Harga Singkong Anjlok di Lampung

Singkong Petani di Lampung Terancam Busuk Imbas Pabrik Tapioka Tutup

Sejumlah petani singkong di Lampung Tengah kini tengah dihadapkan dengan kekhawatiran hasil panen mereka mengalami kebusukan lantaran tak terjual.

Tribunlampung.co.id/M Rangga Yusuf
Petani singkong di Mesuji menunjukkan hasil panennya. | Sejumlah petani singkong di Lampung Tengah kini tengah dihadapkan dengan kekhawatiran hasil panen mereka mengalami kebusukan lantaran tak terjual. Hal tersebut lantaran sejumlah pabrik tapioka menutup operasionalnya dan menyetop pembelian singkong dari petani lokal. 

Tribunlampung.co.id, Lampung Tengah - Sejumlah petani singkong di Lampung Tengah kini tengah dihadapkan dengan kekhawatiran hasil panen mereka mengalami kebusukan lantaran tak terjual.

Hal tersebut lantaran sejumlah pabrik tapioka menutup operasionalnya dan menyetop pembelian singkong dari petani lokal.

Diketahui, sejumlah pabrik tapioka yang ada di Lampung mendadak menutup operasional dan pembelian singkong dari petani lokal. Satu di antara alasannya yakni lantaran para pengusaha tidak sanggup membeli singkong berdasarkan ketetapan Pemprov Lampung yang telah disepakati yakni Rp 1.400 per kilogram.

Dalam beberapa hari terakhir, mereka tidak bisa menjual singkong hasil panennya ke pabrik. 

Tidak sedikit pabrik tapioka yang tidak beroperasi karena menghentikan pasokan singkong dari petani. 

Faktor penyebabnya mulai dari harga yang tinggi hingga kadar aci yang tidak sesuai standar.

Seperti yang diungkapkan Firman, petani asal Kampung Muji Rahayu, Kecamatan Seputih Agung, Lampung Tengah. 

Ia sedang berduka karena sudah lima hari terakhir tidak bisa menjual singkongnya.

Firman terpaksa memarkirkan truk bermuatan singkong tersebut. 

Ia khawatir singkongnya bakal busuk karena sudah berhari-hari menumpuk begitu saja. 

"Sudah lima hari lima ton singkong saya menumpuk di dalam truk. Nggak terjual karena tidak ada pabrik yang mau membeli," kata dia, Senin (27/1/2025).

Menurut Firman, pabrik tidak mau menerima singkongnya karena tidak lolos standar aci yang ditetapkan. 

"Mobil panen saya sudah ke pabrik, tapi terpaksa putar balik karena nggak memenuhi standar kadar aci 24 persen per kilogram," ungkapnya.

Firman bisa saja menjual singkongnya ke lapak-lapak kecil. 

Pasalnya, lapak tersebut mau menerima singkong dalam semua kondisi. 

Namun, harga yang ditetapkan lapak jauh dari standar dan rafaksi sebesar 30-32 persen.

"Kalau nekat jual di lapak sebenarnya rugi juga. Harga cuman Rp 1.000 lebih dikit, potongannya 32 persen," kata dia.

Di sisi lain, tutupnya sejumlah pabrik juga berdampak ke buruh jasa cabut singkong dan angkut panen. 

Sebab, banyak petani yang menunda panen singkongnya.

Situasi itu dirasakan pria bernama Gunawan. 

Ia bersama 17 rekannya sesama buruh cabut singkong terpaksa kehilangan penghasilan. 

"Kami nggak dapat penghasilan karena nggak ada yang panen karena banyak pabrik tutup. Mobil nganggur, pekerja juga nganggur," kata Gunawan.

Gunawan mengatakan, untuk mencari penghasilan lain, ia terpaksa bekerja serabutan, misalnya dengan mencari rumput untuk pakan ternak. 

Namun, hasil dari pekerjaan tersebut tidak menentu. 

"Saya nggak tahu kapan bisa kerja cabut dan muat singkong lagi. Soalnya udah berhari-hari nggak ada yang mau panen singkong," tutur dia.

Solusi dari akademisi

Untuk mengatasi polemik harga singkong di Lampung, ada sejumlah solusi yang bisa ditempuh. 

Salah satunya adalah dengan menjalankan pola kemitraan.

Hal itu disampaikan Ketua Harian Ikatan Alumni Fakultas Pertanian (Ika Faperta) Unila Fahuri Wherlian Ali. 

Menurut dia, harus ada pola kemitraan antara petani, pengusaha, dan pemerintah. 

Hal itu bisa mengurai persoalan antara petani dan pabrik tapioka dalam jangka panjang.

"Pemerintah, pengusaha, dan petani wajib melakukan kemitraan untuk mengonsep pembibitan, masa panen hingga penjualan dari ubi kayu ini. Untuk melakukan kemitraan, petani pun wajib membuat lembaga semacam koperasi sehingga meminimalisir petani nakal," kata Wherli, sapaan akrabnya, Senin (27/1/2025).

Kemitraan yang akan dibangun, lanjut dia, bisa berupa contract farming. 

Seperti kemitraan yang dilakukan oleh PT Great Giant Pineapple (GGP) dengan petani pisang di Kabupaten Tanggamus.

