Harga Singkong Anjlok di Lampung
Singkong Siap Panen, Pabrik Tapioka di Lampung Malah Tutup, Petani: Kami Butuh Duit!
Para petani singkong di Mesuji, Lampung, kini mengaku kebingungan harus menjual singkong ke mana, lantaran perusahaan tapioka tutup operasional.
Tribunlampung.co.id, Mesuji - Para petani singkong di Mesuji, Lampung, kini mengaku kebingungan harus menjual singkong ke mana. Hal tersebut lantaran sejumlah perusahaan tapioka yang ada menutup operasionalnya.
Diketahui, sejumlah pabrik tapioka yang ada di Lampung mendadak menutup operasional dan pembelian singkong dari petani lokal. Satu di antara alasannya yakni lantaran para pengusaha tidak sanggup membeli singkong berdasarkan ketetapan Pemprov Lampung yang telah disepakati yakni Rp 1.400 per kilogram.
Kini, para petani singkong butuh bantuan dari pemerintah agar hasil panen mereka bisa terjual sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Seorang petani singkong di Kecamatan Mesuji Timur, Mesuji bernama Komang, mengaku heran atas tindakan yang dilakukan sejumlah perusahaan tapioka di Lampung yang menutup pabriknya.
"Terkait harga singkong, kami sebagai petani ini sekarang menjadi serba salah. Menuntut harga tinggi ke perusahaan, tapi perusahaan malah main aman dengan tindakan tutup pabrik," kata Komang, Senin (27/1/2025).
Komang pun menilai, atas respon tersebut, membuat petani singkong saat ini kebingungan bagaimana harus menjual hasil panennya.
Apalagi, kata dia, saat ini banyak lahan singkongnya yang sudah memasuki masa panen.
Akibat penutupan pabrik tapioka tersebut, membuat para petani singkong harus menunda panen.
"Kami sebagai petani juga bingung bagaimana sekarang nasib petani singkong, kita lagi mau panen mau jual ke mana lagi singkong-singkong ini," ungkapnya.
Atas kekisruhan yang terjadi, Komang pun menuntut kepada pemerintah, baik itu Pemprov Lampung maupun Pemkab Mesuji melakukan tindakan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Petani singkong lainnya bernama Anom, mengaku kebingungan atas penutupan pabrik dan lapak singkong di Mesuji, Lampung.
Anom menyebut, tanaman singkongnya saat ini berusia 8 bulan dan artinya sudah siap untuk panen.
"Pabriknya ditutup mau dijual ke mana lagi ini, padahal singkong udah umur 8 bulan," ucapnya.
Ia juga mengaku jika saat ini sedang membutuhkan uang untuk keperluan hidup keluarganya.
"Lagi butuh duit, mau cari utangan juga saat ini sulit," imbuhnya.
"Gimana ini pabrik tidak mau ikut aturan pemerintah kok malah main aman tutup pabrik," sambungnya.
Di sisi lainnya, petani singkong lainnya, Wayan mengaku, jika tahun ini menjadi momen terburuk bagi petani singkong.
Sebab, kata dia, selain harga singkong yang terjun bebas, persoalan lainnya adalah cuaca buruk yang berdampak pada gagal panen.
"Petani singkong tidak baik-baik saja, kita sebagai petani singkong harus sabar. Sabar menunggu harga stabil dan cuaca tidak menentu," ungkapnya.
Menurutnya, akibat hujan deras membuat singkongnya alami kebusukan.
Jikapun hendak dipanen, ia mengaku kebingungan hendak dijual ke mana.
Pasalnya, semua pabrik tapioka dan lapak di Mesuji, Lampung tutup tidak menerima hasil singkong.
Terpisah, kasir Pabrik Tapioka BW Tulangbawang, Kiki mengatakan, jika saat ini pabrik sedang tutup.
"Pabrik tutup, belum bisa terima hasil singkong," kata dia.
Kiki menuturkan, penutupan pabrik tapioka itu dimulai sejak menerima surat dari managemen soal penutupan pabrik yang dimulai pada 24 Januari 2025 hingga sekarang.
Pansus Tata Niaga Singkong Desak Pemerintah Pusat Turun Tangan
Pansus tata niaga singkong DPRD Lampung mendesak agar pemerintah pusat turun tangan atas polemik harga singkong yang terjadi di Lampung.
Diketahui, polemik harga singkong di Lampung terus berlangsung hingga saat ini. Teranyar sejumlah pabrik tapioka yang ada di Lampung mendadak menutup operasionalnya dan pembelian singkong dari petani.
