Pemilu 2024

Hakim Tolak Eksepsi 2 Terdakwa Pelanggaran Pemilu saat jadi PPLN Kuala Lumpur

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tolak keberatan atas dakwaan yang diajukan dua anggota PPLN Kuala Lumpur, Malaysia.

Editor: Tri Yulianto
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Suasana sidang pembacaan dakwaan kasus dugaaan tindak pidana pemilihan umum (pemilu) terkait penambahan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (13/3/2024).    

TRIBUNLAMPUNG.CO.ID - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak keberatan atas dakwaan yang diajukan dua anggota PPLN Kuala Lumpur, Malaysia.

Dua terdakwa yang mengajukan keberatan dakwaan atau eksepsi saat jadi anggota PPLN Kuala Lumpur, Malaysia yakni Aprijon sebagai terdakwa IV dan Masduki Khamdan Muchamad sebagai terdakwa VII.

Pengajuan keberatan dilakukan oleh kuasa hukum Aprijon dan Masduki Khamdan Muchamad saat sidang pelanggaran pidana Pemilu 2024. 

Keberatan mereka dibacakan masing-masing kuasa hukum, pada sidang Kamis (14/3/2024) pagi.

"Mengadili, menyatakan eksepsi penasihat hukum terdakwa empat dan terdakwa tujuh ditolak," kata Hakim Ketua Buyung Dwikora, dalam sidang pembacaan putusan sela, di PN Jakarta Pusat, pada Kamis sore.

Majelis hakim menolak dalil dua pihak terdakwa itu, yang sama-sama menilai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kadaluwarsa.

"Majelis menilai keberatan tersebut bukanlah menjadi kewenangan majelis hakim yang memeriksa pokok perkara," ucap Buyung.

Dengan demikian, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat tetap menilai surat dakwaan JPU sah.

"Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara," tegas Hakim Ketua.

Sebagai informasi, jajaran Majelis Hakim yang menangani perkara dugaan tindak pidana pemilu di PPLN Kuala Lumpur, yakni Hakim Ketua Buyung Dwikora serta dua Hakim Anggota, yaitu I Arlen Veronica dan Budi Prayitno.

Sebelumnya, Kuasa hukum anggota PPLN Kuala Lumpur nonaktif, Masduki Khamdan Muchamad, yakni Akbar Hidayatullah menilai surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung telah kedaluwarsa.

Hal itu disampaikan Akbar, dalam sidang pembacaan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (14/3/2024).

Akbar mengatakan, surat dakwaan atas kliennya itu telah kedaluwarsa. Sebab, temuan pelanggaran oleh Panwaslu Luar Negeri Kuala Lumpur melampaui batas waktu yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilu.

Akbar menjelaskan Pasal 454 Ayat (5) Undang-Undang Pemilu dan Pasal 5 Ayat (1) huruf b Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2022 pada pokoknya mengatur bahwa hasil pengawasan ditetapkan sebagai temuan pelanggaran pemilu paling lama tujuh hari sejak dugaan pelanggaran ditemukan.

Namun, menurutnya, Jaksa mendakwa kliennya dengan dasar rapat pleno penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS) tanggal 5 April 2023, rapat pleno penetapan DPS Hasil Perbaikan (DPSHP) tanggal 12 Mei 2023, serta Rapat Pleno penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tanggal 21 Juni 2023.

Sedangkan, perkara diterima setelah temuan Panwaslu Luar Negeri Kuala Lumpur yang teregistrasi, pada tanggal 18 Januari 2024.

“Bahwa sampai pada saat eksepsi ini kami sampaikan, kami tidak mendapatkan berkas dari penuntut umum terkait temuan dan rekomendasi Panwaslu Luar Negeri sehubungan dengan pelanggaran penetapan DPS, DPSHP dan DPT,” tutur Akbar.

Sementara itu, Aprijon, satu di antara beberapa terdakwa kasus dugaan tindak pidana pemilu di PPLN Kuala Lumpur, Malaysia mengajukan keberatan atas dakwaan Jaksa.

Ia bersama tujuh terdakwa lainnya diduga telah memalsukan data dan daftar pemilih untuk Pemilu 2024 di wilayah Kuala Lumpur.

Kuasa Hukum terdakwa Aprijon, Emil Salim, mengatakan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) cacat formil dan materil.

Ia menyebut, JPU tidak menuliskan secara lengkap identitas terdakwa tentang tempat tinggal atau alamat terdakwa, melainkan hanya menulis nama jalan namun tidak menyebutkan dengan jelas nama Kabupaten/Kota tempat tinggal Terdakwa.

