Prajurit Kopassus Menyamar Jadi Mahasiswa KKN, Bawa-bawa Senjata Tempur
Sebagai sukarelawan dan tidak bersetatus anggota militer dalam melaksanakan operasi intelijennya secara terbatas
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Prajurit Kopassus menyamar mahasiswa KKN. Meski menyamar sebagai mahasiswa KKN, prajurit Kopassus tetap membawa senjata tempurnya.
Pernah terjadi saat para anggota Kopassus menyamar sebagai mahasiswa KKN.
Hal itu para anggota Kopassus lakukan demi menyusup ke wilayah musuh.
Seperti apa detik-detik menegangkannya.
Simak ceritanya berikut ini:
Pertempuran pasukan Kopassus di Timor Timur menjadi satu diantara kisah heroik pasukan TNI dalam mempertahankan kedaulatan NKRI.
Pasukan Kopassus ini diterjunkan pertama kali ke lokasi pertempuran sebelum pasukan lain datang.
Sebagai pasukan perintis, Kopassus melancarkan berbagai aksi tempur dan intelejen.
• Daftar Peserta CPNS Lampung 2019 Gugur Tak Lolos Seleksi Administrasi, Lihat di Sini
• Artis Hamil di Luar Nikah, Blak-blakan Punya Anak hingga Tinggal Seatap Tanpa Menikah
Kekuatan militer di suatu negara jika akan melancarkan operasi tempur ke salah satu target umumnya terlebih dahulu mengirim pasukan intelijen.
Dilansir dari TribunJambi, tujuan pasukan intelijen yang masuk ke daerah musuh secara diam-diam itu adalah untuk mengumpulkan informasi mengenai kekuatan tempur lawan.
Target lainnya yang diintai adalah wilayah yang akan menjadi operasi pendaratan pasukan baik dari laut maupun udara.
Mereka juga berusaha membangun kontak dengan kelompok-kelompok perlawanan setempat.
Ketika militer Indonesia (ABRI) berencana akan melakukan operasi militer ke Timor Timur (sekarang Timor Leste) demi mendukung rakyat yang mau berintegrasi dengan RI, langkah awal yang ditempuh adalah melancarkan operasi intelijen terlebih dahulu.
Demi melancarkan operasi intelijen itu, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) mendirikan semacam markas (safe house) di Motaain, Belu, NTT.
Markas tersebut berfungsi untuk membentuk jaringan dengan kelompok-kelompok pro integrasi yang ada di Tim-Tim.
Petinggi Bakin yang mengendalikan operasi intelijen di Motaain adalah Ketua G-1/Intelijen Hankam, Mayjen Benny Moerdani.
Sebagai tokoh intelijen yang dikenal agresif, meskipun belum ada kepastian kapan operasi militer terbuka oleh ABRI dilaksanakan, Mayjen Benny diam-diam telah menyusupkan personel intelijennya.
Para personel intelijen yang akan bertugas secara sangat rahasia itu dipimpin oleh Kolonel Inf Dading Kalbuadi.
Dading merupakan komandan pasukan elite, Grup-2 Para Komando (Parako) atau Komando Pasukan Sandi Yuda (Kopassanda).
Pasukan elite itu sekarang dikenal sebagai Kopassus dan Kopassanda sendiri saat itu bermarkas di Magelang, Jawa Tengah.
Tugas utama Kolonel Dading bersama anak buahnya adalah memasuki wilayah Tim-Tim sebagai sukarelawan.
Mereka juga dilarang menunjukkan identitas sebagai pasukan elite.
Jika dalam tugas-tugasnya sebagai personel intelijen sampai menimbulkan bentrokan senjata dan gugur, maka negara tidak akan mengakuinya.
Ini mengingat status mereka adalah sukarelawan.
Sekitar 250 personel Parako yang bertugas sebagai intelijen kemudian dikirim perbatasan NTT-Tim-Tim.
Dalam penugasannya pasukan Parako ini selalu menyamar.
Ketika dikirim ke Atambua, NTT lalu ke Motaain, personel Parako menyamar sebagai mahasiswa yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sedangkan senjata yang dibawa dimasukkan ke dalam karung yang telah dibubuhi tulisan berbunyi ‘alat-alat pertanian’.
Tugas utama para personel Parako adalah menyusup ke Tim-Tim dalam bentuk kelompok kecil untuk membentuk basis-basis gerilya dan melakukan penyerangan.
Sebagai sukarelawan dan tidak bersetatus anggota militer dalam melaksanakan operasi intelijennya secara terbatas (limited combat intelligence) para personerl Parako kebanyakan memakai celana jean dan kaos oblong serta jarang menenteng senjata.
Di kemudian hari ketika operasi militer ABRI secara terbuka untuk mendukung proses integrasi ke RI digelar, para personel Parako ternyata masih suka mengenakan celana jean dan kaos oblong.
Dengan gaya bertempur yang terkesan sangar tapi santai itu, Kopassanda, mengutip Hendro Subroto dalam Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur (1996), pun mendapat julukan sebagai “The Blue Jeans Soldiers”.
Soal The Blue Jeans Soldier juga bisa dikulik dari buku Hendro Subroto lainnya yang berjudul Operasi Udara di Timor Timur terbitan Pustaka Sinar Harapan (2005).
Artikel pernah tayang di TribunJambi.