"Pemerintah bisa saja mengundang investor untuk membuat pabrik singkong di Lampung, dengan syarat perusahaan tersebut wajib melakukan mitra dengan petani. Hal ini telah dilakukan oleh perusahaan tebu di Lampung," ujarnya.

"Selain itu, membuat produk turunan selain tapioka, semisal mocaf (modified cassava flour, yaitu tepung singkong yang dimodifikasi melalui proses fermentasi.). Tetapi sebelum membangun pabrik mocaf, harus dicari pasar terlebih dahulu agar produksi mocaf terukur," kata dia.

Yang tak kalah penting, terus dia, perlu membentuk tim penilai kadar aci yang berisi pemerintah, akademisi, dan perusahaan. 

"Jadi petani sebelum panen meminta tim tersebut untuk menilai kadar aci tanaman sehingga terjadi kesepakatan antara petani dan pengguna," tambahnya.

Terkait polemik harga singkong di Lampung, menurutnya perlu dikembangkan pemanfaatan ubi kayu. 

"Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari berbagai subsektor. Antara lain, tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Salah satu diversifikasi pangan sebagai sumber karbohidrat nonberas adalah ubi kayu atau singkong," ucapnya.

Lanjut Wherli, singkong merupakan komoditas yang mempunyai potensi besar. 

Karena selain sebagai sumber karbohidrat, singkong dapat dimanfaatkan untuk bahan baku industri dan produk antara (intermediate product).

"Hampir seluruh bagian tanaman singkong dapat digunakan. Daun dan umbi dapat diolah menjadi aneka makanan. Umbi juga dapat diolah menjadi gula cair (fruktosa tinggi) dan untuk bahan bakar bioetanol. Selain itu daun, umbi, dan batang bisa dijadikan pakan ternak," jelasnya.

Dia menilai, perdagangan singkong saat ini semakin berkembang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya permintaan dari sejumlah negara. 

"Indonesia sebenarnya mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat di pasar internasional. Tentunya harus diikuti dengan kualitas singkong yang baik, sehingga dapat berperan penting dalam perdagangan internasional," bebernya.

Menurut data FAO, Indonesia menempati urutan kelima sebagai produsen singkong terbesar di dunia, dengan produksi singkong sebanyak 18,3 juta ton.

Urutan teratas adalah Nigeria dengan 60 juta ton, disusul Kongo (41,01 juta ton), serta Thailand dan Ghana masing-masing 28,9 juta ton dan 21,8 juta ton.

Sementara itu, konsumsi tapioka Indonesia saat ini sebanyak 5 juta ton dengan produksi nasional baru mencapai 4 juta ton. Kurangnya 1 juta ton diimpor dari Thailand dan Vietnam.

Di Indonesia, sentra produksi singkong tersebar di 13 provinsi. Lima besar di antaranya adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta.

Lampung sebagai pemasok 35 persen produksi nasional terus menunjukkan peningkatan produksi dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2023, produksi singkong Lampung mencapai 7,1 juta ton dari lahan seluas 243 ribu hektare.

Pada tahun 2024 ini diprediksi produksi singkong di Lampung meningkat menjadi 7,5 juta ton dengan luas lahan panen 254 ribu hektare.

Di Lampung, kata dia, harga singkong di tingkat petani cenderung berfluktuatif mengikuti pola panen.

Ketika luas panen menurun, harga cenderung lebih tinggi dibandingkan saat luas panen meningkat.

Biasanya harga singkong mengalami kenaikan pada Februari-Juli, di mana pada bulan tersebut luas panen lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Puncak panen terjadi mulai September hingga Desember dengan harga singkong yang terus menurun dari bulan sebelumnya.

Saat ini harga singkong di Provinsi Lampung sangat rendah. Hal itu terungkap dalam rapat dengar pendapat antara DPRD Lampung dengan pengusaha singkong di Lampung.

Masalahnya adalah produksi berlebih dan rendahnya mutu singkong, varietas singkong yang tidak disukai pabrikan, banyak tanah tertinggal di umbi, bonggol umbi masih banyak, dan lama pengangkutan ke pabrik.

"Menanam singkong di Lampung dalam 1 hektare membutuhkan dana Rp 8 juta-Rp 10 juta sampai siap panen selama hampir 10 bulan dengan produksi rata-rata 25 ton per hektare. Kemudian biaya panen dan angkut Rp 150 x 25 ton yakni sebesar Rp 3.750.000,” beber dia.

Harga singkong saat ini berkisar Rp 1.000 per kg dengan potongan 25 persen. Artinya, hasil yang didapat petani 18,75 ton x Rp 1.000 sebesar Rp 18,75 juta.

"Hasil ini bila dikurangi dengan biaya pengeluaran, maka petani hanya akan mendapatkan Rp 5 juta. Dan tentunya tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar selama 1 tahun. Jadi wajar saja bila anggota DPRD Lampung meminta pengusaha untuk menaikkan harga singkong mencapai Rp 1.500 dengan potongan 15 persen," jelas dia.

"Dengan begitu, petani akan mendapatkan sekitar Rp 18 juta setelah dikurangi pengeluaran. Meski begitu, harga tersebut masih rendah," tuturnya. 

(Tribunlampung.co.id/Fajar Ihwani Sidik)

Sumber: Tribun Lampung
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved