Berita Lampung

Wali Murid SMPN 16 Bandar Lampung Keluhkan Diduga Sumbangan Sukarela Berkisar Rp 3-5 Juta

Penulis: Riyo Pratama
Editor: Reny Fitriani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KELUHKAN SUMBANGAN SUKARELA - Kolase Pengamat Hukum UBL Anggalana dan surat permintaan sumbangan sukarela. Wali murid di SMPN 16 Bandar Lampung keluhkan sumbangan sukarela berkisar Rp 3-5 juta, Jumat (15/8/2025).

Tribunlampung.co.id, Bandar Lampung – Sejumlah wali murid SMP Negeri 16 Bandar Lampung mengeluhkan adanya permintaan sumbangan yang disebut “sukarela”, namun dengan nominal yang sudah ditentukan pihak sekolah atau komite, berkisar Rp 3 juta hingga Rp5 juta per siswa.

Salah satu wali murid, yang enggan disebut namanya, mengungkapkan bahwa sumbangan tersebut diwajibkan setiap tahun ajaran baru.

Orang tua diminta mengisi formulir pernyataan kesediaan memberikan sumbangan, lengkap dengan kolom nominal, cara pembayaran, materai Rp10 ribu, dan tanda tangan.

“Katanya sukarela, tapi nominal dan waktunya sudah ditetapkan,” ujarnya kepada Tribun Lampung, Jumat (15/8/2025).

Berdasarkan penelusuran Tribun Lampung, praktik serupa juga ditemukan di salah satu sekolah negeri lain di Bandar Lampung, dengan besaran sumbangan mencapai Rp 5,8 juta per siswa.

Menanggapi hal ini, Pengamat Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL), Anggalana, menilai praktik tersebut berpotensi melanggar ketentuan perundang-undangan.

Menurutnya, SD dan SMP negeri di seluruh Indonesia, termasuk di Lampung, dilarang memungut biaya pendidikan melalui skema sumbangan yang dimediasi komite sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

“Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 jelas menyebut sumbangan pendidikan harus sukarela, tanpa paksaan, dan tidak boleh ditentukan besaran maupun jangka waktunya. Kalau sudah ada penetapan nominal, itu indikasinya masuk pungutan,” kata Anggalana.

Ia menambahkan, larangan pungutan di sekolah negeri diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 tertanggal 27 Mei 2025, yang menegaskan pendidikan SD, SMP, hingga SMA/SMK negeri merupakan tanggung jawab negara dan pemerintah daerah.

“Kalau ada pungutan berkedok sumbangan dengan penetapan nominal, itu melanggar hukum. Pemerintah daerah dan kepala daerah wajib memastikan pendidikan dasar diberikan gratis, sesuai Pasal 31 UUD 1945,” tegasnya.

Anggalana mengingatkan, kepala daerah yang membiarkan praktik pungutan terselubung di sekolah dapat dikenai sanksi administratif, dilaporkan ke Ombudsman, atau digugat melalui class action.

Selain melanggar hak konstitusional warga negara, pungutan semacam ini juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Undang-Undang Keuangan Negara, yang berpotensi menjadi tindak pidana korupsi jika dana disalahgunakan.

“Ini bukan sekadar masalah administrasi, tapi bisa masuk ranah pidana. Pemerintah daerah harus segera evaluasi agar praktik seperti ini dihentikan,” pungkasnya.

(Tribunlampung.co.id/Riyo Pratama)

Berita Terkini