Pernah Ribut Sampai Mundur dari Wapres, Bung Hatta Tetap Bersahabat Hingga Ajal Menjemput Bung Karno
Meutia, putri Bung Hatta yang juga ada di ruangan itu menggambarkan reaksi ayahnya yang terus memijat tangan Sukarno sambil berkata, "Ya sudahlah
Berbagai masukan Bung Hatta, dari yang lunak sampai yang amat keras, diabaikan begitu saja.
Pada sisi lain, sikap-sikap partai politik juga mengecewakan.
Mereka saling menyerang dan bertengkar secara tidak sehat.
Wakil partai yang duduk di pemerintahan tidak menunjukkan sebagai staatsman (negarawan) tetapi lebih memperlihatkan sebagai partijman (orang partai).
Mereka yang duduk di kursi kekuasaan mengambil sikap mementingkan politik dan aspirasi partai ketimbang memikirkan nasib bangsa dan negara.
Posisi wakil presiden nyaris sebagai simbol belaka karena kekuasaan presiden sedemikian besar.
Perbedaan pandangan dengan Bung Karno juga terjadi saat menyikapi revolusi.
Saat Bung Karno bersikukuh bahwa revolusi jalan terus, Bung Hatta berpikir sebaliknya.
Sudah saatnya bangsa Indonesia memikirkan nasib bangsa, nasib rakyat yang lama menderita akibat peperangan.
Perbedaan tidak bisa dipertemukan, akhirnya tanggal 1 Desember 1956 Bung Hatta secara resmi mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Ketika ditanya mau apa setelah mengundurkan diri, Bung Hatta menjawab ringan, "Saya mau terjun ke masyarakat, menjadi orang biasa."
Sebuah jawaban jernih dari sosok yang tidak haus kekuasaan.
Setelah menjadi orang biasa, langkah Bung Hatta sering kali mendapat kesulitan.
Bukunya yang berjudul "Demokrasi Kita" yang terbit pada tahun 1960 bahkan dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung.
Yang sudah terlanjur beredar ditarik kembali oleh institusi tersebut.