Informasi yang dihimpun Tribunlampung.co.id, alasan pabrik menutup pembelian singkong lantaran para pengusaha tidak sanggup membeli singkong berdasarkan ketetapan Pemerintah Provinsi Lampung yang telah disepakati beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Pemprov Lampung melalui, Pj Gubernur Lampung Samsudin, bersama pihak terkait telah membuat kesepakatan harga singkong menjadi Rp 1.400 per kilogram dengan potongan tonase minimal 15 persen.
Namun, hal itu tidak mampu diterapkan oleh para pengusaha dengan alasan kualitas singkong yang mereka harapkan tidak sesuai dengan kebutuhan.
Alhasil hingga, Senin 27 Januari 2025 sejumlah pengusaha menutup pabriknya.
Hal itu turut dibenarkan ketua Pantia Khusus (Pansus) Tataniaga Singkong, Mikdar Ilyas saat dikonfirmasi.
"Iya hampir seluruh pengusaha menutup pabrik pembelian singkong oleh petani dengan alasan kualitas kadar air dan besaran singkong dianggap tidak sesuai jadi mereka tidak sanggup membeli dengan harga kesepakatan awal," kata Mikdar, Senin (27/1/2025).
"Menurut pengakuan mereka (perusahaan), dengan kondisi singkong saat ini, dan harga Rp 1.400 per kilogram, mereka rugi."
"Sementara petani meminta agar pengusaha menjalankan kesepakatan bersama," tambahnya.
Dengan kondisi begini menurut Mikdar diperlukan peran pemerintah pusat untuk segera mengatasi persoalan yang ada.
"Jika ini tidak segera dicarikan solusinya yang ada sama-sama rugi, petani rugi tidak bisa menjual singkongnya dan pengusaha rugi karena pabriknya tidak bisa beroperasi."
"Maka, yang bisa mengurai ini diperlukan peran pemerintah pusat agar dapat membuat semacam regulasi pasti perihal singkong ini," ujarnya.
"Dalam waktu dekat kami pansus akan menyampaikan persoalan yang ada ke komisi IV DPR RI dan ke kementerian terkait."
"Rencana kami akan berangkat pada Senin, 3 Febuari 2025," sambungnya.
Anggota Fraksi Gerindra ini mengatakan berbagai persoalan singkong ditemukan pansus ditemukan, mulai dari persoalan impor dan tata kelola singkong yang belum masuk dalam ketahanan pangan nasional.
"Ketika impor singkong di setop, secara otomatis harganya akan naik, pabrik juga tidak rugi karena perputaran singkong hanya dari dalam negeri."
"Kita mau ada kemitraan antara pemerintah, pengusaha dan petani untuk mengatasi harga singkong dalam jangka panjang," tuturnya.
Apabila pemerintah pusat tidak segera menangani persoalan ini kata Mikdar dikhawatirkan para petani singkong beralih profesi.
"Ketika ini terjadi semua akan rugi, petani rugi, pabrik rugi, masyarakat yang tadinya bekerja juga hilang pekerjaannya dan dampaknya bakal berkepanjangan," ucapnya.
Dia menyampaikan, Lampung yang tadinya sebagai penghasil lada dan cengkeh lambat laut hilang, karena tidak ada regulasi harga yang stabil dan tidak ada kebijakan yang berpihak ke petani.
"Jangan sampai singkong juga begitu. Lampung ini menjadi wilayah produksi singkong terbesar di Indonesia."
"Apabila tidak segera diurai permasalahannya, saya yakin petani akan beralih profesi dan semua kita bakal rugi," kata dia.
"Kita berharap singkong dimasukan dalam kebutuhan ketahanan pangan dan impor singkong dihentikan."
"Lalu, pemerintah ambil peran pendistribusian singkong melalui BUMN, BUMD dan kemitraan antara pengusaha, pemerintah, akademisi dan petani dapat berjalan," tandasnya.
( Tribunlampung.co.id / M Rangga Yusuf / Riyo Pratama )
Gubernur Mirza Sebut Masalah Harga Singkong di Lampung Sudah Wewenang Pusat |
![]() |
---|
KPPU Sebut Pabrik Tapioka di Lampung Sengaja Impor untuk Hancurkan Harga Singkong |
![]() |
---|
DPRD Lampung Dorong Penerbitan Perpres Tata Niaga Singkong |
![]() |
---|
DPRD 'Mengadu' ke DPR RI Lantaran Pabrik Tapioka di Lampung Masih Banyak Tutup |
![]() |
---|
DPRD Dorong Pemerintah Pusat Tetapkan Regulasi Harga Singkong di Lampung |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.