Kisah Pembantaian di Pesta Pernikahan, Bom Bunuh Diri Tewaskan 63 Tamu Undangan
mereka dianggap bertanggung jawab atas serbuan di ruang bersalin di Kabul, di mana 24 perempuan, anak-anak, dan bayi tewas.
TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Kisah pembantaian saat pesta pernikahan digelar di Kabul, Afganistan. Sebanyak 63 tamu undangan tewas dalam serangan bom bunuh diri.
Peristiwa berdarah yang begitu memilukan tersebut terjadi setahun silam.
Setahun lalu, Mirwais dan Rehana seharusnya adalah orang yang paling berbahagia saat mereka melangsungkan pesta pernikahan.
Namun, kebahagiaan itu sirna setelah pesta mereka jadi target bom bunuh diri kelompok Negara Islam Irak dan Suriah, atau ISIS.
Serangan itu menewaskan lebih dari 60 tamu pernikahan, di mana mereka kehilangan keluarga dekat dan teman, membuat mental mereka terganggu.
Tepat pada Senin ini (17/8/2020), pasangan ini mengenang satu tahun insiden mengerikan itu, dengan Rehana untuk pertama kalinya berbicara di hadapan publik.
"Setiap malam saya bermimpi buruk. Saya langsung menangis dan setelah itu tidak bisa tidur," ungkap Rehana memulai kisahnya kepada BBC.
• 4 Orang Satu Keluarga Meninggal dalam Kecelakaan Tragis, Mobil Terpental 27 Meter
• Tetangga Dory Harsa soal Kabar Pernikahan: Merasa Aneh, Orang Satu Rumah Keluar Serentak
• Kisah Tragis Istri Muda, Permintaan Pisah Ranjang Berujung Maut di Samping Truk
• Tragis 2 Bocah Meninggal Terbakar di Dalam Mobil Tetangga, Pemilik Sedang Halal Bihalal
Dia menuturkan kini setiap keluar rumah, kerumunan orang selalu membuatnya gelisah.
Bahkan ketika dia berada di dalam mobil.
TONTON JUGA:
Selain itu jika mendengar suara ledakan atau baku tembak, dia mengaku serasa kembali ke setahun sebelumnya, seakan dia kembali diserang.
Relatif dari korban tewas serangan bom bunuh diri ISIS itu menyiratkan ide menggelar aksi protes di gedung resepsi pernikahan sebagai bentuk peringatan.
Namun Mirwais mengatakan, dia tidak akan hadir.
Dia mengaku memikirkan insiden pada 2019 itu saja sudah membuat tangannya gemetar.
"Sebelum pernikahan, kami sangatlah bahagia.
Namun sekarang,kami serasa jatuh dari langit ke bumi.
Kami kehilangan kebahagiaan," kata dia.
Momen bahagia pasangan itu menjadi target karena mereka berasal dari minoritas Syiah Afghanistan, kelompok yang dianggap sesat oleh ISIS.
Bagi Mirwais dan Rehana, perasaan tertekan mereka makin bertambah setelah sebagian kerabat dan teman menyebut mereka bertanggung jawab.
"Suatu hari saya tengah berbelanja dan bertemu perempuan yang kehilangan keluarganya hari itu.
Dia menyebutku pembunuh," ratapnya.
Sejumlah keluarga korban serangan tersebut mulai menganggap pasangan itu "musuh" mereka, dan membuat Mirwais, seorang penjahit, terpaksa menutup tokonya.
Sementara Rehana sempat mendapatkan ucapan jika saja dia tak menikah dengan Mirwais, maka serangan dari kelompok terrois itu tak perlu terjadi.

"Setiap orang menyalahkan saya atas apa yang terjadi. Saya hanya diam dan tak mengatakan apa pun," ucapnya dengan suara lembut.
Meski serangannya tidak semasif Taliban, kelompok dengan akronim Arab Daesh itu melancarkan puluhan aksi mematikan di Afghanistan.
Pada Mei, mereka dianggap bertanggung jawab atas serbuan di ruang bersalin di Kabul, di mana 24 perempuan, anak-anak, dan bayi tewas.
Pada awal Agustus ini, kelompok yang pemimpinnya, Abu Bakar al-Baghdadi, terbunuh pada akhir tahun lalu itu menyerang penjara di Jalalabad dan membebaskan ratusan tahanan.
Mirwais mengungkapkan, beberapa pekan sejak insiden, mereka mendengar adanya ledakan di tempat lain.
Saat itu istrinya begitu takut.
Saat ini, Rehana disebut menerima layanan psikologi dari Peace of Mind Afghanistan.
Dia mengaku rasa sakit sejak insiden mulai terobati.
Psikolognya, Lyla Schwartz, menuturkan Rehana sebenarnya sudah membuat perkembangan positif.
Namun jika kembali mendengar ledakan, kondisinya bakal buruk kembali.
Schwartz menjelaskan, dia berharap bisa menggalang dana agar pasangan itu bisa pindah dan setidaknya bebas dari rasa bersalah akibat tragedi itu.
Mirwais menambahkan, meski saat ini terjadi perundingan damai antara pemerintah Afghanistan dengan Taliban, dia ragu perdamaian bakal tercipta.
Apalagi setelah ISIS bukan bagian di dalamnya.
"Bahkan hingga 10 tahun ke depan, stabilitas atau perdamaian tak akan ada di sini," tutupnya. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Setahun Berlalu, Pasangan Ini Kisahkan Serangan ISIS Bunuh 60 Tamu Pernikahan Mereka