Pringsewu
Panen Raya di Pringsewu, Harga Gabah Cuma Rp 4.000 per Kg
Penjualannya ditunda hingga nanti harganya sesuai pasaran, berkisar Rp 5.500 hingga Rp 5.800 per kg untuk gabah kering.
Penulis: Robertus Didik Budiawan Cahyono | Editor: Daniel Tri Hardanto
Tribunlampung.co.id, Pringsewu - Kabupaten Pringsewu saat ini sedang memasuki masa panen raya.
Namun saat panen seperti saat ini, harga padi justru anjlok jadi sekitar Rp 4.000 per kg.
"Harga padi dari sawah sekitar Rp 4.000 per kilo," ujar Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Pekon Bulukkarto, Kecamatan Gadingrejo, Doni, Selasa, 29 Maret 2022.
Menurutnya, penurunan harga gabah ini biasa terjadi di saat musim panen.
Atas kondisi tersebut, Gapoktan menyiasati dengan cara melakukan penyerapan gabah.
Baca juga: Arinal Djunaidi Dukung Langkah Perusahaan Milik Aburizal Bakrie Kembangkan Padi Gogo
Tujuannya supaya gabah tersebut tidak langsung dijual setelah dipanen.
Penjualannya ditunda hingga nanti harganya sesuai pasaran, berkisar Rp 5.500 hingga Rp 5.800 per kg untuk gabah kering.
Kalaupun sudah terdesak kebutuhan, lanjut Doni, petani disarankan menjual gabahnya sebagian kecil saja saat panen.
Penjualan berikutnya dilakukan setelah harganya sesuai dengan pasaran tersebut.
"Jadi yang dijual sesuai kebutuhan selama petani memanen padi," ujarnya.
Doni mengungkapkan, di Pekon Bulukkarto ada seluas 238 hektare sawah.
Gabah yang dihasilkan 6,3 ton per hektare.
Padi yang dihasilkan dari satu Pekon Bulukkarto ketika dikalkulasikan mencapai 1.499,4 ton dalam musim tanam rendeng ini.
Doni menceritakan, kebanyakan petani memanen padi dengan cara tradisional.
Yakni dengan menggunakan lembaran papan dirakit menjadi alat perontok padi.
Caranya dengan memukulkan padi ke papan tersebut.
Sehingga kegiatan memanen padi ini membutuhkan buruh tani.
Panen padi itu dilakukan dengan sistem bagi hasil.
"Rata-rata pemanen ini buruh, jadi ada pembagiannya dengan sistem bagi hasil," ujarnya.
Bagi hasilnya, kata dia, untuk pemetik padi sebanyak satu karung gabah dari setiap tujuh karung yang dihasilkan.
Jadi enam karung untuk pemilik sawah dan satu karung untuk pemetik padi.
Doni mengatakan, di wilayah tersebut tidak memakai mesin panen padi seperti combine karena masih banyak buruh tani yang memerlukan pekerjaan.
Sehingga panen padi rata-rata masih dilakukan dengan cara tradisional.
Adapun penggunaan mesin perontok padi tergantung pada tingkat kemampuan masing-masing petani.
( Tribunlampung.co.id / Robertus Didik )