda arah, yang membuat seperti terlihat berselisih pandang.

Soekarno sangat nasionalis, sedangkan sang sahabat, Kartosoewirjo sangat religius.

Tahun 1962, nama sang sahabat mencuat sebagai salah satu pentolan yang dianggap memberontak pemerintahan Republik dibawah DI/TII.

Akhirnya Kartosoewirjo tertangkap oleh pasukan Yonif Linud 328, lantas dijatuhi pidana mati pada 16 Agustus 1962 oleh Pengadilan Mahkamah Darurat Perang (Mahadper).

Ketika menandatangani surat keputusan untuk menghukum mati Kartosuwiryo, Seokarno sempat menangis mengingat Kartosoewirjo pernah menjadi sahabat dekatnya.

Lalu pada 4 September 1962, sekitar pukul 05:50 WIB, hukuman mati terhadap Kartosoewirjo dilaksanakan oleh sebuah regu tembak di sebuah pulai di sekitar Teluk Jakarta.

Itulah akhir hidup sang pencetus naskah Sumpah Pemuda.

(tribunlampung.co.id)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved