TRIBUNLAMPUNG.CO.ID, BANDA ACEH - Minggu pagi 26 Desember 2004. Seperti biasa, pagi itu saya duduk di warung kopi kampung sambil membaca surat kabar yang baru saja diantar loper.
Layaknya warga lain, saya memesan segelas teh dan mengambil beberapa potong kue.
Suasana kedai kopi hari itu terlihat ramai.
Jalan di depan warung juga terlihat padat dilalui kendaraan bermotor.
Baca: Peringati 13 Tahun Tsunami Aceh, Pria Ini Bagikan Kisah Kehilangan Keluarganya di Instagram
Aktivitas warga desa, berjalan seperti biasa.
Di sebelah timur saya melihat matahari baru saja naik memancarkan cahayanya menerangi alam semesta.
Suasana alam begitu tenang nyaris tak ada angin yang melambai pepohonan.
Saya melanjutkan membaca koran. Saat itu isu politik konflik GAM dan Pemerintah RI masih mewarnai halaman surat kabar.
Saat sedang membuka halaman koran, saya merasakan kursi dan meja tempat saya duduk bergerak tiba-tiba.
Semakin lama-semakin kuat, sehingga membuat saya merasa ada sesuatu yang sedang terjadi.
Jarum jam di dinding warung menunjukkan pukul 07.58 WIB.
Beberapa detik kemudian, tanah yang saya injak berguncang hebat. Saya menengadahkan kepala.
Baca: 13 Tahun Tsunami Aceh - Ini 9 Fakta Bencana yang Menewaskan Lebih 230.000 Orang
Tampak ranting pepohonan bergoyang, seperti menari-nari di antara celah dedaunan.
Saya pindahkan pandangan ke tiang listrik. Ternyata juga sama. Kabel listrik di pinggir jalan pun bergoyang.
Semakin lama semakin kuat. Saya baru tersadar, ternyata sedang terjadi gempa bumi!
Saya memutuskan keluar dari warung kopi, karena takut gardu listrik di depan warung akan jatuh.
Saya memilih ke lapangan sepak bola Bukit Sembilan, sekitar 10 meter dari warung kopi.
Saat itu gempa masih terasa kuat. Saya tak bisa berjalan. Sempoyongan dan jatuh.
Dengan setengah merangkak, saya berusaha terus berjalan.
Hingga akhirnya saya berpegangan di tiang gawang. Saya merasa sedikit bisa berdiri meskipun harus membungkuk.
Inikah Hari Kiamat?
Sementara bumi masih terus berguncang hebat.
Baca: 13 Tahun Tsunami Aceh - Ini yang Dilakukan Jackie Chan dan Cristiano Ronaldo di Aceh Usai Bencana
Saya teringat pada sebuah cerita dalam Alquran, salah satu tanda kiamat adalah dengan datangnya gempa besar.
Hati kecil saya bertanya, apakah ini awal datangnya hari kiamat yang tertulis dalam Alquran?
Perasaan resah dan gelisah membayangi pikiran.
Saya tak henti-hentinya melafazkan asma Allah, berzikir dan istigfar.
Saya sudah pasrah apa pun yang Allah kehendaki hari itu.
Guncangan bumi yang terasa begitu dahsyat ternyata membuat saya pusing.
Saya kemudian memilih duduk, karena tak sanggup lagi berdiri sampai akhirnya gempa reda dengan sendirinya.
Allahu Akbar! Saya melihat di sekeliling juga sudah ada warga lain di lapangan bola saat gempa terjadi.
Kami saling berpandangan tanpa berkata-kata. Semuanya diam. Semuanya seperti bengong.
Saya teringat keadaan ibu, bapak, adik dan keluarga lain di rumah.
Saya bergegas mengambil keputusan untuk pulang.
Sepanjang jalan saya melihat banyak warga berdiri di depan rumah mereka.
Sedangkan rumah saya terpaut sekitar 25 meter dari lapangan itu.
Beberapa rumah terlihat dalam kondisi miring dan retak-retak akibat gempa.
Banyak warga yang juga berdiri di pinggir jalan.
Mereka saling bertanya, tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Setiba di rumah, saya melihat semua anggota keluarga sudah berkumpul di luar.
Mereka tak berani masuk dalam rumah karena takut ada gempa susulan.
Tapi saya berkeras hati, bersama ibu memberanikan diri masuk.
Banyak perabotan dalam rumah sudah berantakan.
Ada yang jatuh, miring, gelas-gelas pecah karena terjun dari lemari termasuk satu televisi ikut jatuh ke atas kursi, tapi tidak pecah.
Saya membantu ibu membereskan semua barang-barang yang pecah untuk dibuang keluar.
Sedangkan kondisi rumah tidak ada kerusakan berarti.
Air laut naik, orang-orang panik berlarian.
Setelah saya memastikan semuanya beres, saya pamit pada ibu untuk pergi ke toko.
Kebetulan saat itu saya menjabat sebagai wakil ketua Remaja Masjid Darul Makmur Desa Lambaro Skep.
Bersama teman-teman di organisasi, kami mengelola satu toko alat tulis dan jasa mengetik dan print komputer.
Ruko tersebut terletak di pinggir jalan, atau depan Lorong Bak Panah, sekitar 200 meter dari rumah saya.
Saya membuka pintu ruko, dan mendapati banyak barang dalam ruko yang jatuh, termasuk sebuah lemari kaca sudah dalam kondisi miring.
Saya pun membereskan semuanya barang yang jatuh dan membetulkan lemari yang miring.
Belakangan beberapa teman saya, anggota remaja masjid juga datang ikut membantu.
Di saat kami sibuk membetulkan semua barang dalam ruko, tiba-tiba saya mendengar deru sepeda motor, becak dan mobil yang melintas begitu padat di depan jalan ruko.
Mereka membunyikan klakson bersahut-sahutan.
Dalam sekejap jalanan sudah penuh dengan kendaraan hingga membuat macet. Saya penasaran. Apa gerangan yang terjadi.
Sejurus kemudian saya juga melihat ada warga dengan pakaian seadanya berlari keluar dari segala penjuru lorong.
Wajah mereka diliputi ketakutan.
Ada anak yang digendong ibunya, ada bocah yang mencari orang tua, menangis dan tak tahu arah.
Ada pula wanita lanjut usia yang tergopoh-gopoh berjalan mengikuti arus warga yang berlarian.
Mereka bingung tidak tahu mau lari ke mana. Semuanya panik. Saya semakin penasaran. Apa sebetulnya yang terjadi.
Lagi-lagi saya menyaksikan beberapa lelaki berlarian penuh ketakutan.
Ada juga yang membawa kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Sambil jalan mereka berteriak, "Air laut naik...air laut naik..." Saya masih tidak ngeh.
Apa betul ada air laut naik ke daratan?
Karena belum pernah ada kejadian, air laut naik hingga membuat semua orang begitu panik.
Betul-betul sebuah pemandangan yang aneh. (bersambung)