Ungkap Kekejaman Militer AS, Eks Pilot Drone AS, Rumahnya Didatangi 2 Petinggi AU & Jadi Target ISIS

Brandon mengundurkan diri dari dinas militer AS setelah insiden pengeboman anak-anak di Afghanistan.

Editor: Romi Rinando
AFP/Shah Marai
Foto Ilustrasi : Ungkap Kekejaman Militer AS di Afghanistan, Eks Pilot Drone AS, Rumahnya Didatangi 2 Petinggi AU & Jadi Target ISIS 

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Mantan pilot atau operator drone militer AS, Brandon Bryant (34), membuat pengakuan mengejutkan terkait pengalamannya selama 7 tahun bertugas.

Brandon merasa dirinya jadi pembunuh ketika melepaskan rudal-rudal Hellfire dari pesawat nirawak yang diterbangkannya di Afghanistan dari jarak jauh.

Brandon Bryant menyebut militer negaranya lebih buruk ketimbang Nazi.

Ia berada di pusat kendali drone militer di Las Vegas, sementara target-target yang dibomnya beribu-ribu mil jauhnya dari daratan Amerika.

Pengakuannya itu dikutip situs berita Daily Mail, Sabtu (8/2/2020) WIB.

Fakta-fakta Drone MALE Elang Hitam Buatan Indonesia, Siap Mengudara di Natuna 2021

Drone AS Ditembak Jatuh Iran, Diam-diam Trump Perintahkan Serangan Siber Balasan

Nekat Foto Jokowi Saat di Lampung Pakai Drone, Siap-siap Ditembak Sniper

Selama tujuh tahun jadi pilot drone militer AU AS, skuadronnya membom 1.626 target.

Ia kini jadi peniup peluit (whistleblower) apa yang ia sebut kejahatan militer itu kepada PBB.

Brandon juga menyebut, ketika ia membom target yang ternyata anak-anak di Afghanistan, atasannya menukas yang dibom itu hanya anjing.

Pria asal Missoula, Montana ini selama tujuh tahun menerbangkan Predator, drone yang memiliki spesifikasi tugas tempur.

Pesawat itu dilengkapi rudal pembunuh Hellfire.

Selain di pusat kendali Las Vegas, ia juga pernah ditugaskan di New Mexico dan Irak.

Brandon mengundurkan diri dari dinas militer AS setelah insiden pengeboman anak-anak di Afghanistan.

Ia pun mengungkapkan hal ihwal program drone AS.

Brandon terakhir berpangkat Staff Sergeant di dinas kemiliteran.

Brandon mengalami “post traumatic stress disorder”, tekanan psikologis yang dialami banyak tentara AS setelah menjalani tugas-tugas tempur di berbagai front jauh dari tanah airnya.

Pria berkepala plontos itu masuk dinas militer pada usia 19 tahun, dan pertama kali “membunuh” target pada 2007 menggunakan drone.

Sejak 2006 hingga 2011, skuadronnya telah menjalankan 1.626 misi pengeboman, di antaranya menghantam sasaran anak-anak dan perempuan.

Kepada media Inggris The Sun, Brandon menyebut seingat dirinya ia telah 13 kali melakukan misi pembunuhan.

Peristiwa paling traumatik terjadi ketika timnya melakukan misi pengeboman target di sebuah jalan Afghanistan.

Ada tiga sasaran laki-laki terlihat lewat kamera pengintai drone Predator.

Temannya spontan berteriak. “Guyur,” kata Brandon.

"Bryant meledakkan (buah) cherry,” kata Brandon menyebut reaksi teman satunya lagi.

Tapi di benaknya, yang muncul adalah horror.

Ia melihat darah tertumpah dari tubuh korbannya, sebelum jasad itu terlihat membeku dilihat dari kamera thermal di dronenya.

“Aku melihat darah muncrat dari kakinya, dan kemudian aku lihat tubuhnya langsung dingin. Gambar di layar (kamera) itu tertanam di pikiranku, dan benar-benar menyakitiku,” katanya.

“Saat aku menarik pelatuk, aku tahu itu salah. Saat rudal menghantam (sasaran), hatiku berkata, aku sudah jadi pembunuh,” lanjut Brandon Bryant kepada The Sun.

Pengalaman paling mengerikan yang menancap di benak Brandon ketika ia menerbangkan drone dan mengincar sasaran sebuah bangunan di Afghanistan.

Misinya melenyapkan musuh, sesuai informasi intelijen.

Di detik terakhir saat ia memencet tombol pelepas rudal, ia melihat seorang bocah lari keluar bangunan.

Selain memberi kesaksian kepada PBB, Brandon Bryant juga mengungkap kisahnya di Jerman.

Ia memberitahu anggota parlemen di sana terkait program drone AS.

Pada Mei 2016, pembuat film dokumenter asal Norwegia, Tonje Hessen Schei, membawa kisah Brandon ini lewat program film “Drone – This is No Game”.

Setelah membuka keburukan program drone militer AS, Bryant mengaku keluarganya diancam.

Rumah ibunya didatangi dua pejabat AU AS.

Para perwira itu mengatakan ke ibunya, ia jadi target serangan ISIS.

Menurut kuasa hukum Bryant, ini contoh intimidasi kepada para peniup peluit kasus.

Baik Daily Mail maupun The Sun yang menuliskan kisah Brandon Bryant ini, belum menyertakan tanggapan atau reaksi dari Pentagon, CIA, maupun pemerintah AS.(Artikel ini telah tayang di serambinews.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved