Dituduh Rintangi Penyidikan Kasus Harun Masiku, Yasonna Laoly Salahkan Server Komputer Tak Update
Kejanggalan informasi mengenai keberadaan Harun Masiku dimulai dari pernyataan Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang menyebut Harun Masiku meninggalkan
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly angkat bicara terkait adanya tuduhan dirinya berusaha merintangi penyelidikan KPK terhadpa Harun Masuki.
Yasonna Laoly berdalih dirinya tidak akan melakukan perbuatan yang disebutnya tolol.
"Saya pikir saya belum terlalu tolol lah untuk melakukan (hal) separah itu," ujarnya seusai memberikan kuliah umum di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta, Senin (27/1/2020).
Yasonna Laoly mengatakan, kesalahan data atau kesalahan teknis menjadi penyebab dirinya salah mengemukakan di mana keberadaan Harun Masiku.
Ia menjelaskan, sistem informasi manajemen keimigrasian (SIMKIM) yang dibuat tahun 2008 silam, tak langsung mengupdate data-data yang masuk ke server miliki Kemenkumham.
• KPK Akan Periksa Ketua KPU Arief Budiman Terkait Kasus Suap Harun Masiku
• 2 Anggota DPR Adu Mulut Gegara Harun Masiku, Desmond Sampai Turun Tangan
• Roy Suryo Sebut Data CCTV Bandara Soetta Terkait Harun Masiku Ada yang Janggal
Menurutnya, tak masuknya data ke server Kemenkumham, membuat pihaknya tidak menerima data Harun Masiku telah kembali ke Tanah Air pada 7 Januari 2020 melalui Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta.
"Data mereka itu tidak langsung masuk ke server. Langsung di PC (komputer), ya ada kesalahan di situ."
"Kenapa itu delay masuk ke server kami sehingga waktu dibaca oleh Dirjen seperti itu," jelasnya.
Yasonna Laoly mengaku juga telah mempertanyakan mengapa data-data tersebut bisa tak masuk ke server Kemenkumham kepada Dirjen Imigrasi.
"Waktu saya tanya, coba cek itu data, dia (Dirjen Imigrasi) berpedoman pada data karena si Harun ini masuk dari Terminal 3, pulang dari Terminal 2 karena beda pesawat," terang Yasonna Laoly.
"Kalau di Terminal 3 kan sudah (masuk datanya ke server), (sementara di Terminal 2 belum) itu yang membuat Dirjen mengatakan 'oh belum ada pak'."
"Datanya itu tidak masuk di server," bebernya.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Koalisi menilai politikus PDIP itu berupaya menghalang-halangi penyidikan kasus suap pergantian antar-waktu (PAW) anggota DPR terpilih 2019-2024.
Dalam kasus ini, KPK menjerat Komisioner KPU Wahyu Setiawan, mantan Anggota Bawaslu Agustiani Tio Fridelina yang juga orang kepercayaan Wahyu, kader PDIP Harun Masiku, dan Saeful sebagai tersangka.
"Kita melaporkan Saudara Yasonna Laoly selaku Menkumham atas dugaan menghalangi proses hukum atau obstruction of justice, yang diatur dalam Pasal 21 Undang-undang Tipikor."
"Ancaman hukumannya maksimal 12 tahun penjara," ujar perwakilan koalisi Kurnia Ramadhana di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (23/1/2020).
Kata Kurnia, koalisi melihat ada kejanggalan pernyataan yang disampaikan Yasonna. Yakni, terkait keberadaan Harun Masiku yang berstatus buron.
“Kami melihat ada keterangan yang tidak benar disampaikan oleh Yasonna."
"Dia mengatakan bahwa Harun Masiku telah keluar dari Indonesia sejak 6 Januari dan belum kembali."
"Tapi ternyata ada data terkait dengan itu Harun Masiku sudah kembali ke Indonesia 7 Januari, tapi tidak ditindaklanjuti oleh Kemenkumham."
"Baru kemarin mereka katakan dengan berbagai alasan menyebutkan ada sistem yang keliru,” ungkap Kurnia.
Menurut koalisi, sikap Yasonna dan jajarannya sangat janggal, lantaran memberi keterangan Harun Masiku terbang ke Singapura setelah KPKmelakukan penyidikan.
Terlebih, menurut Kurnia, dengan embel-embel partai, Yasonna justru mengikuti konferensi pers PDIP terkait kasus tersebut.
“Karena ini sudah masuk penyidikan per tanggal 9 Januari kemarin harusnya tidak jadi hambatan untuk menindak Yasonna dengan Pasal 21 tersebut,” tegas Kurnia.
Dalam laporannya, koalisi juga membawa bukti-bukti dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Yasonna.
Salah satunya berupa rekaman CCTV mengenai datangnya Harun Masiku ke Indonesia pada 7 Januari 2020.
“Kami bawa CCTV yang sudah beredar di masyarakat, kedatangan Harun di Soetta 7 Januari 2020 itu kan sebenarnya perdebatannya. Enggak masuk akal alasan Kumham," tuturnya.
"Sebenarnya sederhana. Mereka tinggal cek CCTV di bandara saja, apakah temuan dan petunjuk Tempo, tapi itu enggak ditindaklanjuti dengan baik."
"Rentang 2 minggu kita pandang enggak cukup membenarkan alasan dari Dirjen Imigrasi kemarin,” imbuh Kurnia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM mendalami kelalaian sistem yang tidak mencatat caleg PDIP Harun Masikudatang ke Indonesia.
Harun Masiku adalah tersangka kasus suap terhadap komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Harun Masiku juga berstatus buron.
Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang mengatakan, pihaknya menyalahkan sistem di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta yang tidak cepat menginput data.
"Jadi terkait dengan delay system bahwa seyogianya fasilitas CIQ (Customs, Immigration and Quarantine) bisa dilakukan oleh penyedia atau pengelola bandara."
"Namun karena alasan teknis dan juga Terminal 2 itu diproyeksikan jadi low cost carier."
"Sehingga kami dengan perangkat yang ada berusaha melengkapi kekurangan," katanya dalam konferensi pers di Kemenkumham, Jakarta Selatan, Rabu (22/1/2020).
Arvin mengatakan, pihaknya masih mendalami kelalaian tersebut dengan menggandeng pihak terkait seperti bandara dan maskapai.
Meski begitu, Arvin menegaskan Harun Masiku sejak 7 Januari 2019 sudah berada di Indonesia.
"Menggunakan Batik Air dan tercatat pada 7 Januari 2020 sekitar pukul 17.34 sore," jelas Arvin.
Arvin membantah pihaknya sengaja memperlambat pengiriman informasi keberadaan Harun Masiku di Indonesia yang sudah 15 hari.
Menurut Arvin, penginputan data imigrasi memang cukup lama.
"Itu memang agak lama. Kami masih menunggu arahan kapan kami bisa menyampaikan."
"Segala sesuatu harus kami pastikan dulu, apabila fix betul dan yang kami dapatkan itu kan bukti-bukti yang kalau menurut hemat kami adalah sesuatu yang dikecualikan juga."
"Bisa mendapatkan manifes, mendapatkan rekaman CCTV. Nah, makanya kami perlu melakukan langkah-langkah untuk mengujinya," terangnya.
Sementara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti ogah disalahkan atas keberadaan Harun Masiku yang buron.
KPK sebelumnya selalu menyatakan percaya pada pihak Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang menyebut Harun Masiku masih berada Singapura sejak 6 Januari 2020.
Padahal, informasi yang beredar mengatakan Harun Masiku sudah kembali ke Indonesia sejak 7 Januari 2020, atau sehari sebelum KPK menggelar operasi tangkap tangan terhadap Wahyu Setiawan dan tujuh orang lainnya.
Kemarin, Imigrasi membenarkan Harun Masiku kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020, menggunakan pesawat Batik Air melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengklaim KPK telah melakukan sejumlah langkah stategis, setelah menetapkan Harun Masiku, Wahyu, dan sejumlah pihak lainnya sebagai tersangka, Kamis (9/1/2020) lalu.
Salah satunya, berkoordinasi dengan pihak Imigrasi yang berwenang memeriksa lalu lintas orang.
"Di samping itu juga dengan pihak Polri untuk mencari keberadaan yang bersangkutan," kata Ali saat dimintai konfirmasi, Rabu (22/1/2020).
Ali menyebut berbagai informasi mengenai keberadaan Harun Masiku telah didalami tim penyidik.
Menurutnya, informasi dari Ditjen Imigrasi hanya salah satu sumber informasi.
"Selama ini informasi dari Imigrasi hanyalah salah satu sumber informasi KPK, ini karena terkait dengan hubungan antar-institusi yang selama ini berjalan dengan baik," papar Ali.
Untuk itu, katanya, KPK telah meminta Ditjen Imigrasi mencegah Harun Masiku bepergian ke luar negeri pada 13 Januari 2020.
KPK juga telah meminta polisi turut mencari dan menangkap Harun Masiku dengan menetapkannya sebagai buronan.
"Kami berharap tersangka HAR dapat segera ditangkap untuk mempertanggungjwbkan perbuatannya secara hukum," katanya.
KPK kembali mengingatkan Harun Masiku untuk bersikap kooperatif.
Tidak hanya membantu penyidik menuntaskan kasus ini, sikap kooperatif Harun Masiku juga dapat membantunya dalam menghadapi proses hukum.
"Nantinya pada tingkat persidangan juga akan dapat dipertimbangkan sebagai alasan meringankan hukuman yang bersangkutan," cetus Ali.
KPK juga menyatakan belum melihat adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk melindungi Harun Masiku yang masih buron.
Oleh karenanya, KPK menilai penerapan pasal merintangi penyidikan (obstruction of justice) sebagaimana diatur Pasal 21 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, masih butuh kajian lebih lanjut.
"Perlu dikaji lebih dahulu secara menyeluruh, secara mendalam."
"Tentunya tidak serta merta begitu saja dengan mudah kita menerapkan Pasal 21," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (22/1/2020).
Kejanggalan informasi mengenai keberadaan Harun Masiku dimulai dari pernyataan Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang menyebut Harun Masiku meninggalkan Indonesia pada 6 Januari 2020.
Dua hari kemudian, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Komisi anti-korupsi mencokok Wahyu Setiawan selaku Komisioner KPU dan tujuh orang lainnya.
Pada 9 Januari 2020, KPK lalu menetapkan Wahyu, Harun Masiku, mantan anggota Bawaslu yang juga mantan caleg PDIP Agustiani Tio Fridelina dan kader PDIP Saeful Bahri, sebagai tersangka.
Pernyataan Imigrasi yang menyebut Harun Masiku masih di Singapura, dibantah oleh istri kedua Harun Masiku, Hildawati Jamrin.
Ia mengatakan suaminya telah kembali ke Indonesia pada 7 Januari, atau tepatnya satu hari sebelum OTT.
Pada 16 Januari, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly semakin mengukukuhkan keberadaan Harun Masiku di Singapura.
Politikus PDIP itu menyatakan Harun Masiku masih berada di Negeri Singa sejak 6 Januari.
Bukti telah kembalinya Harun Masiku pada 7 Januari ke Indonesia, diperkuat dengan beredarnya rekaman CCTV di Bandara Soekarno-Hatta.
Selama rentang itu, KPK mengklaim mempercayai pernyataan jajaran Ditjen Imigrasi dan Kemenkumham yang menyebut Harun Masiku berada di Singapura.
Namun, pada Rabu (22/1/2020), Ditjen Imigrasi mengakui Harun Masiku telah kembali ke Indonesia pada 7 Januari 2020.
Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie menyatakan akan mendalami adanya delay time dalam pemrosesan data perlintasan di Terminal 2 F Bandara Soekarno-Hatta, ketika Harun Masiku melintas masuk.
Ali mengatakan saat ini KPK memilih menunggu proses pendalaman yang dilakukan Imigrasi.
Dari pendalaman ini akan diketahui faktor yang membuat Imigrasi terlambat menginformasikan kembalinya Harun Masiku ke Indonesia.
"Dari Dirjen Imigrasi akan melakukan pendalaman. Tentunya itu adalah informasi positif, informasi yang bagus."
"Apa nanti kemudian di sana ada unsur kesengajaan, atau lalai ataupun yang lainnya, tentu perlu pendalaman dulu ke sana," kata Ali.
Ali menuturkan, KPK tidak merasa dibohongi oleh Imigrasi mengenai keberadaan Harun Masiku.
Ia menyatakan hal tersebut mengingat hubungan baik antara KPK dan Ditjen Imigrasi.
Apalagi, kata Ali, informasi dari Imigrasi bukan satu-satunya informasi yang diterima KPK mengenai keberadaan Harun Masiku.
"Kami tidak memandangnya sampai ke sana (dibohongi Imigrasi)."
"Yang jelas karena ini ada hubungan yang baik dengan Imigrasi, maka informasinya tentu kami terima."
"Informasinya kami terima sebagai salah satu informasi. Itu yang terpenting," ucap Ali.
Merintangi proses penyidikan atau penuntutan atau obstruction of justice tercantum dalam Pasal 21 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.
Pasal itu menyatakan, "Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan."
"Terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun."
"Dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta."
Ali mengakui pihaknya telah beberapa kali menerapkan Pasal 21 terhadap pihak-pihak yang merintangi penyidikan maupun penuntutan.
Namun, ia mengatakan perlu kajian lebih mendalam untuk menerapkan pasal tersebut terkait Harun Masiku.
"Bagaimanapun jika penerapan pasal-pasal, kita taat aturan hukum bahwa harus ada bukti permulaan yang cukup ketika akan menetapkan tersangkanya," jelas Ali. (Artikel ini telah tayang di Wartakotalive)