Padahal, jelasnya, syarat formil surat dakwaan sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat 2 KUHAP yakni, “Penuntut Umum membuat Surat Dakwaan yang diberi tanggal dan di tanda tangani serta berisi, huruf (a) nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka".

Kemudian, Emil mempermasalahkan, surat dakwaan No. REG. PERK : PDM – 20/M.1.10/03/2024 diberi tanggal 10 Maret 2024, sedangkan perkara dilimpahkan tanggal 8 Maret 2024 pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana Reg. perkara No. 185/Pid.Sus/2024/PN Jkt.Pst.

Terkait hal itu, ia menilai, secara hukum seharusnya jika perkara dilimpahkan tanggal 8 Maret 2024 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, seharusnya surat dakwaan diberi tanggal sebelum perkara di limpahkan.

Sebab, menurutnya, hal tersebut sebagaimana aturan Pasal 141 ayat (1), yakni ”Penuntut Umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.

Adapun untuk dalil cacat materil, kuasa hukum Aprjion mengatakan, uraian surat dakwaan tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap.

Karena, ia menjelaskan, dalam surat dakwaan tidak menggambarkan secara utuh dan bulat tentang perbuatan materil para terdakwa secara pribadi berupa perbuatan yang bersifat melawan hukum.

"Justru segala tindakan para terdakwa dilakukan melalui mekanisme pengambilan keputusan PPLN dalam rapat pleno terbuka tentang Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara (DPS), Rekapitulasi Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP) dan Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT)," kata Emil, dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Kamis (14/3/2024).

Tak hanya itu, Emil juga mengatakan, uraian surat dakwaan lebih banyak membahas tentang pelanggaran pemilu, bukan tindak pidana pemilu.

Lebih lanjut, ia menilai, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang menangani perkara pidana yang terjadi di luar negeri.

7 PPLN Dinonaktifkan

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menonaktifkan tujuh anggota panitia pemilihan luar negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia. 

Pemberhentian sementara ini merupakan salah satu langkah KPU dalam hal melalukan pemungutan suara ulang (PSU) Pemilu 2024 (Pileg dan Pilpres) di Kuala Lumpur, Malaysia. 

"Kami sudah menonaktifkan atau memberhentikan sementara tujuh anggota PPLN, karena kan ada problem dalam tata kelola pemilu di Kuala Lumpur," kata Anggota KPU RI Hasyim Asy'ari di kantornya, Jakarta, Senin (26/2/2024). 

Tugas PPLN Kuala Lumpur kini diambil oleh KPU RI dengan didukung oleh tim sekretariat jenderal. Kemudian KPU RI juga bakal berkoordinasi dengan kantor perwakilan mereka di Kuala Lumpur. 

Dalam hal melakukan koordinasi itu, KPU juga sudah melakukan rapat dengan Kementerian Luar Negeri untuk bagian dukungan atau fasilitas bagi KPU melakukan pelayanan pemilihan di luar negeri. 

Sebagai informasi, KPU RI bakal melakukan PSU di Malaysia dengan meniadakan metode pos.

Berarti dalam prosesnya, PSU di Malaysia hanya menggunakan dua metode: pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) dan metode kotak suara keliling (KSK). 

Peniadaan metode pos ini sejalan dengan saran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kepada KPU.

KPU berharap pihaknya dapat menyelesaikan PSU tepat waktu sebelum batas akhir rekap nasional dan penetapan hasil pemilu nasional pada 20 Maret. 

KPU dan Bawaslu sebelumnya sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan KSK di Kuala Lumpur karena integritas daftar pemilih dan akan melakukan pemutakhiran ulang daftar pemilih.

Dalam proses pencocokan dan penelitian (coklit) oleh Panitia Pemutakhiran Daftar Pemilih (PPLN) Kuala Lumpur pada 2023 lalu, Bawaslu menemukan hanya sekitar 12 persen pemilih yang dicoklit dari total sekitar 490.000 orang dalam Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) dari Kementerian Luar Negeri yang perlu dicoklit.

Bawaslu juga menemukan panitia pemutakhiran daftar pemilih (pantarlih) fiktif hingga 18 orang.

Akibatnya, pada hari pemungutan suara, jumlah daftar pemilih khusus (DPK) membeludak hingga sekitar 50 persen di Kuala Lumpur.

Pemilih DPK adalah mereka yang tidak masuk daftar pemilih.

Ini menunjukkan, proses pemutakhiran daftar pemilih di Kuala Lumpur bermasalah.

Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.

Bawaslu juga mengaku sedang menelusuri dugaan perdagangan surat suara di Malaysia.

(Tribunlampung.co.id/Tribunnews) 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved